AKU menyukai kesendirian lebih banyak ketimbang keramaian. Aku tak suka bising yang kadang menyakitkan telinga sensitifku. Aku lebih menyukai hening yang menjadi damai bagi telinga sensitifku.
Diwaktu istirahat, alih-alih menemukan diriku di kantin sekolah atau lapangan, kamu akan menemukanku dideretan paling belakang rak buku perpustakaan. Atau sekali waktu, kamu akan menemukanku berada di rooftop sekolah dengan mata terpejam dan telinga tersumpal earphone, juga sebatang cokelat yang tinggal setengah menemani.
Aku menikmati waktu-waktu sendiriku lebih banyak ketimbang orang lain.
Itu tak bertahan lama.
Tujuh minggu setelah ulang tahunku yang keenam belas, aku tak lagi menyukai waktu sendiriku seperti yang sudah-sudah.
Sebab, dia menelusup masuk ke dalam hidupku.
Ia menelusup masuk ke dalam duniaku yang hening, membawa lantunan irama yang anehnya, sama sekali tak menganggu; apalagi menyakitiku.
"Nama lo Gerhana?"
Itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan dalam pertemuan pertama kami─────saat itu, aku baru tahu bahwa netranya agak kecokelatan. Ia menatapku dengan netranya yang begitu..., hidup.
"Gue Purnama."
Itu adalah kalimat kedua yang ia ucapkan, diikuti senyum yang terukir pada wajah────saat itu, aku baru tahu bahwa ia memiliki lesung pipi, yang membuatnya nampak begitu manis ketika tersenyum.
"Salam kenal, Hana. Semoga kedepannya kita bisa kerja sama dengan baik, ya?"
Itu adalah kalimat ketiga yang ia ucapkan, diikuti dengan uluran tangan.
Aku tak mencarinya.
Aku tak mencoba mencarinya.
Ia, menemukanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Melepaskan
Teen Fiction"Sebab, terkadang, kita hanya ditakdirkan untuk mencinta, namun tidak untuk bersama." Perjalanan Melepaskan adalah jurnal Gerhana untuk melupakan Purnama. Mampukah, ia?