Andaru mengerjap, mencoba mengedarkan pandangan meski sekelilingnya remang-remang. Sebuah teriakan telah berhasil membuat bocah sepuluh tahun itu terjaga secara tiba-tiba. Sekarang, dia menajamkan telinga karena tangis seseorang semakin terdengar jelas.
Dia menyibak selimut sembari mengucek mata, kemudian meraih gagang pintu untuk mengetahui apa yang terjadi di luar kamarnya.
"Ampun …."
Suara serak dan lemah itu membuat Andaru terpaku. Terlebih, dia mendapati perempuan bersimpuh di lantai. Ketika hendak membuka pintu lebih lebar lagi, tangan bocah itu tiba-tiba kaku. Matanya beralih ke sosok jangkung yang saat ini sedang mengangkat kursi kayu tinggi-tinggi, siap dihantamkan ke sang ibu.
"Ma-ma …." Suara pelan Andaru membuat kedua orang tuanya menoleh. Namun, itu justru membuat dia mencengkeram gagang pintu erat-erat.
Sang ayah menurunkan kursi yang sebelumnya diangkat di atas kepala. Tatapannya masih tertuju kepada Andaru. Tak ada kasih sayang yang terpancar dari kedua manik mata lelaki itu. Perlahan, dia menyeringai.
Seperti tahu apa yang akan dilakukan sang suami, Nala, ibu Andaru tiba-tiba berseru, "Masuk, Andaru! Tutup kamarmu!"
Andaru tidak tahu, perintah macam apa itu. Belum sempat dia menutup pintu, sebuah asbak kaca melayang ke arahnya. Beruntung, benda itu mengenai daun pintu, dan akhirnya hancur berkeping-keping di lantai.
"Anak sialan!" Ayah Andaru berseru setelah asbak yang dilempar tidak mengenai sasaran. Sekarang, lelaki itu berjalan mendekat.
"Masuk, Aru!" Nala berusaha bangkit meski susah payah.
"Dasar anak setan! Sini kamu!"
Seperti mimpi buruk, tubuh Andaru gemetar. Alih-alih menutup pintu, dia justru terpaku memperhatikan wajah sang ayah yang memerah dan mata melotot.
"Anak nggak berguna!"
Andaru memejam. Dia yakin beberapa saat lagi tubuhnya akan kesakitan karena ayahnya sudah semakin dekat.
"Jangan sakiti Aru …." Suara lemah itu membuat Andaru membuka mata. Dia melihat ibunya sedang mendekap kedua kaki sang ayah.
"Apa pun, asal jangan Aru …."
Kemudian, Andaru menyaksikan ayahnya menyeret sang ibu ke luar rumah, meninggalkan jejak darah sepanjang lantai yang dilewati.
Deru mobil memecah sunyi malam. Mempertegas bahwa sekarang Andaru sendirian. Ketakutan.
Sejak saat itu, Andaru tidak lagi asing dengan rintihan dan erangan sepanjang malam. Sayangnya, dia tidak tahu apa yang terjadi kepada ibunya.
"Tidurlah …." Begitu pesan Nala setiap kali menyuruh Andaru masuk kamar, lalu mengunci pintu dari luar.
Bocah lelaki itu ingin sekali bertanya, kenapa harus tidur lebih awal? Kenapa pintunya dikunci dari luar? Namun, pertanyaan itu hanya bertengger di kepala, tak pernah dilontarkan kepada ibunya.
Andaru meringkuk. Kedua tangannya memegangi selimut erat-erat. Sekuat apa pun matanya berusaha terpejam, nyatanya kesadaran tak kunjung menghilang. Terkadang, dia merutuki kenapa terlalu peka, bahkan helaan napas sang ibu saja seakan-akan terdengar di telinganya.
***
Siang itu, matahari teramat terik. Andaru mengayuh sepeda sekencang mungkin. Dia ingin segera sampai di rumah. Tenggorokannya kering kerontang karena air minumnya habis ketika pelajaran olahraga.
Jalanan berkelok dan sesekali menanjak, tak membuat bocah itu mengeluh. Dia tetap melintasi perkebunan teh dan menikmati semilir angin yang mengenai wajahnya.
Andaru semringah setelah bangunan megah di tengah kebun teh terlihat. Dia semakin giat mengayuh sepeda. Namun, setelah mendapati sebuah Jeep terparkir di halaman, laju sepedanya melambat.
Bocah itu mengernyit. Merasa asing dengan kendaraan roda empat yang jelas-jelas bukan milik ayahnya. Meski begitu, dia memarkirkan sepeda tepat di samping Jeep.
Kaki Andaru meniti tangga menuju ruang tamu. Rasa hausnya lebih mendominasi ketimbang rasa penasaran akan kendaraan yang ada di halaman.
Rintihan dan erangan membuat Andaru memelankan langkah. Dia menajamkan telinga, mencari sumber suara itu. Sampai akhirnya, bocah itu sampai di depan kamar sang ibu. Tangannya tiba-tiba terulur dan mendorong daun pintu.
Mata Andaru membulat. Tubuhnya bergetar hebat. Di atas ranjang, dua manusia tengah adu gulat.
Rasa penasaran yang selama ini bersarang di kepala, terjawab sudah. Rintihan-rintihan itu lebih mengerikan dari bayangan anak sekecil Andaru. Tak ada air mata di pipi ibunya, tak ada jerit kesakitan seperti dalam bayangannya.
Andaru mematung. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh ibunya bersama pria lain, tanpa busana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Budhal-Budhal Kono
Ficción GeneralTerlahir dari keluarga pecandu narkoba adalah kutukan. Sayangnya, Andaru tidak bisa menawar kepada Tuhan atas takdir kelam itu. Hari-hari Andaru diwarnai dengan teriakan, pukulan, kelaparan, dan yang paling mengerikan adalah menyaksikan kedua orang...