ONE STEP BACKWARD

17 2 0
                                    

Kupandangi penampakan gedung bertingkat tiga didepanku dengan bosan. Hampir tiga puluh menit berlalu aku berdiri dan tak melakukan apapun. Pak Ali, supir Decode ikut keluar dan mendekatiku.

"Kayaknya kali ini lebih lama ya Nona?" tanyanya basi basi.

Aku menggangguk sambil menendang kerikil dikakiku. Tak perlu ditanyakan juga aku sudah hampir mati kebosanan disini. Entah apa yang terjadi disana. Aku tak diizinkan ikut ke dalam. Kerja sama untuk mendapatkan gedung itu pasti melalui beberapa perdebatan. Karena biasanya proses semacam itu berlangsung cepat. Aku cukup datang membawa surat dari Decode Company dan tanda tangan kedua belah pihak kemudian pertemuan berakhir.

"Habis ini, kita masih harus ke acara penggalangan dana juga, pak."

Pak Ali mengambil sesuatu dari saku celananya. Beliau mengeluarkan sekotak rokok dan lighter ditangannya. "Nona mau satu?"

Aku menggeleng. Itu jelas bukan kebiasaanku. Tapi aku tetap memberinya kesempatan untuk menikmati nikotinnya sendiri. Aku izin sebentar menuju jalan seberang. Urusan kami takkan selesai dengan cepat sepertinya.

Sebuah mini market menjadi tujuanku. Tanganku mengambil beberapa cemilan kemasan dan minuman kaleng. Air mineral juga tak lupa kubawa. Aku meringis tanpa sadar ketika tak sengaja melihat ke rak kebutuhan khusus perempuan. Benar juga tugas ini akan berlangsung sampai tengah malam. Tanpa berpikir panjang kubawa semua barang-barang itu masuk ke dalam keranjang belanja. Menyelesaikan pembayaran, aku cepat-cepat keluar dari sana. Menyebrangi dengan hati-hati sebelum bergerak menuju Jaguar putih.

Pak Ali sudah menghidupkan mesin mobil. Aku menebak pertemuan panjang tadi sudah berakhir. Sadam sedang melepas jas dan melemparnya ke bangku belakang saat aku duduk disebelahnya. Tanganku otomatis menyerahkan minuman dari kresek yang kubawa. Sadam menerimanya dan meneguk isinya hingga tandas.

"Kita jalan sekarang tuan?"

"Iya pak, jalan aja." Kataku sambil menengok ke belakang, mengambil jas hitam yang dilempar sembarang tadi.

"Kamu yakin, nggak mau ke toilet dulu?"

Aku berhenti melipat jas dan kembali memandang Sadam. "Kamu mau ke toilet?" tanyaku balik.

Sadam menggeleng. Tapi tangannya mengangkat pantyliner dari kresek yang kubawa tadi. Wajahku berubah padam. Dasar. Siapa yang mengizinkannya memeriksa isi belanjaanku.

"Jalan aja pak." Teriakku pada pak Ali. Lelaki paruh baya itu mengangguk dan mobil pun bergerak. Kurampas benda itu lengkap dengan kreseknya dari tangan Sadam, sebelum membawanya ke bangku belakang. Sebaliknya kuambil jas lain dari gantungan.

"Pakai ini, Dam. Perkiraan kita akan sampai jam 5. Kamu tidak mau..."

"No. Aku bukan Shin yang perlu make up segala." Protes Sadam ketika aku mulai melirik tas tangan yang kubawa. Lagi-lagi nama Shin dibawa. Aku tidak ingin mendebat dan mulai membenah berkas kesepakatan pemindahan kepemilikan gedung tadi. Selanjutnya kufoto berkas tersebut dan mengirimkan ke email kantor DS.

Sadam sudah berganti jas dan menyemprotkan sedikit parfum. Tindakan itu cukup membuat hidungku tak tahan karena wanginya. Memang bukan jenis wewangian yang menyengat tapi cukup berbekas untuk diingat. Aku tahu beberapa jenis parfum memiliki aroma sama namun pengaplikasiannya pada tubuh seorang berbeda-beda reaksi. Untuk kasus Sadam, hal itu berlaku. Aku bersumpah bisa tertidur pulas dengan bau itu didekatku.

"Pak Ali."

"Ya tuan?"

Sadam menyandar sambil melirik ke jendela. "Perlu kuingatkan, Monalisa tidak merokok. Jangan coba-coba menawarinya lagi. Aku tidak suka." Telingaku mendadak panas mendengar namaku disebut. Darimana dia tahu pak Ali menawariku?

THE POLAR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang