Tenth

2K 249 55
                                    

Setelah kemarin seharian bingung mau ngetik yang mana dulu,.akhirnya aku putuskan buat ngetik Sam-Em dulu😊😊

Semoga suka...

Selamat membaca💕💞

Langit gelap ditemani rintik hujan menjadi saksi tangis seorang wanita yang kini mengunci diri di kamar sembari memeluk sebuah pigura dengan foto seorang wanita paruh baya yang begitu teduh dan cantik, namun sayang telah tiada.

Sulit rasanya menghentikan laju air Emily, kepergian bundanya menyisakan luka yang sangat besar dan mendalam. Ia tak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapi semua ini, ia terlena dan terlalu naif hingga berangan-angan bahwa sang bunda akan hidup selamanya berdua bersamanya. Melupakan fakta bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.

Bundanya adalah satu-satunya orang yang Emily inginkan untuk hidup bersama di dunia yang kejam ini. Namun kini? Untuk siapa dia hidup?

"Em mau menyusul bunda saja.." lirih Emily.

Di lain tempat, dengan berat hati Samuel harus mengemas pakaiannya ke dalam sebuah koper yang cukup besar.

Pria itu memutuskan untuk memulai bisnis kelapa sawit bersama salah seorang kawannya. Membuka sebuah lahan baru tepatnya di pulau Kalimantan.

Mungkin untuk seminggu atau lebih, baru setelahnya akan Sam usahakan untuk bolak-balik Jakarta-Kalimantan demi Emilynya.

Pria itu mengistirahatkan tubuhnya sejenak, karena besok ia mengambil penerbangan paling pagi dan sebelum itu ia harus mampir ke rumah Emily untuk berpamitan dan memberikan uang untuk memenuhi kebutuhan Emily kepada Mbok Irah.

Dering telfon membuyarkan lamunan Sam mengenai Emily.

"Halo, kenapa Mbok?"

"Den.. tolong! Non Em den!!"

"Em kenapa?!"

"Darah den!! Non Em mau bunuh diri den!!"

Tanpa menunggu lama, dengan perasaan kalut dan takut pria itu memacukan mobilnya secepat kilat, menembus jalanan kota yang telah sepi mengingat ini sudah lewat tengah malam.

"Emily!"

Samuel berlari menuju kamar Emily dan menemukan wanita itu telah lemas tak berdaya dengan darah mengalir dari nadinya.

Pria itu menggendong tubuh Emily "please, jangan pergi Em."

Pikiran Samuel kacau balau melihat darah Emily, meski sudah mengikatnya dengan sebuah kain namun darah itu masih merembes membuat air mata Sam luruh seketika, perjalanan ke rumah sakit terasa sangat jauh meski ia sudah mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh.

Ingatannya kembali pada kejadian tujuh tahun yang lalu dimana Emily mengalami pendarahan hebat karen tindakan bodohnya.

"Tuhan.. tolong selamatkan Em."

Genggaman tangan Samuel tak lepas dari telapak tangan Emily yang begitu dingin namun perlahan mulai menghangat.

Dokter terlah melakukan tindakan, hanya perlu menunggu Emily siuman karena masa kritisnya juga sudah berlalu.

Pria itu memutuskan menunda penerbangannya ke Kalimantan karena sangat tidak mungikin ia meninggalkan Em sendirian bersama Mbok Irah.

"Bunda.."

"Syukurlah kamu sudah sadar.." Ujar Sam bernafas lega.

Emily kembali memejamkan matanya, ia tidak sanggup melihat wajah Samuel. Wajah yang selama ini coba ia enyahkan dari pikiran dan hatinya namun selalu gagal.

"Kenapa kamu disini?" Tanya Emily dengan nada datar tanpa mau menatap Sam dan melepaskan genggaman Sam kasar.

Terlalu banyak luka yang telah pria itu berikan. Hingga rasanya hanya dengan menatap Sam saja sudah cukup membuat Em menderita.

Samuel membisu dan menunduk tanpa berani memandang wajah wanita yang sangat ia cintai namun juga telah ia lukai dengan sangat itu.

"Kenapa kamu nggak biarin aku mati Sam? Kenapa kamu selalu sukses menghancurkanku?"

"Aku nggak akan biarkan kamu pergi Em.."

Emily berdecih

"Dulu, saat aku benar-benar ingin hidup bersama dengan calon anakku justru kamu membunuh kami?! Kenapa sekarang saat aku ingin mati kamu justru mengacaukannya?!" Tanya Emily dengan emosi berapi-api namun sarat akan luka dan kekecewaan.

Sekali lagi Samuel mencoba meraih tangan Emily namun berhasil wanita itu tepis "Izinkan aku memperbaiki dan menebus semuanya Em.. tolong." 

"Dengan apa kamu ingin menebusnya Sam? Hidupku sudah sangat hancur.. apa yang imgin kamu perbaiki?" Lirih Emily menahan isak tangisnya.

Samuel berpindah duduk di brankar Emily, meraih kedua pipi Emily untuk menangkupnya.

Kedua pasang netra yang sama-sama berkaca-kaca dengan sorot penuh luka dan kekecewaan itu saling beradu.

"Mungkin aku adala laki-laki yang amat sangat tidak tau diri, aku laki-laki terbodoh yang pernah ada di dunia ini. Bahkan aku sadar, aku tidak berhak mendapatkan maaf darimu.."

Samuel menjeda.

"Tapi izinkan aku memperbaiki semuanya.. mengembalikan hidupmu yang pernah terenggut karena kebodohanku."

Emily hanya mampu memejamkan matanya, membiarkan Samuel menghapus lelehan air mata yang mengalir di sudut matanya.

"Bahkan aku sendiri nggak tau, untuk siapa aku hidup." Lirih Emily.

"Untuk diri kamu sendiri.. kamu harus kembali tersenyum dan bahagia.. izinkan aku membuka jalan untuk itu, aku bersumpah kamu akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini."

"Hentikan omong kosongmu Sam.. keluarlah, aku ingin istirahat." Final Emily.

Hari-hari berlalu, Samuel masih menemani Emily meski wanita itu selalu menolak kehadirannya.

Disisi lain, dokter Avian kelimpungan mencari dimana Emily berada. Pria itu nampak frustasi dan kehilangan arah mencari wanita yang sangat mirip dengan mendiang istrinya.

Melihat Emily seperti melihat duplikat Leona, mendiang istrinya. Timbul keinginan yang sangat besar untuk memiliki dan melindungi Emily seperti ia melindungi dan mencintai Leona.

"Dimana kamu Em.." lirih Avian frustasi, setiap hari ia mengunjungi rumah Emily namun selalu kosong, membuatnya semakin tak karuan.

Kembali pada Emily yang kini masih berbaring di brankar mengusap perban yang melingkari pergelangan tangannya.

Sementara Samuel sedang mengemasi pakaiannya dan Emily mengingat sore ini Emily telah diizinkan pulang.

"Em.."

Emily membisu.

"Besok pagi aku harus pergi ke Kalimantan, mungkin akan sedikit lama.. maukah kamu ikut denganku?" Tanya Sam was-was.

Lagi-lagi Emily hanya diam membisu, seolah Samuel adalah sosok makhluk astral tak kasat mata.

"Jujur aku nggak tenang meninggalkan kamu dalam keadaan begini."

"Kenapa? Bahkan dulu kamu meninggalkanku dalam kondisi hampir mati."

Skak mat!

"Karena aku tidak ingin mengulangi kesalahanku."

"Tidak apa-apa kalau memang kamu tidak mau ikut, tapi berjanjilah kamu akan baik-baik saja. Jangan berbuat nekat lagi.. bunda juga tidak ingin melihatmu begini." Ujar Samuel yang kini duduk di bangku disamping brankar Emily.

Pria itu mengecup perban di pergelangan tangan Emily "berjanjilah ini yang terakhir."

Cut ahh...

Gimana-gimana???

His FAULT [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang