Seberkas cahaya itu perlahan menyilaukan pandangan Seokjin tatkala ia tersadar dari tidur panjangnya. Berkedip lemah untuk mengumpulkan ingatan yang membuat kepalanya mendadak terasa begitu sakit. Ia pikir akan berakhir mati mengenaskan, nyatanya Tuhan masih memberinya belas kasihan.
"Seokjin?"
Suara itu?
Perlahan ia menoleh dan bertemu pandang dengan Ibunya, omega berparas ayu yang terlihat letih dan seraut wajah lega dari Ayahnya yang menyusul di sampingnya, menengok keadaan anak semata wayang mereka.
"I-ibu, Ayah, maaf," ujarnya lirih. Dominasi atas ketidakberdayaan juga ketakutan yang ia timbun sejak kecil.
Bahkan untuk menangis pun Seokjin tidak berani. Ia hanya meringkuk untuk menyembunyikan muka. Tingkah yang begitu ganjil dan membuat kedua orang tuanya terkejut melihatnya.
"Sayang, ini Ibu, nak. Jangan begini, Seokjin. Apa ada yang sakit? Ibu panggil dokter ya?"
"Ja-jangan. Jangan pergi, Bu. Seokjin rindu pada Ayah dan Ibu." Tipikal anak semata wayang yang manja, Seokjin yang kesakitan hanya ingin ditunggui Ibunya. "Maafkan Seokjin yang tumbuh menjadi omega pengacau ini, Bu."
Seokjin diambil saat masih bayi merah di sebuah panti asuhan. Bayi tampan bermata bulan itu menjadi harapan satu-satunya pasangan suami istri yang dinyatakan mandul. Namun hasil secondary sex yang menyatakan dirinya seorang omega, membuat harapan sebagai penerus bisnis keluarga langsung pupus.
Stigma bahwa omega tidak sepatutnya berkarir melampaui kedudukan alpha masih sangat kental pada masa itu.
Sang kakek menasehati bahwa masih ada jalan untuk menjadikan Seokjin berhasil memimpin perusahaan, sebab cucunya itu tergolong anak yang cerdik. Tumbuh sebagai seorang cendekiawan membuat kakeknya lebih jeli dan mengusulkan agar Seokjin lebih didukung untuk bidang akademik maupun bakatnya di bidang lain.
Pada usia duabelas tahun, Seokjin menyadari bahwa pandangan mata kedua orang tuanya tidaklah sama. Kasih sayang juga perhatian dari keduanya perlahan luruh. Prestasi yang ia raih bagai angin yang dingin dan tak berwujud.
Mulanya Seokjin amat sedih, merasa diabaikan karena dia adalah seorang omega. Satu tahun setelahnya, barulah ia tahu alasan mengapa ia dititipkan pada kakeknya, sedangkan kedua orang tuanya menetap di Jepang untuk selamanya, karena dirinya hanyalah anak pungut yang tidak bisa memenuhi harapan kedua orangtuanya yang menginginkan penerus bisnis seorang alpha lelaki.
Ayah Seokjin membantunya perlahan menegakkan badan untuk bersandar pada pundak Ibunya, alpha paruh baya itu mengusap surai anak lelakinya penuh penyesalan. Andai saja ia membawa Seokjin maka Seokjin tidak perlu berusaha terlalu keras untuk meningkatkan prestasi dan bergelut di organisasi kampus sehingga mengusik alpha lain yang mengedepankan dengki sampai mencelakainya begini.
Seokjin juga seharusnya tidak perlu susah payah mencari kekasih seakan kedua orang tuanya akan memberi hukuman jika ia tidak berhasil mendapatkan sosok alpha yang sempurna: kaya, sepadan, dan berpendidikan tinggi.
Itu hanya akan membuat Seokjin kehilangan mate-nya, Kim Namjoon.
"Seokjin, ikut Ayah dan Ibu ke Jepang saja ya?"
"Heum?" Seokjin yang masih bergelayut pada lengan Ibunya, sontak mendongak bingung mendengar ajakan sang Ayah.
"Kita tinggal di sana, berkumpul seperti dulu," jelas Ayahnya perlahan.
"Ayah, biarkan Seokjin istirahat dulu, jangan membuatnya kaget begitu. Kita bicarakan setelah Seokjin makan. Sekarang Ibu panggilkan perawat dulu ya, Seokjin. Biar kau mendapatkan jatah makanmu, nanti Ibu suapi," sahut Ibunya sembari menyandarkan punggung Seokjin pada bantal yang tersusun tinggi di kepala ranjangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Omega Moringa and The Honey (✓)
Werewolf[END] Aroma segar floral dan manis vanilla menguar tiap kali Seokjin berjalan mengabaikannya. Bukan masalah, toh Namjoon membencinya. Dan Seokjin juga telah membatalkan pertunangan mereka satu bulan yang lalu.