Langit malam yang berbintang seolah menjadi teman bagi dua insan bersaudara yang sedang duduk berhadapan di warung sate langganan mereka. Keduanya diam, tidak ada percakapan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Loh tumben ini pada diam-diaman? Biasanya berisik." Saraya dan Sandya hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Bude Hana –istri pak Hafiz penjual sate- yang sedang meletakkan sate dan es teh pesanan mereka. Setelah Bude Hana pergi, Sandya melirik Saraya yang sudah melahap sate miliknya membuat hati Sandya lega.
Tadi sore, kalau saja Sandya cepat mengabari Saraya bahwa dia tidak bisa menjemput adiknya itu, mungkin Saraya bisa pulang lebih awal dengan temannya dan tidak perlu menunggu lama di sekolah. Kalau saja dia tidak menelepon Saraya di depan teman-temannya, mungkin Dimas, sahabat sekaligus mantan adiknya itu tidak akan bergegas datang ke sekolah Saraya dan menawarkan diri untuk mengantar sang adik untuk pulang.
Kalau saja semua itu tidak terjadi, mungkin Sandya tidak akan mendengar sayup-sayup suara tangis saat dirinya baru menginjakkan kaki di rumah jam lima sore tadi.
"Abang?" Sandya mengerjap saat Saraya memanggilnya pelan, dipandangnya sembab di mata Saraya yang belum hilang membuat rasa bersalah lagi-lagi menyeruak memenuhi rongga dadanya.
Salahnya,
Bagi Sandya,
Semuanya adalah salahnya.
Salahnya mengenalkan Saraya kepada Dimas, salahnya membiarkan Saraya dekat dengan Dimas, salahnya membiarkan Dimas menjadi cinta pertama Saraya.
Salahnya, karena telah gagal menjaga adik cantik satu-satunya.
"Maafin abang, dek.." Sandya menunduk, tidak mampu menatap wajah adiknya. Katakan lah Sandya lemah karena memang begitu adanya. Menatap wajah adiknya saja tidak sanggup, "Udah lima kali abang minta maaf, Raya bosan dengernya, lagian Raya kan udah bilang Raya nggak papa. Tadi juga Raya nggak pulang sama dia kok, Raya pulang sama temen Raya." Saraya tersenyum. Perempuan yang terluka hatinya itu masih bisa tersenyum. Hati Sandya semakin teriris kala melihat senyuman itu. Sandya tahu, senyuman itu hanyalah senyum palsu yang Saraya tampilkan untuk menutupi semua kesedihannya.
"Semuanya salah abang dek, nggak seharusnya abang ngebiarin Dimas masuk ke kehidupan kamu." Gelengan kepala Saraya membuat Sandya mendongak, adiknya itu kini memasang wajah serius dan menatap tepat pada manik mata Sandya, "Raya tau abang kecewa, karena Raya pun sama kecewanya kayak abang."
"Tapi, nggak semua hal yang udah terjadi di masa lalu bisa dijadikan alasan untuk menyesali apa yang terjadi hari ini bang."
"Sampai kapanpun, Raya nggak akan pernah menyesal bisa kenal dan dekat sama dia." Saraya lagi-lagi tersenyum, senyumannya kali ini terlihat lebih tulus dan menenangkan membuat Sandya mau tak mau ikut tersenyum.
"Ternyata ini alasan abang ngajak Raya kesini, Mau minta maaf.." Saraya terkekeh sedangkan Sandya mengerucutkan bibirnya, "Habis tiap ngeliat kamu abang selalu keingat sama kesalahan Dimas dek."
"Raya udah nggak papa kok. Mending sekarang abang makan, kasian satenya abang cuekin dari tadi." Ucap Saraya sambil menunjuk sepiring sate di hadapan Sandya yang belum dia sentuh sama sekali. Sandya pun menurut lantas mengambil setusuk sate dan melahapnya.
Suasana yang awalnya sendu kini menjadi lebih tenang. Dua bersaudara itu saat ini sibuk dengan makanannya masing-masing, diselingi dengan obrolan random yang sesekali membuat mereka tertawa bersama.
"Oh iyaa dek.." Ucap Sandya disela-sela kegiatan mengunyahnya. Sedangkan Saraya hanya menaikkan kedua alisnya sebagai bentuk respon dari ucapan Sandya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Saraya
Teen FictionApakah cinta hanya tentang kebahagiaan? Atau Hanya tentang kesakitan? Atau malah keduanya? Pertanyaan tentang cinta tidak akan pernah ada jawaban paling benarnya. Pun tidak akan ada jawaban salahnya. Karena setiap orang memaknai cinta dengan cara y...