Hari ini sangat terik.
Walaupun begitu, sebagian orang-orang memilih untuk keluar rumah untuk makan siang karena ingin menu yang mereka inginkan. Sedangkan sebagian lagi memilih untuk berada di dalam rumah, malas walau sekedar hanya lengkahkan kaki ke luar pintu.
Di salah satu café yang terletak di pusat kota, suasana lenggang terlihat dari balik kaca jendela. Café bergaya klasik ini memang menjadi salah satu terfavorit bagi kaula muda. Bukan hanya sekedar desain interior yang terkesan hangat, namun makanan dan minuman yang disajikan tergolong enak.
Saat memasuki ruangan, warna coklat kayu dan merah bata akan memanjakan mata. Meja dan kursi berderet disisi kanan dan kiri, menyisakan ruangan besar untuk hilir mudik pengunjung. Beberapa lukisan klasik terpajang apik menghiasi dinding.
Di ujung kiri, dekat dengan televisi, tangga berbahan dasar kayu jati menghubungkan ke lantai dua. Dari sana, pemandangan seluruh café akan terlihat lebih jelas.
Disudut ruangan, dua orang wanita bersurai coklat duduk santai ditemani dua gelas kopi yang masih mengepul. Di ujung meja, terdapat dua puku yang ditumpuk menjadi satu. Itu adalah buku milik seseorang diantaranya, yang memiliki fitur wajah lebih dewasa.
Mereka adalah Jannete Margrita dan dokter Hannah. Seorang dokter psikiter yang sudah lalang melintang dalam bidangnya.
"Dokter, sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan." Jannete berkata dengan yakin.
Hannah menyeruput kopinya, lalu menatap Jannete setelah meletakkan cup kembali ke atas piring kecil. "Apa yang ingin kau tanyakan?" ucapnya tersenyum.
Hannah cukup tertarik dengan Jannete. Melihat gadis itu saat ini mengingatkannya saat dia masih muda dulu. Selalu mencari dokter senior untuk mendapatkan ilmu ataupun hanya sekedar berdiskusi mengenai suatu topik psikologis.
Sama halnya dengan Jannete.
Setelah pertemuan antara dokter senior dan junior, serta memperkenalkan dirinya sebagai dokter senior baru di Obelia International Hospital, Jannete langsung menemuinya setelah acara berakhir. Lalu meminta pertemuan dihari lain untuk berdiskusi. Dan hari ini adala hari itu.
Hannah bukanlah seorang psikiater yang pelit ilmu. Dia suka berbagi pada generasi yang lebih muda. Berharap bahwa ilmu yang dia berikan dapat bermanfaat bagi orang lain untuk perkembangan penelitian dibidang psikologis.
Karenanya, dia sempat mengajar di salah satu universitas terkemuka dan seringkali mengisi waktu diseminar hanya untuk berbagi ilmu di kelas umum. Dia sama sekali tidak meminta sepeserpun bayaran dari apa yang dia lakukan.
"Sebenarnya ada seseorang yang aku perhatikan akhir-akhir inii. Bukan perhatian dalam artian khusus. Melainkan kecurigaanku padanya. Kupikir pada awalnya dia sama saja seperti temanku pada umumnya, tapi sikapnya pada salah satu temanku membuatku takut sendiri."
"Sebenarnya bukan hanya aku yang menyadarinya, tapi teman-teman yang lain juga. Hanya saja, salah satu temanku keras kepala dan tidak mempercayai apa yang kami katakan."
Hannah menganggukkan kepalanya merespon. Menyimak baik-baik setiap kalimat yang diucapkan oleh Jannete.
"Setiap aku melihatnya, aku tidak pernah berhenti untuk marasa curiga. Apaka dia memiliki penyakit atau kelainan psikologis. Setiap aku melihatnya, entah mengapa, aku merasa seperti dia tahu bahwa aku mengamatinya."
Hannah tidak akan bertanya siapa seseorang yang dimaksud. Walaupun 'dia' dalam hal ini bukan pasien, tapi etika dalam pekerjaan membuatnya menghargai privasi orang lain.
"Aku pikir dia terobsesi pada temanku. Tapi entah mengapa temanku ini tidak pernah menyadarinya. Perlakuannya di tempat umum juga seperti biasa, tidak ada yang mencurigakan. Dia di depan temanku, dan di belakangnya, sangat berbeda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession [Suddenly, I Became A Princess]
FanficSejak kita dipertemukan, sejak pertama aku melihatmu. Kamu sudah menjadi milikku . . . Karakter punya Plutos/spoon Media bukan punya gue FANFICTION