4

33 8 5
                                    

Yuto mengamati lekuk wajah Keito yang kini tertidur. Hanya satu kata yang mampu menjelaskan kondisi Keito saat ini. Damai.

"Ittai.." gumaman Keito diikuti bulir air mata sungguh mengagetkan Yuto. Baru saja ia melihat wajah damai Keito.

"Sebenarnya apa tujuan wanita ini? Mengunjungi club dan memesanku hanya untuk melihatnya tidur dan menangis?" sebal Yuto.

Puk puk

"Hei.. bangun. Ada apa?" Yuto semakin panik ketika Keito semakin tidak tenang dalam tidurnya.

"Yu-ya?" Keito terbangun.

"Yuya? Aku Yuto."

"Hm? Siapa Yuto?"

Keito duduk sembari mengamati sekeliling ruangan. Nyawa belum sepenuhnya terkumpul, pandanganya pun masih terasa mengawang. Apa aku lagi-lagi berada di rumah sakit? Keito mengira-ngira, hingga matanya menangkap sosok jangkung yang menatapnya miris.

"Kamu..?"

"Yuto. Jangan lupakan itu." Tegas si pria malam ini.

"Maaf..."

Keito menggeser duduknya menjauhi Yuto. Punggungnya ia sandarkan pada headboard  untuk memperoleh kenyamanan sementara. Tangan kanannya terulur mengelus pelan perutnya, tempat si buah hati terlelap sebelum akhirnya ia pergi ke alam abadi lebih dulu. Titik air mata terus berjatuhan. Dewi fortuna tidak pernah berpihak padanya. Tidak hanya satu kesakitan yang ia terima. Rentetan kesedihan selalu menghampirinya satu persatu semenjak ayahnya meninggal.

"Aku tau ini bukan urusanku, tapi sedari malam aku melihatmu sangat gusar bahkan ketika tidur. Aku sedikit cemas. Mau berbagi?" Wajah malaikat Yuto seketika terpahat begitu instan.

Keito mengalihkan pandangan yang awalnya pada tangan yang terus bergerak mengelus perutnya, kini tertuju pada sumber suara yang menawarkan bantuan secara mendadak.

"Apa pedulimu?"

"Jangan remehkan, aku memang pria yang sering dianggap rendah oleh orang lain, tapi sebenarnya tinggiku 180 cm..."

"..."

"Krik, bercanda. Maksudku, aku juga manusia. Setidaknya aku masih punya rasa simpati. Apa lagi pada wanita lemah sepertimu."

Bugh

Bugh

Bugh

Dua bantal dan satu guling bergantian menghantam wajah tirus Yuto. Pelakunya? Keito. Ia seketika naik darah sudah dicap lemah oleh orang yang bahkan baru mengenalnya beberapa jam. Lancang sekali tengkorak hidup ini.

"Itte! Aku sudah berbaik hati padahal."

"Ne, apa kamu pernah merasa kehilangan?" tanya Keito tiba-tiba.

"Um.. Tentu saja pernah." Yuto menjawab dengan menganggukーsedikit berlebihan.

"Bagaimana rasanya? Menyakitkan?"

Yuto sedikit mendeham. Tatapannya berubah sendu, mungkin mengingat hal pahit yang ia terima di masa lalu.

"S-sangat." Nada yang sangat pelan namun tegas ia suarakan. Yuto membenarkan posisinya dan duduk berahadapan dengan Keito. "Aku tau kamu juga sedang merasa kesepian. Aku siap menjadi pendengar yang baik jika kamu mau."

"Ayahku meninggal, aku menikah dengan pria yang menjadi penyebabnya tiga tahun lalu. Kontrak pernikahan dijalankan 10 tahun untuk menebus dosanya. Aku tidak pernah bahagia. Bentakan dan kekerasan. Dia berselingkuh dengan perempuan lain, dan terakhir atas ulahnya juga tiga hari yang lalu aku kehilangan anak kami. Semuanya jahat."

Yuto terdiam, bukan masalah sepela yang tengah dihadapi wanita ini. Dia ingin menarik kata-katanya kembali. Keito bukan wanita lemah, dia sangat kuat.

"Kenapa masih bersamanya? Kalian bisa bercerai dan mengusut semua ini ke polisi."

"Aku tidak bisa."

"Kenapa? Diancam?"

"Aku... mencintainya."

Pengakuan yang membuat Yuto tak percaya. Inikah yang dinamakan cinta membutakan segalanya? Membuat sang empunya mati rasa? Tidak bisa melihat dan merasakan arti cinta yang sesungguhnya.

"Jangan balut kebodohanmu atas nama cinta. Itu tidak benar!"

Game of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang