# Waliem : Jatuhnya Lagu Wilhelmus:
Batavia, 1941.
"...Wilhelmus van Nassouwe
ben ik, van Duitsen bloed,
den vaderland getrouwe
blijf ik tot in den doet (=dood).
Een Prinse van Oranje
ben ik, vrij onverveerd,
den Koning van Hispanje
heb ik altijd geëerd..."Betapa syahdunya, lagu Wilhelmus menggema di seluruh kota Batavia di masa Hindia Belanda. Termasuk di STOVIA, sekolah kedokteran paling terkemuka di Hindia Belanda. Sekolah tertua di Hindia. Sekolah kebanggaan pemerintah. Sekolah tempat lahirnya dokter dokter hebat di Hindia. Sekolah tempat lahirnya dokter dokter Jawa seperti Soetomo sang pendiri Budi Oetomo.
Bersama dokter dokter Jawa lainnya yang kelak mempunyai andil besar dalam meruntuhkan Kemaharajaan Belanda di tanah jajahannya, Tanah Nusantara yang dengan sesuka hati dinamai Hindia Timur Milik Belanda.
STOVIA, sebagai salah satu tempat menuntut ilmu seringkali memang juga dijadikan tempatnya menuntut eksistensi Politik para petinggi Hindia Belanda. Doktrin doktrin halus mereka tularkan lewat kemas pendidikan. Pengajar pengajar disana dipaksa untuk mencuci otak para anak didiknya. Meskipun memang kebanyakan adalah orang Eropa, tetap saja itu membuat resah mereka. Sekolah Tinggi yang seharusnya jadi tempat mereka menuntut ilmu, malah jadi sarana permainan politik petinggi tanah jajahan.
Mereka lahir dan besar di Hindia, tetapi karena darah mereka yang Eropa, mereka tetap harus menginduk kepada negara Induk negeri Belanda. Bahkan bukan hanya mereka yang harus menginduk, tetapi anak anak pribumi yang tulen berdarah Nusantara sebagai konsekwensi masuk sekolah Belanda. Mereka juga sama harus juga tunduk pada negara Induk. Meskipun darah Jawa, Sunda, Ambon, dan Batak tetap mengalir di diri mereka. Tetapi, mereka tetap harus menghormati negara induk negeri Belanda. Menghormati sang raja Willem dari Nassau.
"Wilhelmus Van Nassouwe. Ben Ik Van Duitsen bloed.."
Sekali lagi, Lagu Wilhelmus sebagai salah tanda bakti kepada negara induk, harus terus mereka gemakan dengan penuh semangat. Sebisa mungkin harus bisa membuat STOVIA diliputi syahdunya Wilhelmus.
Untuk Orang Eropa mungkin itu biasa saja. Untuk orang Belanda, memanglah itu kewajiban.
Tapi untuk orang pribumi seperti Waliem Toharoeddien, adalah sebuah penghinaan. Dia lahir dan besar di Nusantara yang kelak resmi di sebut Indonesia. Darah nya mengalir deras darah Indonesia. Darah Jawa dan Sunda mengalir dengan derasnya. Namun, mau tidak mau Waliem harus tetap menyanyikan lagu Wilhelmus van Nassouwe.
". Mijn schild ende betrouwen
zijt Gij, o God mijn Heer,
op U zo wil ik bouwen,
Verlaat mij nimmermeer.
Dat ik doch vroom mag blijven,
uw dienaar t'aller stond,
de tirannie verdrijven
die mij mijn hart doorwondt.."Dengan wajah terpaksa, Waliem terus bernyanyi bersama teman temannya yang sesama kaum terpaksa dan kaum yang memang diwajibkan menyanyi lagu kebangsaan itu, kaum Belanda.
"Als een prins Op Soekarno.. Pahlawan sejati. "
Ups, Waliem menyanyikan lagu Wilhelmus dengan salah. Tidak ada kalimat Soekarno Pahlawan Sejati di lagu itu. Tiga tiba sebuah suara bisik mengarah kepadanya.
"Hei.. jangan bilang seperti itu dilagu ini.." Kata seorang perempuan berwajah Belanda.
Waliem hanya tersenyum.
"Kamu orang bisa dihukum..", Katanya lagi.
Sekali lagi, Waliem Hanya tersenyum.
"Untung gak keras. Untung juga cuma aku yang dengar.." katanya lagi.
Sekali lagi bikin kesal, Waliem hanya tersenyum.
Sepanjang upacara bendera merah putih biru, Waliem bersama teman perempuannya itu saling memperhatikan. Setelah sikap waliem tadi, teman perempuannya itu malah memasang wajah kesal. Selain karena plesetan Waliem yang dianggap perempuan itu sebagai sebuah kalimat tabu, juga karena sikap Waliem yang hanya tersenyum menanggapi celotehan teman perempuannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WALIEM : Jatuhnya Hindia Belanda
Fiction HistoriqueWaliem, seorang mahasiswa STOVIA dari kalangan pribumi mulai tertarik sekali pada dunia perpolitikan di negerinya, Hindia Belanda. pada saat itu tahun 1941, Perpolitikan Hindia Belanda sedang naik naiknya dimana para penguasa Hindia Belanda gencar m...