Bab 4. Rasa ingin tahu.

0 0 0
                                    

"Kumohon le--lepaskan, ak--aku," harap Thea memohon, menatap dengan penuh ketakutan.

Karena kehilangan kendali, Frant lupa akan siapa dirinya. Susah mengontrol emosi dan mengigit leher jenjang Althea, menikmati setiap aliran darah yang berbeda dari yang biasa ia nikmati.

* * *

Rangga yang semula santai membaringkan badan di atas sofa, terlonjak bangun berdiri, meletakkan secara kasar koran yang sebelumnya ia baca ke atas meja. Melihat suaminya seperti itu segera Aleta menghampiri.

"Ada apa suamiku?"

Netranya terangkat menatap langit-langit rumah, bungkam, lalu menangkap setiap kejadian yang seakan pernah ia rasakan sebelumnya. Keriuhan burung-burung mengeser ranting pepohonan di luar membuatnya sadar bahwa angin sedang membawa kabar keresahan.

"Terjadi lagi, darah suci telah tumpah," ujarnya menatap sang istri.

"Bukannya pemilik darah suci trakhir itu aku, lalu bagaimana bisa," tukas istrinya terkejut.

"Sungguh, aku juga tidak tahu, keluarga Vallen akan menyebar, dan itu sangat meresahkan," jelas Rangga kembali duduk bersama istrinya.

"Bukankah hari itu mereka berjanji ingin menghabisimu dan keturunan kita, darah suci itu ada lagi dan misi mereka?" ucap istrinya merunduk menyembunyikan ketakutan yang terpancar dari binar mata

"Tenanglah, tak akan terjadi sesuatu," gumamnya tersenyum seraya menarik sang istri dalam dekapan.

* * *

Tubuh Althea seketika lunglai tak sadarkan diri, Frant yang sudah sadar kini menopang tubuh gadis itu. Membawa dan membaringkannya di atas tempat tidur. Tempat ia beristirahat tadi. Rasa tak percaya seakan memenuhi batinnya bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal sekejam ini.

Bisa saja gigitannya membunuh gadis yang suka ikut campur itu. Perlahan ia memeriksa denyut nadi Althea dan benar saja, sedikit pun tak terasa denyutan. Apa benar ia meninggal?

Franth yang bisa merasakan kehadiran seseorang walau berjarak jauh, menoleh, menatap ke arah pintu diseberang sana, sebentar lagi akan ada yang datang, jika ia tertangkap bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini.

Perlahan ia mengankat tubuh Althea dengan kedua tangannya, bersiap pergi sebelum pintu itu terbuka. Dalam hitungan tiga detik tiga pria mendobrak pintu dan sekilas pula Franth menghilang diantara mereka.

"Apa itu, ia menabrak begitu cepat, mana mungkin ada angin seperti itu diruangan ini," ucap Reno menatap pintu yang bergerak.

"Aroma darah itu berasal dari sini," cetus Reza berusaha mengendus sisa-sisa aroma yang mereka cari.

"Kau benar, darah suci berasal dari ruangan ini," imbuh Vero mengusap tetesan darah di lantai segera kedua temannya mendekat.

"Kita harus menemukan pemilik darah ini, siapa dia? Berani sekali menumpahkan darah itu," tegas kesal Reno kembali menatap pintu yang perlahan berhenti bergerak.

* * *

Franth meletakkan tubuh Althea agar menyandar pada salah satu batang pohon yang ada dalam hutan itu, menepihkan setiap helai rambut yang menutup sebagian wajahnya. Ia terdiam menatap lekat detail wajah sang empuh.

"Bagaimana bisa aku membunuhnya," gumamnya mengusap naik rambut, kepalanya seakan ingin meledak.

Rumput yang terdiam pun menjadi imbasan kekesalannya setelah ia tendang begitu kasar, ia merasa bahwa dirinya kini adalah mahluk yang paling menakutkan. Ketakutan membuat batinnya bergejolak. Jika ia bisa membunuh manusia tanpa sadar hari ini, kedepannya ia mungkin bisa membunuh manusia lainnya.

Holy BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang