PROLOG

4.7K 508 38
                                    

Aku sungguh membenci orang-orang yang mengansumsikan segala hal tentang anak kembar secara berlebihan. Awalnya aku selalu mengabaikan hal itu, hingga aku sampai pada titik puncak rasa muak, karena merasa tidak diuntungkan dalam segala hal.

Sudah tak asing lagi ditelingaku, ketika orang-orang yang awalnya berkata,  “kembar! Kalian pasti bisa melakukan hal yang sama dengan sempurna.”   Kini berubah menjadi,   “Oh, iya Atsumu gak bisa , ya.” Menjengkelkan, bukan?

Osamu adalah anak yang pandai dalam bidang akademis, ia meraih banyak apresiasi dari banyak orang, hingga semakin lama aku merasa sosoknya itu berdiri jauh didepan sana, dikerumuni oleh orang-orang yang mengaguminya. Tinggal-lah aku seorang diri dibelakang sini, diabaikan, dan terlupakan.

Kembaranku itu selalu saja sempurna dimata semua orang. Padahal, apa yang aku bisa, tidak bisa dilakukannya. Ia tidak berbakat dalam bidang seni dan olahraga, sementara tempatku adalah disana.

Bukankah itu adalah hal yang wajar? Aku dan dirinya hanyalah dua jiwa berbeda yang ditempatkan pada raga berbentuk serupa oleh Tuhan. Tentunya kami juga diberikan kelebihan dan kekurangan tersendiri. Karena itulah aku selalu berharap, agar orang-orang merubah pandangan tabu itu terhadap anak kembar manapun.

Meskipun selalu diperlakukan tak adil, aku tetap menyayangi adik kembarku. Bagiku ia adalah satu-satunya orang yang bisa mendengarkan keluh kesahku. Meskipun Osamu selalu dipuja-puji oleh banyak orang, ia tak pernah melupakanku. Kami tetap menghabiskan waktu bersama, Tertawa, menangis, sedih, maupun kecewa.

“Sirosis, putra anda memerlukan donor hati.” Aku mendengar hal itu ketika hendak masuk kedalam kamar. Sejak kecil, aku dan Osamu ditempatkan dalam kamar yang sama, meskipun ada beberapa ruangan kosong lainnya didalam rumah ini.

“Atsumu, ada apa, nak?” Tanya mama ketika melihatku berdiri diambang pintu dengan dua buah cup es krim dalam genggamanku.

“Adik kamu ini sakit lho, Tsum! Kamu malah bawain dia es krim. Kamu mau adikmu mati, hah?!” kedua mataku terbuka lebar saat papa mengatakan hal itu. Iya, ia mengatakan hal yang tidak seharusnya dilontarkan pada anak usia enam tahun.

Semenjak hari itu, papa dan mama kerap memarahiku walaupun kesalahanku hanya seujung jari. Apalagi jika perlakuanku berhubungan dengan Osamu, mereka akan memarahiku habis-habisan. Aku hanya bisa diam, dan sadar bahwa aku bukanlah tokoh utama didalam keluarga ini.

“aku berharap bisa sembuh, bagaimanapun caranya.” Itu adalah permohonan Osamu pada ulang tahun ketujuh. Saat itu ia duduk menemaniku diranjang rumah sakit akibat tipes.

Hanya saja aku merasa sedikit kecewa karena harus mendengarnya. Maksudku, saat itu aku berdoa dari dalam hatiku untuk kesembuhannya, sedangkan ia hanya memanjatkan permohonan untuk dirinya sendiri. Entahlah, mungkin karena aku tidak terlalu dengar gumaman kecilnya itu.

Mulai hari itu, akupun merasa bahwa keberadaanku tidak terlalu berpengaruh dalam keluarga kecil ini. Mereka tidak memperhatikanku dengan baik, aku tahu betul itu. Osamu yang semakin dimanja karena bakat akademisnya itu semakin gila untuk terus mengasah otaknya. Tentu saja mama dan papa akan lebih memandangnya.

Penderitaanku selalu bertambah setiap kali kondisi fisik Osamu mengalami kemunduran. Anak yang sangat dibanggakan oleh mama dan papa itu seringkali terkapar akibat sirosis yang dideritanya. Jika Osamu tak ada lagi disini, maka hanya ada aku. Anak yang tidak bisa dibanggakan sedikitpun oleh kedua orangtuaku.

“Aku berharap bisa mengabulkan permohonan kecilmu. Jadi, tolong bertahan lebih lama.” Gumamku sambil memandang wajah Osamu yang sedang tertidur dengan damai.

Your Wish - Miya Atsumu [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang