01. Renan dan warung soto

28 2 1
                                    

Ini bukan malam pertama Renan kehujanan karena aplikasi perkiraan cuacanya salah. Tapi ini kali pertama Renan berhenti untuk meneduh di suatu warung soto. Wanita paruh baya dengan baju seadanya mengoceh dengan logat jawa.

"wualah anak ganteng teles nemen rek, duduk dulu ayo sini tak ambilin jaket"

Belum sempat menjawab, Renan masih terdiam memeluk badannya sendiri. Padahal ia tadi hendak menolaknya, niatnya meneduh di warung soto ya untuk makan soto dan menunggu hujan reda.

Budhe Anis –pemilik warung– kembali dengan cepat, memberi jaket bomber milik suaminya dan sedikit mengomel tentang anak muda jaman sekarang yang tak takut sakit. Renan hanya meringis cengengesan.

"hehehe sotonya satu makan sini, satu bungkus ya budhe"

Niatnya mau pesan dua untuk dimakan ditempat, Renan masih punya urat malu. Ia mengambil jaket dengan sopan lalu membalut punggungnya dengan itu. Hujan mengguyur deras seisi kota dan penduduknya, begitu juga kenangan buruk baik tentang ibunya. Malam ini ia memang sengaja menyetir motor jadul miliknya ditengah hujan agar tidak ada yang menanyai air matanya. 4 hari yang lalu, ia resmi ditinggalkan oleh pesan-pesan spam yang mengingatkannya untuk ibadah dari bunda, oleh sayur lodeh buatan ibunya, oleh baju-baju yang belum selesai dijahit oleh ibundanya. 

                                 -

Bolak-balik rumah sakit dan kos lumayan bikin capek, perlu 30 menit apalagi kendaraannya motor jadul keluaran sembilan puluhan. Kalau saja Renan punya temen seperti  Juno anak kaya raya di fakultas sebelah, dia pasti sudah minta antar dengan mobil super cepat itu.

Malam ini Renan meringkuk didalam balutan selimutnya sambil berdiam dengan backsound suara hujan, meski pikirannya berteriak bahwa dia merindukan ibunya.

Menahan sakit selama dua tahun tidak ada mudahnya. Renan masih ingat ketika Premita —ibundanya— meminum sekaligus 6 pil pereda pusing kepala. Padahal Renan tau ibundanya menyimpan dokumen rekam medis di rumah sakit yang bertuliskan mati otak. Jangan membayangkan bagaimana tanggapan Renan. Untuk keadaan itu tidak akan ada anak yang masih sanggup berdiri tegak.

Harusnya Premita berjuang melawannya, setidaknya untuk Renan. Bukan dokter yang tidak bisa berusaha maksimal, Premita sendiri yang bersikukuh tidak kuat menahan sakit. Naas sudah, Premita memilih untuk mendonorkan beberapa organ tubuhnya dan mengakhiri rasa sakit yang ia sengaja tahan untuk menunggu waktu ini.

"Lima lewat empat belas sore hari, Pasien Premita jayani meninggal dunia"

Ucap dokter dengan nada berat didampingi desahan kasar. Hampir semua dokter di sana berjajar di lorong rumah sakit dan menunduk untuk menghormati pasiennya yang rela mendonorkan semua sisa organ-organ tubuhnya. Tak sedikit dari mereka yang didera sesak napas akibat dari menahan tangis. Ada juga yang mengepal tangannya seerat mungkin agar tidak mengeluarkan air mata, "aku ini dokter, apa kata pasien ketika dokternya menangis seperti orang lemah". Tapi ada satu orang yang membiarkan bulir matanya mengalir sembari melepas jas putihnya lalu memasangkannya kepada Renan yang saat itu hanya memakai kaus lengan pendek dan berterimakasih dengan sungguh sungguh. Renan tentu tak tau dengan kata-kata apa membalas dokter tadi, ia masih sibuk menyusun pikirannya yang berantakan. Lantas Renan hanya membiarkan gelimang matanya mengalir, hanya tangisan yang bisa ia lakukan saat dia selemah itu.

Renan ingin segera tidur, lelah batinnya menyaksikan kejadian itu berulang- ulang kali. Apalah daya, matanya tidak jua ada tanda-tanda ingin menutup. Ada juga keinginan untuk sekedar memetik gitar tapi malam itu raganya sedang tidak mendukung. Renan hanya ingin tidur. Ia memejamkan matanya lagi berharap bisa menciptakan kantuk, lagi-lagi hanya bayangan ibunda yang tersirat.

RenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang