Menolak yang dinamai keajaiban

11 2 1
                                    


"Anselma Van De Jongh, 1861. Ia nampak begitu cantik." Ucap gadis itu kala netranya berhenti di salah satu pigura besar.

"Kau benar, dia cantik. Kau tahu, dia begitu dicintai. Banyak orang yang menginginkan sosoknya." Jelas lelaki itu sembari menatap dalam ke arah pigura dengan sosok wanita muda di depannya.

"Benarkah? Itu memang sudah terlihat dari air wajahnya."

"Ia tegas namun lembut, ia tangguh namun juga tak jauh dari kata rapuh. Ia hanya sungguh indah bagiku." Mendengar suara berat sang lelaki, gadis itu lantas menatap ke arah lelaki jangkung di sebelahnya yang masih saja menatap lurus ke arah lukisan di depan mereka.

Detik kemudian, lelaki itu menatap sang gadis. Tak ada yang mampu dilihat, kecuali pipi sang gadis yang mulai merona merah. Tersenyum melihatnya, diraihlah jemari sang gadis, ia lantas berkata, "terima kasih sudah menemaniku seharian ini, terima kasih juga untuk kemarin, hari ini, dan esok hari."

Mendengar itu sang gadis pun ikut tersenyum, sebelum akhirnya berkata, "terima kasih juga telah membuatku menyukaimu, menyukai apapun pasal mu, terima kasih sekali lagi."






><><><><><><><><

1878


Menggeleng kuat disertai dengan maniknya yang mulai perih pula, gadis itu menggenggam kedua tangan sang ibunda yang tengah menatapnya. "Tidak bu, Yatna tidak mau. Lebih baik Yatna membantu ibu dan ayah di sawah saja, Yatna berjanji untuk lebih giat lagi pergi ke sawah, meladang, semua bu"

"Semua pasti Yatna lakukan, tapi tolong jangan jual Yatna, bu." Ia nampak memohon, bersujud dalam, sembari menangis di depan kaki kurus milik sang Ibunda. Merapalkan beribu kalimat tolakan, yang hanya akan tetap tak diindahkan oleh sang bunda.

"Tidak Yatna, lebih baik kamu ikut apa kata ibu. Ibu tidak menjual kamu, Tuan besar yang telah bersenang hati untuk memperistri kamu, nak."

Hati Yatna mencelos kala telinganya mendengar jawaban dari sang Ibunda. Pikirnya melayang, tubuh kecilnya kian meremang seperdetik sekian. Bergerak menengadahkan kepalanya menghadap Asih, wajah sang Ibunda tak kalah pedih. Lantas ia tundukkan kembali tatapnya, ia tak kuasa menatap netra coklat sang Ibunda yang nampak bergetar menatapnya dalam.

"Tidak bu, Yatna tidak mau jadi perempuan seperti itu bu, Yatna tidak mau jadi perempuan rendahan seperti itu, bu."

"Tidak nak, maka dengan menerima tawaran Tuan besar, derajat kamu akan jadi lebih tinggi. Ibu hanya ingin yang terbaik buat kamu, Yatna."

Sang ibunda mulai mengelus surai hitam putrinya, mengangkat perlahan bahu ringkih tersebut. Gadis belia tersebut menyuguhkan pemandangan yang begitu menyedihkan, yang nampak tersirat jelas pada air mukanya. Keadaannya yang begitu berantakan, air mata yang sedari tadi tidak berhenti membasahi pipi meronanya, juga matanya sembabnya yang kian memerah.

"Yatna tidak mau bu, Yatna tidak mau jadi gundik!"

Gadis tersebut mulai berteriak meronta, histeris. Asih sebagai seorang ibu pun tentu iba meratapi nasib sang putri semata wayangnya, ia nampak sungguh tertekan, didepan manik legamnya sendiri. Tapi ia sendiri bisa apa, Tuan besar nampak begitu menginginkan putrinya yang kini baru saja menginjak 17 tahun untuk segera diperistri. Mengapa tidak dengan putranya saja, Sang Tuan muda? Ah, Lelaki muda itu pun jelas lebih memilih untuk mencari pujaan hatinya di kampung halaman, ketimbang ia mendapatkan wanita pribumi di sini.

"Yatna! Kamu bukan gundik, Yatna. Kamu pasti akan dinomorsatukan oleh Tuan besar, percayalah. Tuan besar sudah lama melajang setelah ditinggal mendiang istrinya, Yatna. Yakinlah, yakinkan semua akan baik-baik saja."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ambang rasa, 1879 | Johnny Suh-HenderyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang