3: Pembawa Sial

5 0 0
                                    

Sial, sial, sial, sial! Gara-gara anak itu tidur gue jadi ga tenang, aneh, gila! Seribu tanda seru walau diketik oleh penulis juga tak bisa mengungkapkan betapa gundahnya gue sampai ingin berteriak sekuat tenaga, argh!!!

Gue kira dia cuma tau aja tentang siapa Ega Prameswara itu, ternyata dia masih keluarganya?! Si kepara- ah sudahlah! Dari awal gue udah ngucapin sial sebanyak empat kali, hei penulis! Lo mau bikin gue terlihat seperti orang yang kasar ya?!

Huftthh, sebelum nanti POV gue diambil sama penulis, mending lanjut ke permasalahan DINI-HARI ini.

Kalo lo pada mau tau, ini jam 2 pagi hari Senin. Dan yang gue lakuin adalah lari ke sekolah buat maling data siswa di ruang OSIS! Syukurnya, data anggota klub baik yang masih berjalan ataupun sudah berhenti disimpan dalam rak besi dengan rapi. Gue hanya bisa berdoa dalam hati agar nantinya tak ada kendala.

Pelan-pelan, gue menaikkan kaki keatas tong sampah yang biasa gue hampiri setiap pagi, ugh bau. Tolonggg banget pak, jangan ciduk gue! Kunci gue masukkan diam-diam lalu dibuka perlahan agar tak ada siapa yang mendengar.

"Misi..." Bisik gue lalu masuk dan menutup pintu. Segera dengan senter dari ponsel gue mengulik satu-persatu tumpukan kertas. Aruna, aruna. Lo jadi orang jangan susah dicari dong!

Sempat gue ingin mengucapkan kata 'Yes!' kenceng-kenceng, namun mata gue tertuju pada alamat yang terpampang diatas lembar kertas tersebut.

"Jalan cempaka nomor empat tiga..?" Gumam gue. Apa ya? Kayak engga asing. Tapi itu ga penting, sekarang gue harus ngejar Aruna yang tau soal Ega Prameswara.

Upacara kematian kakak baru aja minggu lalu dan dia sama sekali engga ada kabar? Gue tau mereka udah putus dua tahun lalu, tapi setelah itu mereka masih jalin hubungan sebagai teman.

Apa ada bagian yang gue lewatin?

Sekarang gue tinggal masuk ke mimpi Aruna diam-diam meski gue gatau yang mana. Biasanya gue tau soal informasi orang lain walaupun engga pernah bicara, dan itu karena orang lain membicarakan mereka.

Tapi yang seperti Aruna ini...
Bersih dari yang baik maupun yang buruk, alias tidak ada informasi sama sekali. Apa benar dia anak sekolah ini?

Desiran angin terasa semakin dingin secara tiba-tiba, aku merinding. Pelan-pelan aku menyusuri pinggir jalanan bernama Cempaka nomor 43 ini. Mencari rumah yang lampunya masih menyala. Namun sayangnya, kadang rencana memang suka tak sesuai.

Aku menyusuri lagi jalanan sepanjang 5 meter ini yang menurutku lebih mirip seperti gang karena sangat sepi penduduk, rumah pun hanya satu.

Ah? Kurasa aku menemukannya. Satu-satunya rumah di jalanan ini, adalah rumah bermaterial kayu dengan satu jendela dan satu pintu kayu. Disekelilingnya ada tanaman semak berbunga merah, kalau tidak salah Asoka?

Kuharap tempat ini benar rumahnya Aruna. Tapi mengapa lampu luarnya tak dinyalakan? Sementara toko di ujung jalan saja masih terang benderang.

Aku menelan ludah, ini agak menyeramkan. Sampai akhirnya aku menyadari gelagatku jauh lebih menyeramkan.

Orang mana yang dini hari begini mau mengetuk pintu rumah yang lampunya bahkan tidak hidup? Lalu aku harus menyelinap masuk?

"Permisi..!" Ucapku setengah berteriak sambil pelan pelan mengetuk pintu. Ini bukan daerahku, apa anak ini tinggal sendirian tanpa tetangga?

Cklek!

Sontak aku mundur beberapa langkah dari tempat ku berdiri, menemui seseorang tengah berjalan sambil menutup matanya. "Aruna?" Tanyaku pelan padanya namun tak menyahut, apa anak ini tidur berjalan?

Aku memutuskan untuk pelan-pelan mengikutinya dari belakang. Melewati gang yang sempit bersamaan dengan hawa dingin yang merasuk jaket tebalku. Tapi Aruna hanya memakai kaus tidurnya dan berjalan sambil sesekali menaruh tangan pada bahunya, seperti sedang membawa tas, haha.

Semakin lama aku mengikuti gadis ini arah berjalannya semakin tidak benar, ia terus menerus berjalan kekiri kekanan seperti sedang kebingungan. Lalu kulihat dari rawa dihadapan Aruna muncul bayangan hitam yang tingginya mungkin sekitar 2 meter atau lebih. Glek.

"Aruna, bangun! Bayangannya—" Belum sempat aku melanjutkan kalimat, buru-buru aku berteriak mengajak Aruna untuk segera lari karena bayangan itu seperti mau melahap kami. Aku menarik lengan Aruna lalu tanpa sadar menarik rantai besi kecil berhias satu mutiara ditengahnya.

Pats!

Begitulah akhirnya aku sampai ke dimensi mimpi milik Aruna. Aruna pun sadar akan hal itu dari perkataannya. Lantas bagaimana sekarang?

"Aseru, gua gatau gimana caranya lo bisa masuk kesini atau justru khayalan gue mulai gajelas karena lucid dream begini. Yang pasti gua mau pulang sekarang, sekolah." Ucapnya sambil memejam mata kembali.

Aku sejenak merasa bersyukur karena kami bisa membicarakannya di dunia nyata, namun lalu Aruna bangun lagi dengan wajah kecewa. "Bukan lucid? Lah jadi apaan dong?" Tanyanya cengo.

"Menurutku, jiwa kita masuk ke alam mimpimu." Jawabku sambil berfikir. Lantas dimana ragaku sekarang?

Aruna terkekeh pelan, "haha sampai ke alam mimpi malah pakai bahasa formal. Padahal tadi pas panik lo-gue juga" Ucapnya sambil berlipat lengan dan menoleh kesebelah kiri.

Lalu ke kanan.

Lalu ke kiri lagi.

Lalu ke depan.

"Kenapa aku takut ya." Ucapnya tiba-tiba sambil memeluk dirinya seperti sedang kedinginan ketika cuaca terik. Ia segera berdiri dan memberiku tangan untuk diraih, sambil berucap "ayo pulang. Aku mau balikin baju seragammu" Dengan tersenyum.

Belum sempat tanganku meraihnya, ia menariknya lalu mengerutkan alis dan menaikkan ujung bibirnya kesebelah kiri. "Kau pikir aku tidak curiga padamu sejak awal?" Tanyanya menaikkan nada bicara. Apa karena aku tersenyum padanya di koridor?

"Padahal itu hari sabtu, dan kau bertanya kenapa aku telat? Aku bahkan tidak ikut kelas tambahan kecuali untuk Bu Patmi!" Jelasnya. Aku menghela nafas lega.

"Tapi bukankah lebih mencurigakan untukmu yang memberi tahuku sesuatu dikoridor padahal janji itu baru bisa lepas setelah lulus" Sambungnya melirikku sinis. "Aku tidak mengucap janjinya." Balasku lalu berdiri.

"Kalau kau bisa masuk ke mimpiku, bukankah kau tau sesuatu tentang sihir?" Tanya Aruna lagi. "Janji itu bukannya punya pelindung yang membuat hawanya tak terasa, bahkan manusia biasa pasti ikut merinding."

"Apa kau bisa melihat warna sihirnya? Sihir itu menggembok pergerakanmu juga, apa kau punya penawarnya?" Tanyanya mengintrogasiku. "Aku sudah bilang, aku tak mengucap janjinya, kan?" Tanyaku kembali untuk mengingatkannya.

"Kalau iya aku tau penawar dari sihir tersebut mungkin itu karena aku anak seorang penyihir. Tapi aku tidak." Sambungku. "Aku anak penyihir, tapi aku tak tau apapun soal sihir itu, tuh." Balasnya dengan nada santai. Huh? Ia kembali menyambung kalimatnya, "kalau aku tau penawarnya mungkin aku adalah orang yang membuat sihir tersebut. Tapi aku tidak."

"Ega Prameswara yang kau cari itu terkunci pada sihir yang ia ucapkan 5 tahun lampau." Ucapnya menatapku nanar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang