Akankah kisah mereka berjalan bak novel dengan akhir yang menyenangkan? Atau justru mereka akan dihantam oleh kenyataan yang sama sekali tidak mereka harapkan sebelumnya?
Semua pertanyaan itu, biar semesta dan waktu-lah yang menjawab.
🥛🥕
hoonseung - written by biyiiing
CW, TW: Hurt/Comfort
[ a.n. hiii readers! I hope you will like the story and I'm deeply sorry for any mistake(s). Feedbacks are always opened! ♡ ]
"Jangan sakit."
Ucap seorang lelaki berambut hitam legam yang terduduk di hadapan lelaki lainnya yang sedang terbaring lemah di atas ranjang dalam ruangan yang dipenuhi oleh bau obat-obatan itu.
Yang memakai baju pasien tersenyum tipis, "Aku gak sakit kok, bentar lagi juga sembuh. Kamu gak usah khawatir," tuturnya, kemudian ia menggenggam tangan lelaki yang duduk disampingnya.
Lelaki tersebut membalas genggamannya meski terlihat sedikit kerutan pada dahinya, pertanda ia kesal.
"Kayak gini kamu bilang gak sakit? Dan, apa? Kamu nyuruh aku buat gak usah khawatir?" Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan kalimatnya. "Heeseung, kamu anggap aku ini siapamu, sih? Jelas, kamu sakit gini ya aku bakal khawatir. Meski kamu bilang kamu gak apa-apa, aku bakal tetap khawatirin kamu. Dan itu udah jadi keputusanku. Kamu gak bisa ngerubahnya."
Lelaki dengan wajah pucat yang ternyata bernama Heeseung itu tersenyum, manis sekali. Ia menggerakkan tangannya– mengepakkannya ke atas dan ke bawah, pertanda untuk menyuruh lelaki disampingnya itu mendekat.
"Sini, deketan,"
Meski masih sedikit kesal, lelaki tersebut menurut. Ia menarik kursinya lebih mendekat kepada ranjang rumah sakit itu.
Heeseung mengelus lembut pipi kiri lelaki tersebut sembari memandangi wajah yang selalu tampannya dengan penuh kasih sayang.
"Sunghoon, kamu tadi nanya, aku anggap kamu siapanya aku? Kamu itu Sunghoon," yang namanya sedang dibicarakan menatap kedua bola mata lelaki yang masih menaruh tangan yang terdapat infusan itu di pipinya. "Orang yang sayang banget sama aku, dan aku juga sayang banget sama dia," lanjut Heeseung.
Tangan yang tadi mengelus lembut pipi Sunghoon beralih menggenggam erat tangannya, memainkan ibu jarinya diatas punggung tangan sang dominan.
"Aku cuma nggak mau kamu terlalu khawatir sama aku dan terlalu fokus ngurusin aku–"
"Jadi, kamu nggak mau aku urusin?" Sunghoon menyela.
"Ssst, diem dulu kenapa? Aku bukannya nggak mau. Tapi, duniamu itu bakal terus berjalan, Hoon. Bahkan tanpa aku. Kalau kamu terlalu fokus sama aku, kamu bakal lupa sama karirmu, sahabatmu, kerabatmu dan yang lain-lainnya. Kamu selalu habisin waktu kamu sama aku hampir dua puluh empat jam setiap harinya tanpa henti," Heeseung berhenti sejenak untuj mengambil napas. Dapat Sunghoon rasakan genggaman di tangannya semakin mengerat.
"Kalau kamu ngurusin aku terus, kapan kamu mau ngurus diri kamu sendiri? Sunghoon, kamu selalu khawatirin aku. Tapi, apa pernah kamu khawatirin diri kamu sendiri? Kamu sering lupa, kan? Nih ya, sebelum ada kata kita, hanya ada aku dan kamu. Artinya, place yourself first before anyone else. Karena kalau aku lagi nggak di sisi kamu, siapa yang mau ngurusin kamu kalau bukan diri kamu sendiri?" Heeseung kembali memusatkan pandangannya pada mata Sunghoon yang sedikit lebih sipit darinya. Dan tentu saja ia balas menatapnya, siapa Sunghoon untuk berani menolak kontak mata dari manusia terindah itu.
"Jadi, Sunghoon-nya Heeseung. Kamu boleh khawatirin aku, kamu boleh ngurusin aku. Tapi, jangan jadikan aku prioritas kamu. Jadikan diri kamu sendiri sebagai prioritasmu, ya?"
Sunghoon terdiam. Ia menunduk, tidak tau harus berkata apa.
"Sini,"
Seakan mengerti apa yang sedang terjadi, Heeseung merentangkan kedua tangannya. Sunghoon langsung menghambur ke pelukan si mata bulat dan memeluknya erat. Sangat erat, sampai-sampai mereka sedikit kesulitan untuk menghirup oksigen.
Mereka tetap berada dalam posisi itu untuk beberapa waktu hingga Sunghoon kembali membuka suara.
"Heeseung-ku, makasih banyak, ya. Kamu harus tanggung jawab, pokoknya. Aku jadi makin sayang sama kamu, nih! Aku harus gimana?"
Heeseung hanya terkekeh pelan dan mengelus rambut Sunghoon yang masih belum berniat untuk mengakhiri kalimatnya.
"Kamu orang pertama yang ngomong kayak gini sama aku. Kamu yang selalu peduliin aku disaat yang lain acuh. Kamu yang tetap bertahan disaat yang lain langsung menyerah. Kamu yang buat aku merasa disayangi dan pantas untuk hidup... disaat kedua orangtuaku aja bahkan nggak mengharapkan kehadiranku," sorot mata Sunghoon meredup, Heeseung yang menyadarinya dengan segera kembali mengusap kepala Sunghoon dengan sangat lembut seakan ia dapat menghancurkannya jika sedikit saja disentuh terlalu kuat.
"Makasih, udah kasih aku kesempatan buat mengenalmu. Makasih karena udah izinin aku buat sayang sama kamu. Makasih karena udah sayangin aku juga. Makasih buat semuanya."
Sunghoon merenggangkan pelukan tersebut, dan menatap lekat mata Heeseung.
"Aku sayang kamu, Heeseung. Sayang banget."
Senyum merekah pada bibir keduanya.
"Aku juga sayang kamu, Sunghoon. Sayang banget."
Sunghoon menggenggam kedua tangan Heeseung erat dan menuntunnya pada bibirnya. Ia mencium kedua tangan yang lembut itu dengan penuh perasaan.
"Sunghoon... Makasih banyak juga, ya. Untuk semuanya," ujar Heeseung sebelum ia mendekatkan wajahnya pada si kulit putih.
Heeseung mencium bibir Sunghoon singkat, hanya dibiarkan menempel saja untuk beberapa saat saja. "Tolong untuk terus sayangi aku, ya? Selagi aku masih punya waktu untuk tetap di sini, aku mau hari-hariku diisi sama kamu."
Sunghoon tidak menjawab apapun lagi setelahnya. Malah, Sunghoon kembali mencium kedua belah bibir yang pucat itu, ia memegang tengkuk Heeseung untuk memperdalam ciuman mereka. Dapat keduanya rasakan ada liquid bening yang terasa sedikit asin mengenai bibir mereka.
Kejadian demi kejadian terasa sangat lambat. Sampai rasanya mereka ingin waktu dapat dihentikan agar bisa menikmati saat seperti ini untuk waktu yang lama. Tapi, apa masih ada cukup waktu untuk mereka?
Ya, semuanya terasa membahagiakan pada saat itu. Karena mereka tidak mengetahui takdir seperti apa yang akan semesta berikan pada mereka.
Apakah kisah mereka memang akan berjalan bak novel dengan akhir yang menyenangkan? Atau justru mereka akan dihantam oleh kenyataan yang sama sekali tidak mereka harapkan sebelumnya?
Semua pertanyaan itu, biar semesta dan waktu-lah yang menjawab.