[Day 1] satu

393 31 2
                                    

Summary : Fang sudah bukan anak kecil yang percaya bahwa hanya dengan menghitung satu sampai sepuluh, rasa sakit akan dengan mudah pergi. Namun, ia mendapati dirinya masih tetap menghitung. Satu ... dua ... /oneshot. KaiFang. 

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.

Untuk #nulisrandom2021

.

"Ah."

Suara erangan itu lirih, tapi cukup untuk menarik atensi semua orang yang ada di ruang latihan.

"Fang!" Yaya yang lebih dulu berlari menghampiri. Wajahnya tampak panik dan cemas melihat darah yang mengalir di lengan kiri Fang. "Apa yang terjadi?"

"Cuma tergores," kata Fang. "Bukan apa-apa."

'Bukan apa-apa', tapi rasa nyerinya membuat Fang hampir mengerang lagi. Ia khawatir tidak sengaja memilih pisau beracun untuk dipakai latihan. Koko Ci memperingatkan mereka ada beberapa senjata yang sengaja dibiarkan beracun untuk melatih kewaspadaan mereka.

Kepala Fang mulai berputar dan ia memejamkan mata.

Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ... enam ... tujuh ... delapan ... sembilan ... sepuluh.

Kebiasaan lama, yang entah kenapa masih tetap melekat di benaknya. Dulu, setiap kali Fang terjatuh dan terluka, ibunya selalu menyuruhnya menghitung sampai sepuluh.

"Hush, sayang, jangan menangis. Hitung sampai sepuluh, dan rasa sakitnya akan hilang."

Fang sudah bukan anak-anak yang dengan mudah percaya bahwa dengan menghitung sampai sepuluh, rasa sakit akan dengan mudah menghilang. Lagipula, ada rasa sakit yang tidak akan pernah hilang, apapun yang dilakukannya. Meski begitu, Fang mendapati dirinya masih mendengar suara lembut ibunya setiap kali ia merasa sakit atau terluka.

Satu ... dua ... tiga ...

Tangan Fang dibalut setelah dibaluri obat. Tenyata benar, pisau yang tadi dipakainya latihan memang beracun. Untunglah hanya racun ringan, tapi Fang tetap akan merasa lemas dengan tangan yang kesemutan sepanjang hari. Fang dibebaskan dari latihan, walau ia bersikeras tetap bisa melanjutkan. Koko Ci mengusirnya dari ruang latihan, dan Gopal serta BoBoiBoy menyeretnya ke kamar untuk beristirahat. Sekarang Fang hanya berbaring di kasurnya, merasa bodoh dan juga bosan.

Fang akhirnya beranjak, memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia mengenal setiap lorong, persimpangan, dan ruang yang ada di markas TAPOPS. Ada tempat-tempat favorit yang kerap kali dikunjunginya setiap kali ingin menyendiri.

Fang tiba di ruangan kecil berbentuk kubah di ujung lorong bagian paling selatan markas TAPOPS. Ia membuka tingkap kaca yang menghubungkannya dengan ruang sempit lain di atap. Fang menyusuri lorong remang-remang yang diisi oleh suara samar logam yang saling bergesekan, hingga langit terbuka menyambutnya.

Bintang-bintang, ratusan, jutaan, milyaran, menyambutnya di segala sisi. Fang melangkah, dan melihatbintang-bintang di bawah kakinya membentuk aliran seperti tumpahan susu. Tempat ini hampir seluas lapangan sepakbola di sekolahnya di Bumi, dengan lantai dan langit-langit sepenuhnya terbuat dari kaca.

Saat pertama kali menemukan tempat ini, Fang mengira ia sudah terjatuh di angkasa lepas. Tempat ini membuatnya merasa tengah berjalan di antara bintang-bintang. Kadang-kadang Fang melihat ateroid yang berukuran puluhan kali ukuran tubuhnya melintas. Ia sering bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika asteroid yang lewat menabrak dinding kaca, apakah akan pecah dan ia benar-benar akan jatuh ke angkasa lepas dan mati?

Fang berhenti melangkah. Ia memandang langit di bawah kakinya dan merasa goyah. Sepertinya efek racun itu belum sepenuhnya hilang. Fang melipat kakinya dan memilih duduk. Lengan kirinya berdenyut-denyut, dan ia kembali menghitung dalam hati.

Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ... enam ... tujuh ... delapan ... sembilan ... sepuluh.

Tidak ada angin di luar angkasa, tapi jika memejamkan mata, Fang bisa merasakannya. Semilir angin lembut, aroma rumput yang baru saja dipangkas. Hujan belum lama reda, dan petrikor masih tercium semerbak di udara yang sejuk. Lumpur di sepatu boots, dan luka lecet di lututnya. Fang kecil menangis, dan kedua lengan sang ibu yang lembut tapi juga kokoh, dengan sigap mendekapnya.

"Hush, rasa sakit, pergilah."

Fang tidak bisa mengingat wajah ibunya, seberapa keras pun ia mencoba. Dirinya masih terlalu kecil kala mereka berpisah. Namun ciuman terakhir sang ibu di pipinya, air mata yang membayang di sepasang iris violet, juga suara lembutnya yang berbisik lirih, masih membekas jelas di ingatan Fang.

"Ibu menyayangi kalian."

Seandainya saja ada satu potret yang tersisa, yang bisa memberi Fang kesempatan untuk mematri ulang sosok sang ibu dalam benaknya ...

"Prebet Pang.

Fang tersentak. Secara refleks, ia bergerak bangkit dan berdiri tegap, membuat gerakan hormat.

"Siap, kapten!"

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Kaizo melangkah menghampirinya, dan Fang dengan gelisah menerka-nerka kesalahan apa yang sekiranya telah ia perbuat hingga sang kapten repot-repot mendatanginya ke tempat ini. Apa Kaizo sudah mendengar tentang kecelakaan yang terjadi di ruang latihan?

"Aku—aku hanya sedang beristirahat," gumam Fang, menundukkan kepalanya. "Komandan Koko Ci membebaskanku dari latihan hari ini."

"Kudengar kau terluka," kata Kaizo.

"Ah." Fang melirik perban yang membalut lengannya. "Hanya luka kecil. Aku ceroboh saat latihan. Tidak akan kuulangi lagi."

"Kau tahu kecerobohan sekecil apapun bisa berakibat fatal di dalam misi yang sesungguhnya, 'kan?"

"Ya, kapten," sahut Fang. "Aku tahu. Maafkan aku."

"Aku tidak ingin mendengar hal semacam ini terulang lagi," ujar Kaizo tegas. "Tetap fokus, jangan lengah bahkan saat sedang latihan. Kau mengerti, Prebet Pang?"

"Ya, kapten. Aku mengerti."

"Bagus."

Fang tidak mengangkat kepalanya sampai ia mendengar Kaizo melangkah mendekat. Lengannya diraih, dan ia harus menahan agar tidak meringis sementara Kaizo memeriksa lukanya.

"Hanya luka kecil," komentar Kaizo. "Racun yang dipakai dalam senjata untuk latihan biasanya tidak berbahaya. Tapi kau tetap harus berhati-hati. Kembalilah ke kamarmu dan istirahat."

"Baik, kapten!"

Fang hendak beranjak, tapi Kaizo tidak melepaskan lengannya. Ia mendongak, dan menyadari kaptennya itu tengah membisikkan sesuatu.

"Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ... enam ... tujuh ... delapan ... sembilan ... sepuluh."

Fang tertegun, hingga sejenak tak bisa berkata-kata. Sampai Kaizo melepaskan tangannya dan memandnag Fang tanpa ekspresi. Sang kapten kemudian berbalik dan melangkah pergi tanpa mengucapkan apapun lagi.

Apa itu tadi? Apa Kaizo juga melakukan hal yang sama, menghitung sampai sepuluh setiap kali berhadapan dengan rasa sakit? Itu konyol untuk standar sang kapten pemberontak legenda, tapi siapa yang tahu? Fang tak pernah bisa menerka apa yang ada di pikiran kakaknya itu.

Senyum tipis terulas di bibirnya. Fang sekali lagi memandang langit berbintang, kemudian melangkah menyusul sang kapten yang sudah lebih dulu menghilang.

.

.

.

fin

CountingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang