02. Rea dan dirinya sendiri

12 1 0
                                    

Kelahiran Rea sudah tentu mengundang senyum untuk keluarganya. Papa, mama, kakek, serta nenek yang paling tidak sabar untuk menggendong cucu perempuannya itu. Sayangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Rea didiagnosis Retinoblastoma atau biasa disebut kanker mata sejak ia lahir.

Dari kecil sampai sekarang, Rea hampir tidak pernah disekolahkan di tempat umum, ia hanya sekolah di rumah. Dia bahkan tidak bisa menggunakan peribahasa 'duduk dibangku sd' karena tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Sejak kecil.

Rea pernah buta, karena genetik dari mamanya. Mama berhasil sembuh dengan uang miliaran untuk membeli mata orang lain yang merelakan matanya. Jangan heran, ada beberapa orang yang rela matanya diambil dengan syarat uang berlipat-lipat. Jangan meringis, kamu tidak tau rasanya menahan lapar berhari-hari tanpa kepastian akan makan sampai mereka mati.

Tapi untuk saat ini, sulit menemukan orang yang mau mendonorkan matanya. Untungnya, Rea baru mendapat mata dengan binar karamel dari seseorang yang ia tidak tahu saat berumur 18 tahun. Merahasiakan pendonor sudah menjadi aturan rumah sakit manapun.

Rasanya melihat dunia? Rea sulit mendeskripsikannya, ia bahkan mengamati semut-semut yang lalu lalang dan memamerkan mata barunya. Dia juga memiliki kebiasaan menatap dalam setiap orang yang didalam jangkauannya dan tersenyum. Ia berpikir bahwa pemilik mata yg dulu akan turut melihat kebahagiaannya di alam sana.

Tapi penyakit Rea tidak bisa sembuh semudah itu, seorang dokter mendapati penyakit di saraf otaknya merambat ke arah saraf-saraf lain di area otak. Operasi saraf bisa saja dilakukan tapi, pasiennya sendiri yang menentangnya.

"Aku sudah hidup selama delapan belas tahun tanpa mata, dan Tuhan akhirnya memberiku sebuah keajaiban. Mata ini adalah sebuah keajaiban. Dalam delapan belas tahun ini, aku menjalani berbagai obat-obatan dan operasi lebih dari puluhan kali. Aku mulai lelah dengan semua itu, biarkan aku hidup dengan apa yang aku miliki sekarang."

Rea tau tanpa operasi, ia bisa mati kapan saja. Ia tak takut lagi, sejak awal lahir dia memang terancam mati tanpa bantuan obat-obatan. Jadilah ia menjalani sisa hidupnya di bangsal rumah sakit dan berbagai macam selang ditubuhnya.

Keluarganya? tidak seperti yang dibayangkan, mereka mulai tidak acuh. Mama melahirkan seorang bayi laki-laki dua tahun setelah Rea lahir. Maka itu cukup untuk menutup mata telinga mereka atas keadaan Rea.

                                 -

Beberapa lembar surat persetujuan operasi berbaring didepan Rea dan seorang dokter bedah otak. Tanpa ragu-ragu, Rea mencentang kolom tidak setuju dan menyerahkannya pada lelaki berseragam putih dihadapannya.

"Kenapa?" tanya lelaki seragam tanpa dasi tadi.

"Lelah," singkat Rea lalu menyenderkan kepalanya di bagian belakang ranjang rumah sakit dan menghembuskan desah kasar sembari menutup lembut matanya.

Dokter tidak mau memaksa apapun, ia meninggalkan wanita berambut sebahu itu didalam ruangan berbau obat-obatan.

Memang benar bahwa Rea itu lelah, ia bisa saja mati besok atau saat ini. Tapi belum tentu ia bisa hidup dengan operasi. Biarlah semuanya disusun Tuhan.

Yang Rea mau hanya hidup dengan apa yang ada, dengan mata indah ini, dengan semut merah di jendela kamarnya, dengan apapun yang ada. Walaupun sejatinya, Rea tidak memiliki apa-apa. Tidak sebelum ia akhirnya bertemu dengan Renan.

                                  -

Pertemuan Renandika dan Rea sepertinya sudah disusun baik oleh Tuhan. Waktu itu Renan ditemukan dalam keadaan pingsan didekat toilet, Rea meneriaki perawat tapi tidak satupun datang, maka ia berdiri dari kursi rodanya dan menaruh Renan disitu lalu membawanya ke dokter terdekat. Dan karena bangsal rumah sakit penuh, Renan dibaringkan di ranjang kosong di samping ranjang Rea. Entah itu kebetulan atau takdir.

RenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang