17. PLESTER KUPU-KUPU.

2.3K 298 389
                                    

17. Plester Kupu-Kupu.

"Nyatanya memang aku yang terlalu ingin, padahal akhirnya kamu akan tetap selalu menjadi angan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nyatanya memang aku yang terlalu ingin,
padahal akhirnya kamu akan tetap selalu menjadi angan."
-Tarabella-

"Bunuh gue. Gue mau mati aja, Ra."

Tara melebarkan matanya mendengar penuturan Sean. Kepala Tara menggeleng, tanda ia menolak keras apa yang Sean ucapkan. Melihat Sean seperti ini, seperti melihat dirinya beberapa tahun lalu. Dimana ia juga sudah tak tahan dengan hidupnya.

"Sean gak boleh ngomong gitu. Sean baik-baik aja sekarang. Sean kuat, kan?" tanya Tara meremas lembut jemari Sean, menyalurkan kekuatan.

Sean hanya mampu menggeleng pelan, mencoba mengatur deru napasnya yang tak beraturan.

"Tahan sebentar ya, Sean." Tara menutup rapat baju seragam Sean yang sudah tak berkancing itu lalu memakaikan kembali jaket bomber hitamnya.

"Kita pulang, ya. Sini, aku bantuin kamu berdiri," ujar Tara lalu membawa tangan besar Sean ke arah lehernya. Dengan tenaga yang tersisa, ia menarik tubuh Sean. Berkali-kali gagal, karena tubuhnya dengan tubuh Sean tak sebanding.

Tara menumpukan kedua lututnya ke lantai kasar itu, hingga bergesekkan beberapa kali membuat goresan goresan luka di sana.

"Pegang tangan aku ya. Jangan di lepas," titah Tara lalu sekuat tenaga menarik Sean untuk berdiri. Napasnya berhembus lega ketika ia berhasil.

Tara menarik napas dalam-dalam, kembali menguatkan punggungnya. Ia menyeka poninya yang berjatuhan akibat lengan Sean yang sedari tadi mengenai rambutnya. Tanpa berlama-lama, Tara membawa Sean keluar dari gudang dengan menopang tubuhnya.

Tara menoleh dan menatap wajah Sean yang begitu dekat. Mata laki-laki itu terpejam, namun bibirnya sesekali meringis. Ada apa? Apa yang membuat Sean sampai seperti ini? Mengapa Sean tak melakukan perlawanan apa pun?

Terlalu banyak pertanyaan di benak Tara yang tak mendapatkan jawaban.

"Sean, kita duduk di sini dulu ya? Aku tungguin kamu sampai gak sakit lagi." Tara mendudukkan tubuh Sean di kursi koridor di depan lapangan. Langit sudah gelap, jam menunjukkan pukul tujuh malam sekarang.

"Lari, Ra. Pergi. Kenapa lo masih di sini?" tanya Sean lemah, masih setia menutup matanya.

Tara menoleh, menatap wajah lebam Sean yang di penuhi peluh keringat bercampur darah dari sudut bibirnya. Perlahan, tangan perempuan itu mengusap lembut rambut Sean dengan hati-hati.

"Terus biarin kamu sendirian di sini? Dengan keadaan kamu yang begini? Aku gak jahat Sean," tandas Tara dengan nada getir.

Rasanya, ia ingin memeluk laki-laki itu untuk menenangkannya. Namun, Tara tidak mau mengambil kesempatan itu. Ketika Sean sadar pun, ia pasti akan kembali menjauhinya.

SEANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang