1. Ardian Arnando

15 2 0
                                    

Bertemu sama dia itu, kayak masa depan gue tergambar dengan sempurna. Kalo hidup berdua dengan dia aja juta kayaknya gue mau, makan pake cinta, modal senyum dia aja gue bisa kenyang kali ya. Bokap nikah, awalnya gue galau. Gimana dong, jodohku ternyata adik tiriku, kan nggak lucu. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, gapapa sih, nikah berarti kan serumah. Ketemu terus dong ya, asek.
Termasuklah hari ini, pagi paling baik setelah sekian lama hidup. Ketika gue turun untuk sarapan, duduk bersebelahan sama dia, ngeliat dia di pagi hari begini jadi bikin gue berkhayal 'gue lagi disamping istri gue' sarapan bareng.

Lamunan gue langsung buyar ketika dia melirik gue, seperti gue ini roti yang siap dia lahap. Namun dia malah terlihat lucu sekali, gue sangat menikmati saat saat begini, meskipun akan selalu ada saat dimana gue harus menjinakkan macan cantik ini lagi,  Ghi Laraswati, gadis yang sudah gue sukai dan perhatiin sejak gue masih kecil.

"ehh adek kok liat abang begitu? mah liat deh mah" gue langsung aduin dia ke mamah Hany.

"Ghii" teguran lembut mamah Hany membuat bola matanya terbuka semkin lebar terhadapku.

"Engga kok mah"
Dia langsung senyum walaupun senyumnya keliatan banget dipaksain.

"Heleh, anak cowok kok ngadu begitu,  iyakan Ghi?" papa gue ikutan nyaut,  apaan dah itu, pengen ikutan mulu.

"iyaa om"

"Ardi ini kan kesayangannya mamah, iyakan mah?" gue emang diem diem udah deket sama mamah Hany, bukan diem lagi sih sebenarnya, soalnya baru sekali diem-diem udah ketahuan hehe.

"Iyaa anak cowok kesayangan mamah"

"Ihh mamah," Ghi memasang wajah protes.

"Iri bilang boss!" gue tertawa menang.

"Ck, Iri biling biss, " Ghi memasang tampang belagu, menantang sambil mengangkat dagu songong. Awas aja Ghi, gue cium tau rasa itu dagu.

"Calon..." maling, gue  keceplosan bilang calon, calon suamimu Ghi, calon imammu. Senyap, tidak ada yang menyahut.

"Positif thinking mungkin calon mati." Papa memang papa paling aneh di dunia ini, celetukannya udah rese semua Emang.

"Hehh mas sembarangan bahas mati-mati, calon apa emang di? ardi bucin nih?" mamah hany ketawa, iya mah, bucin, bucin nya anak cantikmu.

"Belajar yang bener, ga usah nonton film yang ga bener, Papa nemu kaset banyak di kardus kamu yang kamu sembunyiin di bawah ranjang, ketahuan sekali lagi papa jodohin kamu sama Mira."

Mampus gue lupa soal itu, itu sebagian bukan punya gue. Amit-amit sama Mira, Tante girang gang sebelah itu beda jauh banget sama selera gue.

"Pfftttt" Ghi menutup bibirnya dengan tangan.

"Ardi, dasar, nggak boleh nonton begitu ih." Mamah Hany memang mama mertuaable banget, sayang prosesnya nanti bakal lebih rumit dari bayangan gue dulu.

"Dengerin tuh." Ghi tertawa meledek, awas aja.

"Papa ih kerjaannya kok bongkar aib, cowok kok begitu sih"

"Serah papa dong, orang kamu anak papa, oh iya kalian berdua kesekolahnya barengan ya mulai hari ini"

"uhukk uhukk uhukkk"

Cantiknya gue langsung keselek, untung nggak muntahin ginjalnya. Meskipun gue kurang setuju, akhirnya dia pun berhasil membujuk papa dengan wajah macannya yang memelas, katanya gue bukan anak yang baiklah, suka kebut kebutan lah,  bukannya ke sekolah nyampenya di RSUD, gue mungkin bakal ninggalin dia di tengah jalan lah, ala ala sinetron banget. Sayangnya ending dia menang, tapi tidak segampang itu Ghi. Perjuangan gue belum selesai jangan kaget ya dirimu. 

"Punteun,  goberrr " nungguin dia nyaut gue kepanasan dulu kali ah. Meskipun matahari pagi bagus buat kesehatan, gue yang sekelas Edward Cullen kan anti banget.

Gue kasi dia helm, helm juga cara gue supaya nggak ketahuan, meskipun senyum culas papa keliatan. Yaiyalah, ini motor dia yang beliin, yakali dia nggak kenal. Ghi jarang merhatiin gue aja makanya nggak tahu.

Setelah Ghi naik, gue dengan suara yang coba gue ubah berucap, "pengangan yang erat neng."

"iya bang, kok suara abang.."

"apa neng?" Sengaja gue langsung gas pol. Ngeri woi ketahuan di tengah jalan, kasian kalo gue yang disuruh jalan kaki ke sekolah, secara ini macan betina cakarnya tajam setajam silet.

"Mirip anjing liar yang suka naburin sampah di komplek saya bang." Gue curiga ini macan selera humornya akut, candaannya bikin kesel parah.

"Buset Ghi kalo ngomong, masa gue disamain sama anjing sih." Lah astaga! Gue keceplosan.

"Ardi! Kan, elo kan, Lo apa-apaan sih! Uang jajan dari papa masih kurang apa? Sok-sok nyari duit, sekolah tu dibenerin." Belakang gue udah tinggal pertahanan terakhir. Kenapa juga ini tas gue pindahin ke depan sih, ah bengkok makin bengkok deh ini tulang rusuk.

"Ghi, gue tulang punggung keluarga kita loh, nanti lo nggak bisa beli skincare kalo punggung gue cedera."

"hah?" Pura-pura bego lagi ni orang.

"KDRT itu salah Ghi, gue sebagai calon imam bakal bimbing lu ke surga dunia akhirat mulai sekarang."

"Berhenti disini!" Macan gue mulai ngeluarin cakarnya.

"Apa? NGGAK KEDENGARAN!" Gue mulai nambah kecepatan, pucuk di cinta ulam pun tiba. GHI MEGANG PUNDAK GUE, CATAT WOI CATAT! di umur gue sekarang, akhirnya kesempatan di pegang sama Ghi kesampaian, meskipun dia nggak sepenuhnya suka rela sih.

"ARDHI!"

Teriak lagi Ghi, ayo semangatin kangmas. Tanpa memperdulikan sedikitpun teriakan dia, gue tetap memacu sepeda motor dengan kencang, nggak mungkin juga Ghi tega nusuk gue dari belakang, kalo gue mati sekarang, kan kasian masa depan Ghi harus sad ending begitu.

Akhirnya kita sampai disekolah, Ghi menimpuk bahu gue dengan helm lalu beranjak tak peduli gue yang meringis kesakitan. Macan gue, emang luar biasa.











gimana uwuu kan mereka? Kasi bintang biar tambah uwu
Komennya jangan lupa, biar lebih semangat hihi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You Worried?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang