[Assalamu'alaikum, Bu. Saya Bunda Riri, nanti siang jam berapa kita ketemu?] Salah satu customer Zia mengirim pesan lewat aplikasi berwarna hijau.
[Wa'alaikumsalam, iya Bun. Bunda kemarin pesan satu set panci stainless kan?]
[Iya betul. Ada 'kan? Saya nggak bisa transfer. Nanti saya bayar cash aja ya?]
[Oh, boleh ... boleh, Bun. Jam 1 kita ketemu di depan ruko Berkah Jaya aja ya, Bun.]
[Baik, Bu. Makasih ya sebelumnya. Nanti saya kabari kalau sudah jalan.]
[Oke, Bun. Saya tunggu.]
Bunda Riri adalah salah satu pelanggan setia Zia. Sejak menikah, Zia resign dari tempat kerjanya yang dulu. Andri pun menginginkan Zia hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Namun, jiwa usaha dalam diri Zia tidak bisa terbendung. Maka sebulan setelah menyandang status istri Andri, dia pun meminta izin ingin memulai usaha online. Dalam benaknya, dengan berjualan online, dia masih tetap bisa mengurus keperluan suami dan anak-anak. Maka dari itu, Andri pun mengizinkan Zia.
Setahun pertama berbisnis online dijalani Zia penuh dengan lika liku. Mulai dari banyaknya permintaan customer, kesalahan pengiriman, order yang dibatalkan oleh pelanggan, sampai tunggakan beberapa pelanggan yang sudah membeli barang dagangannya. Dengan sabar, Zia menjalani usahanya. Walaupun keuntungan yang didapat belum sebanding dengan tenaga dan pikiran yang habis untuk memajukan usaha itu.
Sampai memasuki usia pernikahan yang kedua, Zia masih belum dikasih momongan. Andri pun menanyakan hal itu. Sempat sekali mengandung, tetapi janin dalam rahimnya tidak berkembang, hingga harus merelakan janin itu dikuret. Sedih dan terpukul perasaan Zia saat itu. Namun, dia pun mencoba untuk tetap berpikir positif. Mungkin belum waktunya. Sejak kejadian itu, Andri mulai protektif. Bahkan Zia harus mengurangi aktivitas jualan online-nya. Boleh menerima orderan yang tidak terlalu menguras tenaga.
Zia pun memutuskan untuk fokus dalam program kehamilan. Dia dan suaminya menginginkan kehadiran anak dalam keluarga kecil mereka. Merindukan suara tangisan dan tawa seorang bayi yang dapat menambah kehangatan dan keharmonisan dalam pernikahan yang mereka jalani. Berbagai cara ditempuh oleh Zia bersama suami, mulai dari konsultasi ke dokter, pengobatan alternatif, mencari informasi dari kerabat, keluarga, juga sahabat dekat. Semua itu demi kehadiran buah cinta mereka.
Dering ponsel mengagetkan Zia dari lamunan. Terlihat kontak Bunda Riri memanggil. Zia segera mengangkat telepon untuk menjawab panggilan tersebut.
"Assalamu'alaikum, Bun. Bunda di mana? Saya sudah sampai ruko."
"Wa'alaikumsalam, iya Bu. Maaf ya, saya masih di angkot, kena macet nih di depan pasar. Tunggu ya, Bu."
"Oh iya, Bun. Nggak apa-apa kok, ini saya juga sambil nemenin Kirana makan bakso. Bunda tau 'kan bakso rusuk yang ada di seberang ruko Berkah Jaya?"
"Oh iya ... iya, saya sering makan di situ juga. Nanti saya nyusul ke sana. Sekali lagi maaf ya, Bu, jadi nunggu lama."
"Nggak apa-apa, Bun. Hati-hati di jalan."
Zia menekan gambar ikon telepon warna merah untuk menutup panggilan Bunda Riri. Dia melihat jam dari layar ponsel. Waktu menunjukkan pukul setengah dua siang. Kembali Zia membuka aplikasi WhatsApp, mengecek apakah ada pesan masuk dari suami. Nihil. Andri belum juga memberi kabar.
Sepulang dari sekolah Kirana, Zia menyempatkan mengambil barang pesanan Bunda Riri. Lalu pulang ke rumah untuk mengganti pakaian Kirana. Siang itu, sengaja Zia tidak membawa motor maticnya. Dia berharap Andri akan menjemputnya nanti sore.
Tumben papah belum WA mamah, Zia berbicara sendiri.
"Mah, Mamah. Kok ngomong sendiri?" tanya Kirana polos dengan pipi yang mengembang karena dipenuhi bakso.
"Eh ... habisin dulu makanan di mulut, nggak boleh ngomong kalau masih ngunyah makanan. Nanti keselek loh."
Kirana tersenyum, memperlihatkan deretan giginya. Manis sekali.
"Iya Mah, maap ya, Nana lupa, abisnya Mamah tadi ngomong sendiri. Pasti lagi mikirin papah ya?"
"Iya nih, mamah lagi nunggu WA dari papah. Yuk, udah habis belum baksonya? Bentar lagi teman mama datang."
Setelah kurang lebih setengah jam Zia dan anaknya menunggu, akhirnya Bunda Riri datang. Berkali-kali wanita paruh baya itu meminta maaf karena terlambat dari waktu mereka janjian. Zia sangat memaklumi kondisi pelanggannya. Tidak lama kemudian, akhirnya transaksi jual beli pesanan Bunda Riri sudah beres. Zia sangat pengertian dengan pelanggan setianya. Karena itulah, usaha Zia semakin maju karena dipercaya oleh para customer. Zia pun sesekali memberikan bonus produk jika pembelian mereka lebih banyak.
Zia pun kembali mengecek ponsel. Masih belum ada kabar dari suami. Ibu dua anak itu pun segera mengirim pesan.
[Pah, jadi jemput mamah?]
[Mamah sudah selesai ketemu sama customer mamah. Sekarang masih di dekat Ruko Berkah Jaya.]
Pesan sudah terkirim, terlihat centang dua, tetapi belum berubah warna biru. Artinya belum dibaca.
Kenapa ya papah belum baca WA mamah, padahal sudah hampir jam tiga. Biasanya 'kan papah jam segini sudah tidak terlalu sibuk. Zia terus berbicara dalam hati.
"Kirana cape? Papah belum baca WA mamah nih. Sabar ya, Sayang. Kita tunggu lima belas menit lagi." Zia mengusap keringat yang mengucur di kening putrinya.
Zia baru ingat kalau Keysha biasanya pulang jam tiga sore. Setiap hari Senin sampai Kamis, putri sulung mereka les sepulang sekolah. Dia pun menghubungi gurunya meminta tolong untuk memberi pesan kepada Keysha agar nanti tidak usah pulang ke rumah dan menunggu sebentar di sekolah. Zia nanti yang akan menjemputnya.
Lima belas menit berlalu. Suami Zia masih belum juga membalas pesannya. Akhirnya, wanita itu memutuskan untuk menjemput Keysha ke sekolahnya. Dengan memesan kendaraan melalui aplikasi online supaya perjalanan lebih efektif jika dibandingkan dengan naik kendaraan umum.
Mobil berwarna silver itu tepat berhenti di depan Zia. Setelah memastikan plat nomor kendaraan itu, Zia dan anaknya pun langsung naik. Mereka duduk di belakang kemudi. Supir segera menerobos kemacetan Kota Jakarta. Sudah tidak aneh, menjelang sore hari, banyak kendaraan lalu lalang.
Kemacetan dan suara bising kendaraan tidak mampu mengusik lamunan Zia. Pikirannya melayang, memikirkan apa yang terjadi dengan Andri. Tidak biasanya, laki-laki berkacamata itu lama membalas pesan darinya. Lagi-lagi ponsel dikeluarkan dari tas selempang. Zia berkali-kali mengecek WhatsApp. Sama saja. Andri belum membaca pesan. Sesekali pandangannya ke arah jalanan. Kekhawatiran nampak dari wajah cantiknya.
"Mah, papah kenapa nggak jadi jemput kita?" Kirana menarik ujung pashmina yang dikenakan ibunya. Sontak Zia kaget karena suara putri kecilnya membuyarkan lamunan.
"Mungkin papah masih sibuk di kantor, Na. Sekarang kita ke sekolah kakak dulu ya, kasian Kak Keysha udah lama nunggu kita."
Sekitar empat puluh lima menit perjalanan menuju sekolah Keysha. Akhirnya mobil yang ditumpangi Zia dan anaknya tiba juga. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih kepada supir. Zia pun berlalu. Halaman sekolah begitu sepi, tempat parkir motor pun kosong. Menandakan penghuni sekolah sudah tidak ada. Zia bergegas masuk ke gerbang sekolah. Terlihat satpam menghampiri Zia.
"Pak, apa putri saya masih menunggu di dalam?"
"Keysha ya, Bu? Sebentar saya cari ke dalam. Ibu boleh tunggu di sini." Satpam itu masuk ke ruang guru dan menanyakan keberadaan Keysha. Tidak lama kemudian, dia kembali menemui Zia.
"Wah ... maaf Bu, putri ibu sudah tidak ada. Tadi saya tanya ke gurunya, katanya sudah dijemput."
"Loh, sama siapa? 'Kan saya sudah bilang tunggu, jangan pulang dulu karena saya yang jemput." Zia memperlihatkan wajah panik. Diraihnya ponsel yang ada di tas, lalu segera menelepon Andri. Sayang, ponsel suaminya tidak aktif.
Ya Allah, kemana Keysha. Suara hati kecil Zia berbicara.
.
.
.Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Cinta
RomanceZia Giska Dwirani menikah saat usianya masih belia. Saat itu, dirinya membayangkan pernikahan adalah hal yang paling indah, karena dia meyakini bahwa laki-laki pilihannya adalah cinta pertama dan terakhirnya. Namun, pernikahan yang dijalani itu tida...