Part 2

26 4 0
                                    

Dalam sekejap...aku melihat cahaya terang menyoroti mataku, lalu samar-samar kudengar suara percakapan, "okey suster, pasien sudah melewati masa kritis, tolong pantau terus kondisi pasien, panggil saya kalau terjadi penurunan kondisi." "Baik dok." 

Meski belum tersadar penuh, namun aku tahu itu adalah dialog antara dokter dan suster. Dua hari kemudian, aku baru benar-benar menyadari keberadaanku di rumah sakit. Suster yang tengah menanganiku menjelaskan kepadaku untuk tidak banyak bergerak karena jahitan bekas luka sabetan pisau di perut belum tertutup rapat, darinya aku juga tahu bahwa tulang igaku ada yang patah, pasti karena tendangan yang kurasakan waktu itu. Aku terluka parah pada malam kejadian itu, wajahku penuh luka lebam dan pelipiskupun terpaska dijahit. Aku terselamatkan oleh pihak kepolisian yang tengah melintas di wilayah tempat kejadian.

Dua bulan aku dirawat dan satu bulan menjalani introgasi oleh pihak kepolisian hingga akhirnya aku dibebaskan. Aku tidak lagi menggunakan pakaianku saat pingsan, namun kaos dari pihak kepolisian untuk menggantikan bajuku yang tidak dapat terpakai lagi karena penuh darah.

Saat aku diperbolehkan pulang, langkahku terhenti sejenak depan gerbang kantor polisi. Sejujurnya aku sempat bingung harus melangkah kemana, hingga akhirnya suara adzan Ashar dari masjid sekitar kantor polisi memastikanku untuk mengawali langkah lemahku menuju masjid.

Suara Imam terdengar mengucapkan takbiratul ihrom, "Allahu Akbar." Saat itu juga air mataku tiba-tiba keluar mengalir tak tertahan dan terus mengalir disetiap ku dengar "Allahu Akbar." Meski tidak banyak doa dalam sholat yang aku ingat, namun aku merasakan keteduhan yang luar biasa, batinku tenang seolah tidak ada beban dalam hidupku.

Setelah sholat, akupun mengangkat kedua tanganku seraya berdoa, "Yaa Allah, aku tidak pandai berdo'a namun yang kutahu engkau mendengar teriakanku saat aku begitu sombong menentangmu meminta kematian. Yaa Allah jika memang engkau belum mengijinkan aku mati, maka dengarlah do'aku sekali lagi, janganlah engkau kembalikan aku ke jalan kemarin namun tempatkan aku pada jalan yang membuatku dapat menjadi hambamu yang bermanfaat bagi banyak orang, ijinkan aku merasakan kebahagiaan. Yaa Allah ampunilah aku kerena telah berlaku sombong dan ampunilah aku karena telah melupakan nasihat orang tuaku untuk selalu mengingatmu di saat senang maupun susah, ampunilah aku karena telah berhenti berjalan. Dan terakhir akupun ingin berterimakasih pada Mu Yaa Allah karena telah mempertemukan dengan kedua orangtuaku saat aku berada diatara kematian dan kehidupan. Aamiin." Wajah kuusap, tapi kali ini tubuhku tidak lagi lemah, seperti ada kekuatan dan keyakinan bahwa langkahku akan menuju titik terang menuju kehidupan yang penuh barokah dan kebahagiaan.

Sesaat setelah aku keluar dari pintu masjid, suara perutku berbunyi. Aku merasa sangat lapar tetapi tidak punya duit untuk makan. Kupaksakan kakiku melangkah entah kemanapun kaki ini melangkah sekedar melupakan rasa laparku. Namun upayaku sia-sia hingga membuat aku memberanikan diri untuk masuk kesebuah warteg dengan maksud meminta makan sekedarnya.

"Maaf bu, saya lapar sekali,...boleh nggak saya minta sedkit saja makanan untuk mengisi perut, nanti saya akan ganti dengan jasa mencuci piring," suaraku lirih memohon belas kasihan. Sebenarnya bisa saja aku mengamen maupun meminta pada pejalan kaki dengan gaya intimidatif, namun sudah tekadku untuk berhenti dan mencari dunia baru, meminta makan dengan menawarkan jasa mencuci piring sebagai bayarannya adalah pilihan yang saling menguntungkan menurutku .

Saat aku sedang berdiri meminta belas kasihan, tiba-tiba kudengar suara berat dan berwibawa memanggil, "dek, sini duduk biar bapak yang bayar." Saat kupalingkan wajahku ke suara tersebut, "yaa ampun, itukan pak polisi yang pernah aku lihat saat proses introgasi," kataku dalam hati dan jantungkupun menjadi berdebar-debar.

Orang yang memanggil itu adalah pak Mirto, seorang polisi reserse berpangkat BRIPKA yang memang kesehariannya berpakaian preman. Kumis tebalnya menjadikan ia terlihat lebih sangar dari umurnya yang sudah tidak muda lagi, badan yang besar dan tegappun turut menutupi umur sebenarnya.

Diary of Jagat SentosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang