🦋[3] 02-05

8 2 1
                                    

Masih tentang semesta. Kenapa kau menciptakan pertemuan, jika kau juga menciptakan perpisahan?
~AKADM~








"Tangan Lo harus diobatin dulu, baru Lo boleh pergi. Ada dua opsi, gue yang ngobatin luka Lo. Atau Lo obati sendiri, tapi bareng gue. Pilin yang mana?"

"Atau," jawab Anna datar dan pergi begitu saja. Tak memperdulikan Cyan yang kini masih mengekor di belakangnya. "Ngapain ngikutin gue?"

"Ini jalan umum. Lagian, ini jalan menuju rumah gue. Jadi, apa hak Lo buat ngelarang gue lewat sini?" Cyan berusaha menyamakan langkahnya dengan Anna. "Liat danau mau gak?" Karena Cyan rasa, Anna sedang mencari tempat yang sejuk.

"Gue emang mau kesana. Jangan ikutin gue," jawabnya datar.

Lagi-lagi Cyan tak mendengar ucapan Anna. Cyan terus mengikuti Anna sampai akhirnya sampai di danau.

Semilir angin berhasil membuat Cyan merasa bahagia. Sudah lama Cyan tak bermain kesini. Tempat pelarian jika Cyan merasa butuh kesendirian. Karena tempat ini jarang dikunjungi, dan lagi pula tak banyak yang tau.

Anna menghiraukan Cyan, yang entah kenapa terus mengikutinya. Anna terduduk di bawah pohon rindang. Memandang danau yang nampaknya dalam.

Cyan duduk di samping Anna. Mengambil batu-batu kecil yang ada di sana. "Nih, lemparin tu batu. Anggap itu masa lalu Lo. Lemparin sejauh mungkin," papar Cyan seraya memberikan batu-batu itu pada Anna.

Namun Anna masih tak merespon Cyan. Menatapnya sejenak, lalu kembali berpaling. Cyan meraih tangan Anna. Menaruh batu-batu itu di tangannya. "Coba dulu!" tekannya.

Anna menatap tak suka ke arah Cyan. Kesendiriannya harus terganggu oleh human yang belum terlalu kenal ini. "Gak ada kerjaannya banget ya, Lo. Ngapain juga Lo harus ikut campur kehidupan Gue?!" sarkas Anna yang langsung pergi begitu saja, dan membuang batu ke sembarang arah.

Cyan menatap Anna yang meninggalkannya. "Kayaknya harus bekerjasama dengan semesta. Gak bisa sendirian deketin tu harimau Mei." Monolog Cyan seraya melemparkan batu-batu kecil itu ke danau. Sejauh mungkin. "Semesta mari kita kerjasama!" ujarnya penuh semangat.

Kekesalan Anna belum berakhir sampai sana. Diperjalanan menuju rumah, Anna harus kembali menerima kesialan. Bajunya terkena minuman, yang tak sengaja terkena oleh orang lain.

Sesampainya di rumah, Anna melihat teman-temannya sudah duduk manis di sofa miliknya. Anna lagi-lagi harus menghela napas panjang. Keinginannya untuk sendiri harus kembali terganggu.

"Baju Lo kenapa, Na?" tanya Laras yang terkejut melihat baju Anna yang basah dan sedikit kotor.

"Gue mandi dulu. Kalian tunggu aja disini," jawabnya menghiraukan pertanyaan Laras.

Semua temannya menatap Anita yang baru saja datang dari dapur. "Kalian buka bersama disini aja, ya. Sudah lama juga kalian tidak menginap disini," ajak Anita yang kemudian duduk di sofa terkecil.

Anton tersenyum ramah. "Kayaknya, kalo malam ini gak bisa deh, Tan. Anna nya juga, kayaknya butuh waktu sendiri. Takutnya, nanti Anna terganggu."

Anita menggeleng. Menjawab pernyataan Anton. "Tante tau ini sulit bagi kalian. Tapi Tante mohon, jangan biarkan Anna sendirian. Tante takut, dia semakin terpuruk," katanya.

Sarah pun mengangguk, seraya mendekati Anita. "Tante tenang aja, ya. Kita bakal berusaha buat merubah pandangan Anna terhadap Mei," tuturnya meyakinkan Anita.

Teman-temannya pun mengangguk. Membantu meyakinkan Anita. Walaupun pada kenyataannya, mereka bingung harus bagaimana. Satu sisi, mereka tak ingin Anna terus-menerus seperti sekarang selama 31 hari ke depan. Tapi satu sisi lain, mereka tak tau bagaimana lagi cara mereka meyakinkan Anna, bahwa Mei tak seburuk apa yang dibayangkannya.

"Yaudah, kita siap-siap buat buka puasa, yuk!" Ajak Zidan dengan penuh semangat.

Mereka pun bergegas pergi ke dapur. Tak menyadari bahwa sedari tadi, seseorang sudah berdiam di tangga, memperhatikan dari jauh.

****

Dilain tempat, tepatnya di rumah Acil. Cyan dan Abi juga sedang mempersiapkan untuk berbuka puasa. "Gak kerasa yah, tinggal 21 hari lagi lebaran," kata Abi yang berhasil mengundang gelak tawa di rumah Acil.

"Ngadi-ngadi si Ujang. Itu mah masih jauh atuh," jawab Ayah Acil. Mereka sudah menganggap Cyan dan Abi sebagai saudaranya sendiri. Atau bahkan, sebagai anaknya. Acil merupakan putra satu-satunya dari pasangan Asep dan Lilis.

"Ketularan Cyan. Apa-apa pasti bilangnya, bentar lagi, ko. Tenang aja," sindir Acil.

"Ya emang harus gitu. Kalau kita nganggap waktu itu lama, pasti akan berleha-leha." Ucapan Cyan disetujui oleh Asep dan Lilis. "Pastinya, kita bakal nunda-nunda terus, ujung-ujungnya nanti gak dikerjain. Kayak Lo Cil," lanjutnya.

"Lo tadi jalan kaki?" tanya Abi pada Cyan, pasalnya Cyan datang ke rumah Acil tanpa membawa mobil atau motornya.

Cyan mengangguk. Sepertinya juga, Cyan akan menceritakan pasal tadi dia dan Anna. "Yoi, tadi gue bareng Anna," katanya yang membuat Acil dan Abi memandangi tak percaya. "Tadi dia jatuh. Terus gue ajak ke danau, terus gue temenin dia. Eh, malah marah-marah, terus ninggalin Gue."

Ucapan Cyan mengundang gelak tawa teman-temannya itu. Abi memukul bahu Cyan pelan, dan berkata, "Lagian gak ada kerjaan banget Lo, Gangguin harimau."

"Bukan Gue yang mau. Tapi, semesta yang nyuruh Gue."

"Tapi kalo itu nyakitin diri Lo, gimana? Bukannya mencintai diri sendiri lebih penting?" tanya Acil.

Cyan menatap langit senja yang sebentar lagi akan menjadi gelap. "Takdir semesta itu gak bisa gue tampik. Gue, gak bisa jadi seperti sekarang, kalo gak berdamai dengan semesta. Sekalipun itu nyakitin diri Gue, gue yakin, semesta sedang mempersiapkan kebahagiaan yang luar biasa untuk Gue."

Abi dan Acil saling tatap. Kagum dengan temannya yang satu ini. Tak jarang, jika mereka berdua punya masalah, maka tempat pelariannya adalah Cyan. Cyan selalu berhasil membuat mereka merasa sedikit lebih lega. Walaupun hanya sebatas kata-kata, tapi itu sangat bermakna.

Kala gelap mulai menyapa. Awal-awal bulan, langit masih kesepian. Bintang belum sepenuhnya menemani dia. Tapi langit tak pernah mengeluh akan kesepian. Karena dia tau, para penghuni bumi jauh lebih kesepian darinya.

Masih berkumpul di kediaman Anna. Kini mereka sedang asik menonton drama Korea. Selepas selesai shalat tarawih, mereka belum memutuskan untuk pulang. Anita menyuruh mereka untuk menemani Anna sebentar.

"Na, masih gak mau ngobrol kayak biasa?" tanya Zidan hati-hati.

Anna melirik jam sekilas. "Kalian nginep?" tanya Anna menghiraukan pertanyaan Zidan.

Anton tersenyum miris. "Kita bakal pulang ko, Na. Tenang aja, kita gak bakal ganggu kesendirian Lo. Tapi, kalau Lo butuh kita-kita, Lo jangan sungkan. Kita juga bakal tetep nungguin Lo kayak biasanya lagi."

Laras berkata, "Gak harusnya Lo sendirian terus. Lo harus mulai berdamai, Na. Kita bakal bantu dan tetep dukung Lo."

Anita pun sampai diwaktu yang tepat. Mereka langsung berpamitan, dan bergegas untuk pulang. Begitupun dengan Anna, dia langsung menuju balkon kamarnya.

Waktu memang terus bergulir tanpa jeda. Tapi kenangan akan tetap melekat, tanpa ada niatan untuk menghilang. Luka itu masih tetap sama, kehilangan sosok yang amat dicinta, menjadi cambuk untuk Anna untuk tidak tertawa di bulan kelima.

"Semesta, bawa luka itu pergi jauh. Aku ingin merasakan tawa di bulan kelima," lirih Anna disela-sela tangisnya.











🦋🦋🦋🦋
Hewo, annyeong 👋
Gimana kabar kalian? Masih ulangan? Atau sedang mengerjakan susulan? Semangat terus ya! Jangan menyerah! Ada masa lalu yang harus kamu buat menyesal:v jiahh masa lalu

Pesannya tetep sama nih, jangan jadi pembaca diam-diam. Karena yang diam-diam mencintai pun, akan kalah dengan yang mengungkap. Behhh, gimana tuh?
Jadi, jangan lupa tinggalkan jejak kalian. Caranya, klik bintangnya, terus tinggalkan komentar kalian.

See you hewo lovers'

Antara Aku, April dan MeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang