Inilah Akibatnya

42 4 5
                                    


"Tidak boleh, Radi. Kamu hanya boleh membukanya ketika kamu sudah dewasa."

Ibu selalu mengucapkan kalimat itu begitu aku mendekati gudang tua lusuh di halaman belakang rumah. Tentu sebagai anak berkepala satu yang bernyali lebih besar dibanding tubuhnya, aku pernah mencoba melanggarnya. Ribuan kali. Dan ribuan kali pula Ibu memergokiku.

Aku tak tahu kenapa Ibu selalu berhasil. Maksudku, dia adalah wanita tiga puluh tahunan berstatus janda yang harus menghidupi aku si anak bandel. Aku terkadang bingung darimana dia mendapatkan harta berlimpahnya sekaligus merawatku sedari kecil. Ayahku tidak tahu di mana, aku tidak ingat wajahnya. Mungkin meninggal, mungkin selingkuh, mungkin kabur. Ah banyak kemungkinan.

Rumah yang mirip kastil versi mungil ini hanya ditinggali aku dan Ibu. Walau, seminggu sekali ada pembantu yang datang untuk membersihkan taman dan setiap inci marmer di rumah.

Aku selalu menyangka Ibu adalah ilmuwan atau dokter atau jenis orang hebat lainnya. Beberapa pria berjas dokter sering masuk ke gudang itu bersama Ibu. Atau Ibu yang sering mendadak pergi dari rumah dengan baju putih khas dokter.

Ibu adalah wanita pendiam. Wajahnya datar, pucat, matanya hitam seperti beruang yang aku lihat di televisi, tapi dagunya lancip seperti puncak menara di rumah ini. Aku pernah mengira Ibu sudah mati, atau minimal jiwanya pergi dan tak bisa kembali ke tubuhnya. Wanita itu tidak bisa berekspresi. Kecuali saat keluar dari gudang tua itu. Menangis.

Karenanya aku selalu kesal ketika dia keluar dari gudang itu dan berakhir mengobrol serta menangis di pelukan sang Dokter. Saat aku tidak kuat membendung lonjakan emosi, beberapa kali aku mengajak mengobrol pria tua berjenggot tipis itu. Tapi diia tak pernah menghiraukanku. Sialan! Memangnya dia tidak tahu kalau Radika itu bisa menyamakan obrolannya. Aku pintar lho, Pak!

Omong-omong, berhubung aku tidak sekolah, Ibu menyediakan satu ruangan merangkap tempat parkir ribuan buku. Itu hadiah ulang tahun ketujuh. Tiga perempat hari aku habiskan di sana. Saat kutanya apakah Ibu tidak sedih jika aku hanya berpacaran dengan buku. Ibu akan menjawab, "Yah, aku bercengkrama dengan hal gila sepanjang hidupku, Radi." Kemudian Ibu membenahi letak kacamatanya. Itu artinya, dia hendak fokus dengan buku-bukunya. Simpelnya, aku tidak boleh mengganggu.

Baiklah. Aku melanjutkan membaca buku karangan Charles Dickens yang diberikannya saat sarapan. Sesekali aku melirik wanita itu. Dia menangis, untuk ribuan kalinya.

Beberapa tahun terlewati. Umurku kini empat belas. Dan semakin aku beranjak besar, rasa ingin membuka gudang tua itu mulai terobati. Apalagi, Ibu menghadiahkanku ruangan di menara sebelah barat. Lengkap dengan teka-teki untuk mendapatkan kuncinya.

Aku lebih sering melewatkan sarapan pagi bersama daripada mencoba melewati rintangan membuka gudang tua. Tidak ada yang menarik dari gudang tua itu, selain Ibuku yang selalu menangis setelah kunjungannya.

Ibu, apa ulang tahunku selanjutnya Ibu akan menghadiahkanku gudang itu? tanyaku saat umurku tiga belas. Semenjak Ibu selalu menghadiahiku ruangan-ruangan di kastil ini setiap tahun. Isinya bermacam-macam. Mayoritas berisi buku dan lukisan-lukisan. Namun, ruangan terbaik tetaplah ruangan ketujuh dan keempat belas.

Ruangan ketujuh karena koleksi buku di ruangan itu paling banyak. Aroma ruangannya juga paling ramah di hidung. Lantainya dari marmer dengan rak buku permanen yang diukir adegan Mahabaratha. Sedangkan, ruangan keempat belas adalah unggulan dalam segi pemandangan. Aku bisa melihat hampir seluruh ladang jagung milik Bibi Mai yang di bulan Juni seperti sekarang sedang hijau-hijaunya.

Tidak, kamu nanti menyesal, Radi. Ibu menjawab masih dengan kesabaran setinggi gunung Fuji. Dia tidak pernah tertarik dengan diskusi gudang tua bercat ungu lusuh. "Tidak ada yang menarik dengan gudang itu. Kenapa kamu selalu ingin ke sana sih? Koleksi buku di ruangan itu bahkan hanya satu. Dan itu hanya buku harianku." Ibu mengomel setengah merengek.

Karena Ibu selalu menangis begitu keluar dari gudang itu! Bentakku kelepasan kontrol.

Aku tahu ibu tersentak kaget. Pensil di genggamannya terlepas dan terjatuh menggelinding hingga pintu ruangan. Dia terdiam lama dan menunduk seolah takut aku akan mengenali wajah atau matanya yang melorot terseret air. "Ambilkan pensilku, Radi. Setelahnya, segera tidur dan lupakan pembicaraan hari ini." Ibu akhirnya bersuara memutuskan. Tangan mungilnya merapihkan kertas-kertas di mejanya dan menatapku aneh. "Kembali ke ruanganmu, Radika. Aku akan senang hati mengobrol denganmu jika kita membahas karya-karya Emily Brontë atau Oscar Wilde."

Aku mendesah. Jika Ibu sudah menggunakan nama lengkapku, tamat riwayatku. Kuseret kakiku menuju ruangan keempatbelas. Tingginya sepuluh meter dari tanah. Dan sekali lagi aku ulangi, aku bisa melihat seluruh bagian desa Kata. Termasuk halaman belakang rumahku. Termasuk sosok Ibu yang menyeret tubuhnya kesusahan menuju gudang itu.

Termasuk wajahnya yang frustasi dan tangannya yang berisi ponsel. Mungkin menelpon si Dokter itu.

Tidak. Tidak. Ibu tidak boleh ke gudang itu dan menangis bersama pria tua itu. Ibu punya aku! Ibu punya aku! Ibu punya aku!

Kata-kata itu menggaung di antara neuron-neuorm yang memaksa kakiku bergerak. Aku berlari menuju gudang itu. Ibu punya aku! Tidak peduli bahwa langkahku mulai berat, perutku yang mual, atau rongga dadaku yang seolah dipenuhi batu panas penghangat ruangan.

Jarakku satu meter dengan Ibu ketika dia menangis melihatku. Dia memunggungi pintu gudang, menatapku ketakutan seolah aku adalah psikopat yang siap membunuhnya kapan saja.

Tidak, Radika. Kamu tidak boleh ke sini! Teriaknya histeris.

Aku tidak peduli. Aku langkahkan lagi kakiku, tapi rasanya siksaan yang kurasakan sepanjang jalan makin menyiksa.

"Ibu punya aku! Ibu punya aku!" Aku menolak untuk diam di tempat. Jarakku dengannya hanya satu langkah. "Biarkan aku masuk dan akan aku pukul siapapun itu yang selalu membuat Ibu menangis!"

Ibu menggeleng ketakukan. Aku geser badannya yang kerempeng. Dia terjatuh terguling dan bersujud di belakangku. Dia menahan kakiku.

Kurang dua langkah lagi dan aku bisa membuka pintu itu. Bodo amat! Aku renggangkan badanku, meraih gagang ointu reot itu. Tidak pernah dikunci dan seharusnya kalau kusentil, pintu itu aoan terbuka.

Benar saja! Ketika puncak telunjukku menyentuh kayu jati bercat ungu lusuh itu, pintunya terbuka lebar.

Kalian mungkin tak percaya ini. Ruangan itu lebih moderen dari apapun yang pernah aku lihat di kastil ini. Dindingnya bercat putih. Di tengahnya ada ranjang rumah sakit moderen. Suara konstan mesin yang aku tidak tahu namanya sama-sama memekakkan telinga seperti teriakan Ibuku.

Genggaman tangan Ibu di kakiku melemah. Dia terisak meringkuk di rumput basah halaman belakang. Aku menyeret kakiku ke dalam ruangan. Siap kapan saja untuk memukul penghuni ruangan itu. Mendekati sesosok tubuh yang dengan santai terlelap di atas ranjang. Di balik topeng plastik yang entah fungsinya apa. Di balik selimut yang menutupi tubuhnya hingga dada.

Jangan! Jangan! Jangan! Ibu histeris. Aku tidak peduli. Patah-patah kubuka masker plastik itu untuk melihat siapa sosok itu.

"Dia siapa? Kenapa ada aku di sini?

Teriakan Ibu mengeras. Disusul suara memenangkan yang aku kenali milik pria berjas putih yang memeluknya. Burung-burung ikut berkicauan seolah hendak memberitahuku siapa sosok di ranjang itu.

"Siapa dia, Ibu?"

Keheningan terjadi lama. Kepalaku kembali pusing. Suara mesin yang hanya bernyanyi tit mulai kehilangan tempo dan mulai berirama cepat.

Mendengar rengekan mesin itu, si pria dokter merangsek menyentuh-nyentuh sosok di depanku. Menekan dadanya. Menempelkan besi beraliran listrik.

Ibu memeluk sosok itu ketakutan. Kenapa dia lebih menyayangi anak itu? Dia bahkan jelek, kurus, dan tidak ganteng sama sekali.

"Siapa dia, Ibu?" Aku bertanya lagi dan seolah menyerah dengan rasa penasaranku ...

Ibu menjawab di balik tangisnya. "Itu kamu, Radika. Kamu ada di perbatasan."

Entah kenapa aku malah tersenyum dan memeluk Ibu walau tanganku menembus punggungnya. "Aku di sini, Bu."

Rahasia Gudang IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang