Bagian 14 : Teman Perjalanan

7.7K 1K 103
                                    

Pemakaman tersebut terlihat lengang. Meski letaknya dekat dengan pasar tradisional dan permukiman warga, tetapi entah mengapa selalu terlihat sunyi. Dan meski matahari sedang terik-teriknya, area pemakaman terasa rindang karena pepohonan besar yang tumbuh di sana.

Juli melangkahkan kakinya yang beralas sepatu hak datar di antara nisan berbagai ukuran. Ia melewati makam yang terlihat mewah dengan kijing*) berbahan keramik, atau berlapis rumput impor yang terlihat seperti beledu, juga makam sederhana yang hanya terpancang nisan dengan tulisan seadanya.

Langkahnya berhenti di sebelah makam anak-anak yang beberapa hari sebelumnya ia kunjungi. Kelopak mawar putih yang ditabur Juli saat itu masih di sana. Mengering karena cuaca dan belum dibersihkan oleh petugas.

Juli berjongkok di sebelah makam. Memandangi nama putranya yang telah tiada. Nama yang sama terukir di bandul kalungnya. Juli mengeluarkan benda itu dari balik kemeja katunnya, dan membaca ukiran nama Asa di sana.

Perlahan, pandangan Juli mengabur. Air matanya mengalir saat ia meletakkan seikat mawar di atas makam.

Maafkan Bunda, batinnya.

Sejak mimpinya malam itu. Kejadian mengerikan tersebut kembali teringat olehnya. Dan yang lebih menyakitkan bagi Juli, ia mengingatnya dengan jelas. Hari, tanggal, jam, hingga pakaian apa yang ia kenakan.

"Asa pergi main ya, Bunda!"

"Sebentar! Tunggu Bunda."

"Ayo, Bunda!"

"Asa!"

Juli tersentak. Seolah seseorang baru menepuk punggungnya dengan keras. Lalu air matanya semakin deras mengalir. Ia buru-buru mengusapnya saat mendengar bunyi ponsel. Wanita itu mengusap nisan anaknya sekali lagi sebelum beranjak sambil merogoh tas bahunya. Ia mengeluarkan ponsel dan membaca nama Ibu di layarnya.

"Assalamu'alaikum, Ibu," sapa Juli.

"Wa'alaikumussalaam," jawab sebuah suara yang sedikit parau. "Sehat, Nduk?**)"

"Alhamdulillaah, Bu. Ibu sendiri apa kabar? Asam uratnya nggak kambuh lagi, kan?"

Terdengar tawa renyah di seberang sana yang membuat Juli ikut tersenyum. "Ya kadang-kadang kumat. Tapi alhamdulillaah, ndak parah. Masih bisa jalan-jalan di sekitar rumah," jawab ibunya. "Gimana pekerjaan kamu? Betah?"

"Betah. Majikan Juli orang baik. Anaknya juga lucu," jawab Juli sembari berjalan perlahan di setapak.

"Alhamdulillaah. Kerja yang bener ya, Nduk. Jaga kesehatan juga," pesan Ibu.

"Insyaallah, Bu." Juli terdiam sejenak. Menghentikan langkahnya di salah satu sisi jalan setapak. "Maafin Juli ya, Bu."

Tidak ada jawaban dari Ibu. Entah mengapa Juli merasa jika orang tuanya itu sedang tersenyum saat ini. Senyum tulus, hangat, dan damai yang sangat ia rindukan. "Kamu ndak salah apa-apa. Ibu juga ndak marah. Jangan minta maaf terus ya, Nduk. Ndak ada yang menyalahkan Juli."

Ucapan lemah lembut ibunya kembali membuat air mata Juli menetes. Ibunya ini hampir tak pernah marah. Sejak Juli masih kecil, senakal apapun perbuatannya, Ibu selalu bisa tersenyum saat menasehatinya. Namun entah bagaimana, hal itu pula yang membuat Juli merasa sesak. Ia jadi semakin menyadari bahwa justru dirinya yang menyebabkan kesusahan semua orang.

Juli kembali menikmati kesunyian kompleks pemakaman usai mengakhiri pembicaraan dengan ibunya. Ia kini berjalan pelan sambil melamun di jalan aspal yang berada di atara dua kompleks pemakaman umum di pusat Kota Malang tersebut. Dari arah berlawanan, terlihat sebuah unit sedan keluaran tahun 90an yang melaju pelan. Kendaraan itu semakin lambat saat jaraknya dekat dengan Juli. Kaca mobil pengendaranya perlahan turun dan memunculkan seraut wajah tegas dengan rambut sebahu yang berantakan.

The Guardian Angel (COMPLETED) [Re-publish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang