Part 1

28 6 0
                                    

"Jagat...Jagat...yuk bangun, sholat subuh dulu di masjid, pulangnya langsung siap-siap, katanya mau ikut ayah kerja," suara ibuku membangunkanku ditengah kesibukan pagi. Ini adalah awal tahun 1990, umurku baru mau menginjak 5 tahun meski masih delapan bulan lagi. Kegiatanku setiap hari adalah ikut ayah bekerja, aku berangkangkat bersamanya dengan penuh semangat. Ibu melengkapiku dengan topi anyaman bambu agar terlihat seragam dengan ayah lengkap dengan kantong plastik yang diikat tali rapiah sebagai tasku. Meski aku hanya berpakaian kaos, celana pendek dan sandal jepit, bagiku itu adalah pakaian seragam yang hebat.

"Bu...,Jagat pamit dulu," kataku sambil bergaya layaknya seorang prajurit. "Semangat Jagat," dengan senyum khasnya, ibuku mengepalkan tangan menyemangatiku. Akupun mencium tangannya dan kemudian jalan bersama ayahku. Ibu mencium tangan ayah menyertai keberangkatannya, tidak lupa ia membekali dengan singkong rebus, termos teh dan doa bagi keselamatan kami berdua. Tangan kiri ayahku yang legam dan kasar memegang tanganku, sementara tangan kanannya memegang sapu, badannya menyandang tas untuk membawa bekal.

Benar,...ayahku adalah seorang petugas kebersihan. Setiap pagi ayah bertugas menyapu jalan Thamrin sekitaran Hotel Indonesia hingga seberang Sarinah Thamrin. Aku diijinkan ikut oleh ibu karena kebetulan kami tinggal sekitar Kebon Kacang, sehingga tidak terlalu jauh dari lokasi kerja ayah. Rumah yang kami tempati bukanlah rumah kami, ayah dan ibu telah mengontrak rumah yang hanya memliki satu ruang tersebut sejak awal pernikahan mereka. Meski perabotannya serba minim, namun kaya akan kehangatan cinta ayah dan ibu. Ayahku juga sangat dikenal oleh masyarakat sebagai pak ustdaz meski ia selalu menolak dipanggil begitu, kalau sore ia mengajarkan anak-anak mengaji secara ikhlas.

Ayah juga selalu cerdas membuat aku melihat berbagai hal dengan cara yang seru, contohnya agar aku tidak mengantuk, setiap kali ikut, ia selalu mengatakan, "ayo Jagat semangat, kita mau cari harta karun." Bisa dibayangkan bagaimana semangat yang tumbuh dari seorang anak karena diajak mencari harta karun. Kami menyebutnya harta karun, karena dari jalan yang kita lalui selalu saja ada barang yang bisa aku ambil dan kumasukkan dalam tas plastik buatan ibu, kemudian ayahku menjadikannya sebuah mainan. Ayahku pernah membuatkanku pistol-pistolan dari sandal karet yang tercecer di jalan. Bagiku ayah adalah orang terhebat.

Kebiasaan ayah adalah setiap pekerjaannya selesai ia mengajakku duduk di trotar jalan sambil menikmati bekal dari ibu yang isinya singkong rebus dan teh, hingga suatu hari..., "Jagat,...loh kok bengong? ayo singkongnya di makan, jangan cuma dipegangi," seru ayahku karena melihat aku hanya terdiam memegang singkong. "Ayah..., aku ingin punya rumah sebesar itu," jawabku sambil menunjuk Hotel Indonesia." Kulihat ayah tersenyum dan iapun menjawab, "Inshaa Allah bisa...tapi untuk apa kamu punya rumah seperti itu, memangnya siapa aja yang mau tinggal?"

Ayah sama sekali tidak mentertawakan impianku meski ia tahu bahwa aku hanyalah anak seorang tukang sapu jalanan. Karena aku terdiam, maka ayah melanjutkan lagi kalimatnya, "kalo rumah Jagat sebesar itu, trus Jagat mau bangun masjidnya sebesar apa? Kan malu sama Allah, punya rumah besar tapi nggak bisa bangun masjid." Ayah mengelus kepalaku. "Jagat mau bangun masjid besaaar banget," jawabku seraya menggerakkan tanganku membentuk lingkaran besar untuk mengisaratkan besarnya bangunan masjid yang ingin aku bangun.

Ayahku tersenyum lembut padaku. "wah hebat kamu Jagat...kalau begitu kamu minta sama Allah SWT karena Allah SWT maha kaya, dan ingat... Jagat nggak boleh berhenti berjalan. Teruslah berjalan, gunakan selalu mata, otak, pendengaran dan hatimu karena bisa jadi diperjalanan kamu akan menemukan harta karun yang bisa membuat semua impianmu terwujud." Ayahku menyampaikan nasihatnya sembari menunjuk bagian tubuh yang ia sebutkan tadi. "Tapi Jagat jalannya mau sama ayah, nggak mau sendiri," jawabku karena tidak memahami bahwa kalimat ayahku sebenarnya adalah sebuah kiasan.

Ayahku kembali tersenyum memandangku, ia tahu bahwa aku belum mengerti perkataannya, tapi ia yakin suatu hari aku akan benar-benar mengerti maksudnya. 

Diary of Jagat SentosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang