Bagian 8 : Asa

8.1K 1.3K 126
                                    

Kendaraan itu melaju dengan kecepatan sedang. Meski sedang akhir pekan, lalu lintas di Kota Malang saat ini tidak terlalu padat. Galih mengendarai mobilnya sendiri. Menurut Bi Ratih, Dodik juga libur di hari minggu. Ia hanya akan datang jika keadaan memang mendesak.

"Saya nggak tahu kalau kamu temannya Mira," ucap Galih memecah sunyi. Juli yang duduk di sebelahnya sambil memangku Aurora menoleh.

"Mira juga baru tahu kalau saya kerja sama Bapak." Wanita itu tersenyum pada Galih.

"Kalian berteman sudah lama?" tanya Galih. Pandangannya tetap fokus pada jalanan.

"Lumayan lama sih, Pak. Dari SMA," jawab Juli. "Waktu kuliah kebetulan beda kampus. Tapi kami masih sering kumpul bareng sampai sekarang."

"Awet, ya."

"Alhamdulillaah," ucap Juli. "Mira cerita kalau Bapak dulu seniornya di kampus."

Galih tersenyum kecil dan menoleh sekilas pada pengasuh anaknya. "Dia cerita apa lagi soal saya?"

"Cuma kasih tahu kalau Bapak pernah satu kampus sama dia. Sama, katanya Bapak agak pendiam." Jawaban Juli memantik tawa Galih.

"Mudah-mudahan apa yang dia omongin bener." Juli tersenyum simpul mendengar ucapan Galih. Mungkin bagi majikannya aneh ketika mendengar pendapat orang lain tentang dirinya.

Setelah beberapa menit, mobil Galih kini berhenti di area parkir sebuah kompleks pemakaman umum. Juli memandang sekeliling. Kompleks pemakaman itu tidak asing baginya. Ia kemudian membangunkan Aurora yang tertidur selama perjalanan. Setelah benar-benar sadar, gadis cilik itu kemudian turun lebih dulu sebelum Juli.

"Saya sama Aurora saja, ya? Atau mau ikut?"

"Nggak usah, Pak," tolak Juli. Galih mengangguk kemudian menggandeng tangan anaknya. Sementara tangan lain membawa sebuah buket bunga daisy. Juli memandangi punggung ayah-anak yang menjauh di hadapannya sebelum mengayunkan langkah menuju kios bunga di seberang area parkir.

Wanita itu membeli sekantong mawar putih sebelum kembali ke kompleks pemakaman. Tempat yang ia tuju hanya beberapa meter jaraknya dari makam istri Galih. Pusara yang dikunjungi Juli ukurannya lebih kecil dan tampak bersih. Ia berjongkok di sebelah makam tersebut dan tersenyum menatap nisan yang baru diperbaharui lima bulan yang lalu.

"Assalaamu'alaikum, Nak. Ini Bunda," sapa Juli sembari mengusap nisan di hadapannya. Seolah itu adalah seraut wajah mungil yang sudah satu tahun ini tidak ia belai.

Angkasa Zayn Perdana. Juli membaca nama yang tertatah di atasnya dalam hati. Nama yang ia pilih dengan hati-hati. Tempat ia meletakkan harapan serta doa terbaiknya sebagai orang tua.

Angkasa. Tempat segala macam benda langit dan fenomena menakjubkan ciptaan Tuhan. Di mana Juli sering mengarahkan pandangannya. Untuk mencari tahu betapa kecil sosoknya sebagai manusia. Untuk menyadari bahwa ia hanya debu di antara alam semesta.

"Bunda, Asa mau es krim."

"Bunda, kenapa bulannya hilang?"

"Asa sayang Bunda."

Kedua mata Juli memanas. Suara nyaring itu tiba-tiba terngiang di kepalanya. Seiring dengan kelebatan wajah mungil yang tidak pernah absen tersenyum, serta tingkahnya yang serba ajaib dan selalu membuat tertawa.

Asa. Harapannya serta kebahagiannya. "Asa pergi main ya, Bunda."

Juli mengusap matanya. Kemudian mengambil segenggam mawar putih, dan menaburkannya di atas makam. Sekuat tenaga ia menahan isak saat merapalkan doa. Sementara dadanya terasa sesak oleh rindu yang membuncah.

The Guardian Angel (COMPLETED) [Re-publish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang