4 - Annoying Day

102 14 272
                                    

"I'm home."

Suara lirih itu terdengar sesaat setelah pintu rumah terbuka. Namun tetap saja tak ada jawaban.

Jam menunjukkan pukul 23.45 Arsen melangkah memasuki rumah bernuansa cokelat putih yang terkesan elegan itu. Saat melewati ruang tamu, ekor mata cowok itu melihat sesuatu yang mendadak membuatnya muak.

Memang sudah biasa, namun ketika melihatnya lagi ingin rasanya ia pergi dari dunia. Karena pemandangan itu membuatnya mengingat sesuatu yang sampai kini tak bisa ia lupakan.

"Arsen? Baru pulang, hah?" racau seseorang dari balik sofa putih itu.

Arsen tidak menjawab, ataupun menghentikan langkahnya. Kalau keadaan sudah begini, ia tahu bagaimana nanti akhrinya.

Lagi-lagi ayahnya pulang malam, dan mabuk tentunya. Rumah berantakan seperti habis di obrak-abrik seseorang. Itu alasannya mengapa sering pulang lebih larut.

Menenangkan diri.

"Heh, jawab Papa!" seru seorang pria paruh baya yang bersandar di sofa tadi. Di atas meja kaca berwarna cokelat gelap itu terisi sebotol wine dan gelas kecil di sebelahnya. Juga setumpuk kertas yang berserakan hingga jatuh di karpet. Pria itu mengangkat gelas dan menyesapnya sampai habis.

Mata kelabunya tampak memerah, kepalanya berdenyut semakin pusing.

"Dasar anak kurang ajar!" racaunya lagi.

Pria itu bangkit lalu berjalan mendekati putranya sambil melepas gesper miliknya. Meskipun berjalan sempoyongan khas orang mabuk, tetap saja ia paksakan mendekati anaknya.

Tangannya terulur menarik kerah seragam Arsen dari belakang. Langsung saja Arsen terhuyung ke belakang, ia masih bergeming di tempatnya. Tidak berniat melawan sekalipun, toh untuk apa juga? Pastinya dia akan berakhir seperti ini lagi.

"Anak bodoh! Tak tau diri!"

Ctarr!!!

Ctarr!!!

Saat gesper itu menyentuh punggung Arsen, hal pertama yang dirasakannya adalah segaris cambukan yang perihnya seolah sampai ke tulang. Tubuhnya langsung bergetar, dengan kedua tangannya terkepal menahan sakit dan emosi. Arsen tetap bergeming, membiarkan ayahnya melakukan sesukanya.

Mata Arsen terasa pedas, begitu juga cambukan di punggungnya yang semakin melebarkan rasa sakit.

Ia yakin ini akan menambah bekas lukanya. Semoga saja bekas ini tidak menembus seragam putihnya.

Ctarr!!!

"Anak bodoh! Tak tau diri!" Pria itu mengulangi kalimatnya tadi. Tangannya masih melayangkan gesper ke punggung anaknya itu.

Gelenyar aneh menjalari tubuh Arsen. Seiring kata-kata kasar itu keluar, semakin banyak pula cambukan yang diterimanya.

Tubuhnya memerah, bergetar hebat menahannya tanpa tangisan.

Tiba-tiba cambukan itu terhenti, dan pria itu limbung ke samping. Kepalanya semakin berat dan pening. Arsen menelan ludahnya pelan, menetralisir rasa sakitnya. Kemudian berjalan naik ke tangga menuju kamarn
ya.

Cukup untuk malam ini, dan mungkin saja akan berlanjut di malam selanjutnya.

Dengan langkah tertatih, Arsen berjalan menuju kamarnya. Ia melewati pintu bercat cokelat dengan gantungan kartun Tinkerbell bertuliskan "Kinara Adelia A."

Cowok itu membuka pintu tersebut. Aroma stoberi yang menyejukkan khas kamar itu langsung menyambutnya. Arsen tersenyum, melihat adiknya tertidur pulas dibalik selimut kartun kesayangannya.

Dear Tengil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang