Pernikahan yang harmonis tentu menjadi impian setiap wanita, tidak terkecuali bagi gadis bermata sipit dengan senyuman menawan, Zia Giska Dwirani. Baginya menikah adalah hal yang paling diinginkan dalam hidupnya. Lahir dari keluarga sederhana, Zia berani memutuskan menikah di usianya yang masih belia. Tepat dua tahun setelah lulus sekolah kejuruan.
Pernikahan yang hampir berjalan tiga belas tahun dilalui dengan penuh keharmonisan. Andri--suami Zia--penuh perhatian, selalu mampu membuat dirinya jatuh cinta berkali-kali. Itulah yang menjadikan rumah tangga mereka dipenuhi cinta kasih, ditambah dengan kehadiran dua putri cantik di tengah-tengah mereka.
"Pah, hari ini pulang jam berapa?" Zia melirik ke arah suaminya yang sibuk merapikan dasi di depan cermin.
"InsyaAllah, papah pulang cepat, Mah. Hari ini nggak ada lembur. Emangnya kenapa, Mah?" Andri menoleh sambil menyisir rambutnya. Sementara Zia sibuk membereskan tempat tidur.
"Emm ... nggak ada apa-apa sih, cuma mamah siang nanti mau ketemu customer yang mau ambil barang pesenan."
"Nanti lama nggak ketemu sama customernya? Laki-laki atau perempuan?" Andri menghentikan aktivitas di depan cermin, lalu beranjak menghampiri istrinya.
"Duh, Papah, mulai deh. Tenang aja, customer mamah perempuan kok," ujar Zia sambil berjalan menuju nakas di samping tempat tidur.
"Papah nanti sore bisa jemput 'kan? Sekalian kita ajak anak-anak makan malam di luar." Zia mengambil tas Andri di atas nakas lalu membawanya.
"Ya udah, nanti papah kabari lagi."
Zia dan suaminya keluar kamar, lalu menuju ruang makan. Sarapan sudah siap disajikan di atas meja. Zia pun memanggil kedua putrinya untuk mengajak mereka sarapan bersama. Rutinitas setiap pagi yang tidak pernah mereka lewatkan.
Setelah selesai sarapan, Keysha Salsabila--putri pertama Zia--bersiap untuk berangkat sekolah. Biasanya papahnya yang mengantar, karena sekolah Keysha searah dengan kantor Andri.
"Pah, jangan lupa ya, kabari bisa atau nggak jemput mamah. Hati-hati di jalan." Zia mencium punggung tangan suaminya, sementara Andri tak lupa mendaratkan kecupan di kening Zia. Sungguh pemandangan harmonis.
"Key, belajar yang rajin ya, Nak."
"Iya, Mah. Assalamu'alaikum." Keysha pun berpamitan dan tidak lupa mencium punggung tangan ibunya.
Zia pun menutup pintu rumah setelah menjawab salam. Kini dirinya disibukkan dengan pekerjaan rumah, seperti merapikan bekas sarapan, mencuci piring, memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, dan segudang pekerjaan lainnya. Lelah, sudah pasti, Zia juga manusia normal yang kerap merasakan lelah dan jenuh. Namun, semua itu dia lakukan dengan ikhlas dan hati senang. Baginya tidak ada kebahagian selain berperan sebagai ibu rumah tangga sejati.
Dalam kehidupan pernikahannya, Zia berpikir tidak membutuhkan asisten. Padahal Andri sering menawarkan untuk mencari asisten yang dapat meringankan pekerjaan di rumah. Namun, Zia menolak. Karena menurut wanita berwajah tirus itu, biar semua pahala mengalir untuknya.
Setelah hampir satu jam membersihkan rumah. Zia pun duduk sejenak di ruang tamu sambil meminum jus melon buatannya sendiri. Sebelum akhirnya, Kirana menghampiri Zia.
"Mamah lagi ngapain? Nana mau dong," Kirana meminta jus melon yang masih diminum ibunya.
"Eh ... Kirana mau? Ini buat anak mama yang cantik. Habis ini kita berangkat ke sekolah ya, Sayang."
Kirana Silvia--anak kedua Zia--berusia lima tahun, masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Gadis kecil yang ceria itu berbeda dengan kakaknya. Dia memiliki sifat tomboy, cuek, dan lebih cerewet jika dibandingkan dengan Keysha. Selisih usia lima tahun dengan kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Cinta
RomanceZia Giska Dwirani menikah saat usianya masih belia. Saat itu, dirinya membayangkan pernikahan adalah hal yang paling indah, karena dia meyakini bahwa laki-laki pilihannya adalah cinta pertama dan terakhirnya. Namun, pernikahan yang dijalani itu tida...