22. Menyendiri dan hukuman

2.9K 270 1
                                    

Don't be silent reader please!
.
.
.
Gelap dan kacau.

Dua kata itulah yang cocok untuk menggambarkan kondisi ruangan kamar yang di dominasi warna drak blue itu. Mungkin, untuk sekarang ini di dominasi warna hitam.

Setitik cahaya pun tak ada yang berani menerobos masuk. Bahkan cahaya lampu pun tak berani hidup.

Sang penghuninya hanya diam dan diam. Sorot matanya kini kosong bagaikan tanpa beban. Mulut yang biasanya mengoceh mendumel kini tertutup rapat bagaikan di kasih lem. Sangat sulit untuk di buka.

"Gue benci sahabat, gue benci semua orang yang buat gue sakit. Dan gue benci manusia yang sok lugu!"

Kata itulah yang ingin di utarakan, ingin di teriakkan, tapi seakan mulut itu bisu dan kerongkongan itu tersumbat batu besar. Hanya bisa di ucapkan dalam hati dan di pendam.

Mata yang biasanya memancarkan berbagai ekspresi kini hilang sudah bagaikan di telan bumi. Bawah mata yang mulai menghitam dan kantung mata mulai tumbuh.

Tok tok tok

Bahkan suara ketukan pintu pun tak pernah di saut. Mengurung diri dalam kamar adalah pilihan yang baik.

Dia Riyana Dewi Admiranda.

Atau Dewi atau Ana.

Sudah dua hari dia mengurung diri di kamar semenjak insiden itu. Kesehariannya hanya duduk diam di dalam kamar, sesekali mandi bebek alias cepet banget.

Suara suara dari luar pun tak pernah di gubris, bahkan sudah dua hari pula dia tidak makan dan tidak minum, hanya menelan ludahnya saja merasa sudah cukup.

Orang-orang diluar sudah membujuk untuk keluar tapi tak pernah di sahut olehnya. Dirinya hanya butuh sendiri. Yah sendiri.

Tapi sekuat apapun seorang menahan lapar pastinya tak akan kuat. Seperti yang di rasakan Dewi saat ini. Perutnya selalu meronta ingin di isi tapi masih bisa Dewi tahan, tapi untuk saat ini ia tak bisa menahan lagi.

Menggerakkan sedikit badannya, kakinya menuruni ranjang menapak di lantai. Dingin. Satu kata untuk menggambarkan lantai itu. Perlahan kakinya menapak terus sampai di depan pintu.

Memutar kunci dan knop pintu, di depan pintu terdapat maid yang berjejer rapi hanya membawa nampan berisikan makanan nampak sedap di mata Dewi.

"Alhamdulillah, nona keluar juga. Mari makan nona!"

Satu langkah lagi Dewi sampai di depan maid tapi, kakinya sudah tak kuat lagi untuk menopang tubuhnya dan berakhir limbung di lantai. Sebelum benar-benar gelap dia sempat mendengar teriakan yang nyaring memasuki gendang telinganya. Setelah itu gelap.

🍄


Cetar

Cetar

Sret

Bugh

Cetar

Cetar

Suara cambuk beradu dengan punggung mulus mengema di seluruh penjuru ruangan yang gelap itu. Hawa mencengkram mulai di rasakan oleh orang yang ada di ruangan itu.

Ditambah tatapan mematika dari orang yang memegang dan mencambuk itu.

Cetar

Fake Nerd? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang