Seorang laki-laki tengah berdiri di halte bus, ia memakai jaket abu tua berbahan wolfis dan celana hitam, juga sepatu kets berwarna dominan abu tua.
Rambut hitamnya yang sedikit urakan namun memiliki kesan maskulin, dan memiliki mata hitam yang legam. Ia tidak terlihat seperti para pekerja kantoran yang berdesak-desakan di bus, juga tak terlihat seperti remaja tanggung yang tengah membolos dari sekolah.
Tidak ada yang istimewa dari tampilannya, selain perawakannya yang rupawan dan sebuah kalung dengan liontin yang tersembunyi bertulis huruf "A".
Ia berjalan menyusuri jalan raya, sedikit menarik perhatian karena parasnya yang enak dilihat, namun laki-laki itu terlihat tidak perduli. Ia terus-menerus berjalan seraya menenteng sebuah buku. Kemudian, sampailah dia ke sebuah jalan perkampungan yang berada diujung kota, ia terus melangkah seperti tak mengenal lelah dan mengabaikan terik mentari yang menyengat.
Tiba di rumah terakhir, ia tetap berjalan menuju kearah hutan yang terlihat rimbun. Tidak ada yang tau ia akan kemana, tak juga ingin tau, tapi sebuah suara kemudian mengintrupsi dan berhasil menghentikan langkahnya.
"Mas, mau kemana?"
Laki-laki itu pun menoleh, ia tersenyum kepada seorang pria paruh baya yang terlihat baru pulang dari ladang karena jejak tanah di roda sepeda dan kakinya.
"Saya mau ke makam yang ada disana pak," ucapnya seraya tersenyum.
Bapak itu ikutan tersenyum. Menurutnya, pemuda didepannya ini ramah sekali, padahal ia jarang menemui pemuda yang terlihat bersih seperti datang dari kota bersikap ramah seperti ini.
"Oo mau kesana yah? Ya udah mas, saya pulang dulu. Masnya hati-hati ya! Setelah makam tuh udah hutan. Banyak yang kesana, tapi mereka tidak kembali."
"Tidak kembali pak?" Kernyitan timbul di kening pemuda itu.
"Benar mas. Hutan itu memang banyak jurig yang minta tumbal."
"Saya akan lebih berhati-hati, Pak."
Ia lagi-lagi tersenyum kearah bapak tersebut yang menaiki kembali sepeda tuanya dan mengarah ke perkampungan, sepertinya beliau berasal dari sana.
Seketika senyumnya menghilang ketika ia kembali melanjutkan perjalanan menuju makam seperti yang ia katakan tadi. Namun setelahnya, laki-laki itu tidak pernah terlihat kembali.
.
.
.
***Pada musim kemarau ini, aku menghabiskan waktu bersama seseorang yang tempo hari mengajakku bersamanya. Entah berbekal keyakinan darimana, aku menyetujuinya. Gadis buta sepertiku, siapa yang akan peduli? Sudah cukup aku membuat orang lain malu dan kerepotan karena keadaanku.
Dan sekarang, aku ingin hidup dengan pria itu, dia mengatakan tidak akan keberatan jika aku terus-menerus merepotkannya. Katanya, dia benar-benar menerimaku, namanya adalah Janu.
"Sayang, aku pergi dulu yah? Kamu sama mbok dulu." Dia berjongkok didepan ku, aku tau itu. Aku meraba rambutnya kemudian pipinya, kemudian hidungnya. Aku meraba semuanya, karena itu caraku mengenalinya.
Seandainya aku bisa melihat, aku pasti akan tau jika kekasih baruku ini tampan.
"Keluar kota yah? Berapa lama?"
Aku tidak tau apakah dia bisa menangkap suaraku yang memelan. Rasanya berat sekali ketika harus membiarkannya pergi, padahal aku tau dia pergi untuk bekerja. Dia harus mengurusku juga sekarang, kami juga butuh biaya lebih karena dia menyarankan agar aku secepatnya operasi agar dapat melihat kembali.
"Aku nggak bisa memastikan. Kamu kan tau sendiri, pekerja borongan kayak aku gini nggak bisa pasti dapetnya berapa. Tapi kamu tenang aja, aku akan secepatnya pulang begitu pekerjaanku beres. Aku akan membawakanmu hadiah yang banyak." Usapan lembut terasa di pipi kiriku. Ah aku selalu menyukai sentuhannya.
"Aku nggak butuh hadiah, aku butuh kamu pulang dengan utuh."
"Pasti sayang. Aku janji akan jaga diri dengan baik." Setelah mengatakannya, dia mengecup keningku lebih lama, kemudian kedua pipiku, dan terakhir di bibirku.
Ah beruntungnya aku menemukan, bukan, lebih tepatnya di temukan laki-laki yang begitu menyayangiku.
.
.
.
***Malam mulai menyapa. Sepertinya, sebelum matahari benar-benar bersembunyi ia lebih dahulu berpesan pada malam untuk membuatnya lebih gulita dari sebelumnya juga berpesan pada bintang untuk tidak datang.
Seorang wanita yang keluar dari sebuah kafe terlihat menangis. Ia terus memacu langkahnya untuk lebih cepat meninggalkan orang-orang dibelakang yang terus-menerus memanggil namanya.
Tapi rupanya sakit yang dia rasa lebih parah dari yang ia duga. Tentu saja, bagaimana rasanya ketika melihat kekasihmu melamar orang lain di depan matamu?
Hingga akhirnya ia berhenti di sebuah jembatan panjang yang dibawahnya memiliki aliran yang cukup deras terhitung ketika musim hujan di mulai.
Ia terus menangis, hingga seseorang yang datang menegurnya.
"Hai, kenapa menangis?"
Mendengar ada yang menegurnya, ia pun membalikkan badannya. "Tidak perlu tau kenapa aku menangis. Pergi dari sini!"
Laki-laki itu pun mundur selangkah, namun tak pergi. Bagaimana bisa ia membiarkan seorang wanita menangis sendiri di jalan sepi seperti ini?
"Aku benci semua orang. Aku membenci hidupku. Bahkan orang yang paling aku sayangi mengkhianatiku," ucap wanita itu dengan air mata yang terus mengalir dari kedua matanya.
"Bukankah semua orang pernah merasa terluka? Jangan bodoh."
Wanita itu kembali membalikkan badannya, "Kamu tidak tau apapun. Pergilah!"
Laki-laki itu tersenyum simpul, karena temaramnya lampu senyum itu menjadi tidak terlihat.
"Lalu membiarkan seorang gadis di jalan sepi ini sendirian?"
"Aku ingin mati saja," kata wanita itu di sela-sela keputusasaan. Bukankah lebih baik dirinya tiada jika kehadirannya dianggap tak berharga?
Dirinya berjuang untuk dicintai orang lain, tapi tidak mendapatkan balasan yang dia ingin.Mungkin benar, perihal dicintai dan mencintai bukan persoalan usaha, tapi takdir.
Namun, selanjutnya kalimat laki-laki dibelakangnya membuatnya tertegun.
"Hemm hanya orang-orang yang ingin tetap hiduplah yang berhak hidup," ucap laki-laki itu seraya mengulurkan tangannya, dan di sambut oleh tangan yang telah gemetar berusaha menggenggam tangannya dengan keraguan.
Sesuatu di balik kaos berkerah yang di pakai laki-laki itu menarik perhatiannya, berkilau dan unik? Tapi kalimat yang datang selanjutnya kembali membuatnya tertegun."Ikutlah denganku!"
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pied Piper
Mystery / ThrillerSudahkah kamu temukan kekasihmu? Kamu ingin dia seperti apa? Atau kemudian, kamu telah menemukannya? Dan Hancurlah bersama