Camelia Adeeva Damayanti
Kehidupannya sangat berbeda dengan Lea. Jika Lea hidup dalam kesunyian maka Lia hidup dalam kehangatan. Kedua orang tuanya selalu mencurahkan kasih sayang padanya, tak jarang mereka menghabiskan waktu di akhir minggu di taman kota. Sangat berbeda bukan?
Mereka bukan saudara, mereka hanya teman satu sekolah yang jarang bertemu. Lia tahu siapa Lea. Menurutnya Lea itu manis, cantik, dan juga baik. Bukan tanpa alasan Lia berkata seperti itu, pernah ia melihat gadis mungil itu memberikan payung pada ibu hamil yang tengah menunggu hujan di halte sendirian. Dan berakhir Lea yang menunggu di halte itu.
"Lia, kenapa melamun?" Wanita paruh baya yang masih cantik itu mengelus pelan surai hitam putri tersayangnya.
"Enggak, cuma mikirin pelajaran," ucapnya seraya tersenyum menatap Sang Mama.
"Sesulit itu?" Lia mengangguk pelan lantas memeluk Mamanya.
"Papa belum pulang?" Lia melepaskan pelukannya pada Maharani, Mama Lia.
"Sebentar lagi pulang."
Di kisah ini Lia akan menjadi gadis beruntung yang menerima kehangatan dari sebuah keluarga.
"Papa pulang." Gadis berambut keriting itu langsung berlari menghampiri Sang Papa.
"Papa terlambat lima menit." Lia berucap seraya mencium punggung tangan Friyadi, Papa Lia.
"Maaf. Kena macet tadi," jelas Friyadi kemudian merangkul Lia menuju meja makan.
Sejenak kita tinggalkan keluarga Pak Friyadi yang penuh kehangatan.
Kelabu
Cahaya temaram lampu jalanan menemani gadis berhodie hitam, suara riuh kendaraan menjadi teman sementara untuknya. Kedua tangan mungilnya berlindung di balik saku hodie dari ganasnya angin malam, mata bulatnya menatap lurus, bibir semerah cery tertutup rapat, sedangkan rambut panjangnya terikat secara asal menggunakan karet bekas nasi bungkus.
Suara dering telfon yang sejak tadi berbunyi tak membuat Lea tersadar. Bahkan ia tak menyadari jika, sedari tadi seorang wanita paruh baya telah mengikutinya diam-diam.
Lea berhenti lantas berbalik. Menatap tajam wanita paruh baya yang berada tak jauh dari ia berdiri. Kedua tangannya masih setia berada dalam saku jaketnya. Wanita itu tampak gugup saat menyadari targetnya telah menyadari keberadaan dirinya. Senyum canggung terpatri di wajah lelah itu.
"Maaf, permisi." Masih dengan tatapannya yang tajam, Lea mencekal pergelangan tangan wanita itu.
"Kenapa, ya?" Lea menyadari ketakutan yang tergambar jelas di wajah itu. Cekalannya semakin erat saat ingatan itu terputar samar ketika melihat wajah wanita di depannya.
Gadis kelahiran Mei itu melepas cekalannya, kemudian berlalu begitu saja tanpa memperdulikan wanita itu yang tersenyum miring menatap punggung sempit miliknya.
Dering ponsel kembali terdengar. Dengan malas Lea merogoh ponsel yang ada pada saku celana training warna hitam, kemudian mengetikkan beberapa kata pada seseorang yang sedari tadi menelfonnya.
Daffian
Kenapa?
Ketik saja, tidak usah menelfon.Lea memasukkan pada saku hodie setelah mengirimkan pesan pada Daffian.
Lea bukanlah gadis bisu seperti apa kata teman-temannya di sekolah, bukan pula patung bernyawa seperti yang mereka katakan. Lea hanya gadis manis yang malas bersuara jika tempat itu terlalu banyak orang. Tidak masalah baginya jika dicap sebagai gadis bisu, tidak masalah dianggap sebagai patung bernyawa, asalkan tidak melukai fisik itu lebih dari cukup.
Dan mengingat ucapan guru Bahasa Indonesianya tempo lalu membuatnya berfikir, haruskah ia berubah? Haruskah ia menjalani hidup layaknya tokoh dalam drama yang selalu ceria apa pun masalahnya? Haruskah seperti itu?
Daffian
Di mana?
jalan
Sama siapa?
Jalan mana?Sendiri
Kamu mau nemenin?Iya. Kamu di mana?
Toko kue dekat perempatan
Jangan ke mana-mana
Lea memasukkan ponsel pada saku hodie setelah membaca pesan dari Daffian. Selanjutnya, ia memilih kue yang menurutnya enak. Dan pilihannya jatuh kepada kue khas Jerman, yang terbuat dari bolu coklat yang dilapisi krim segar, atau orang-orang sering menyebutnya black forest cake.
Lea memberikan beberapa lembar uang kertas berwarna merah setelah kue pilihannya sudah di tangannya.
"Terima kasih." Wanita yang bertugas sebagai kasir itu tersenyum ramah seraya memberikan kembalian juga struk pembayaran.
Gadis dengan hodie hitam itu mengangguk kemudian berlalu meninggalkan sederet kue yang minta di cicipi.
"Lea!" Daffian berteriak dari jarak satu meter di belakang Lea.
Anak cowok yang berusia setahun lebih tua dari Lea itu berlari menghampiri gadis yang sudah menjadi sahabatnya.
"Buat siapa?"
"Buat seseorang yang spesial." Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama membisu gadis berwajah manis itu kembali mengeluarkan sebaris kalimat yang berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Lea lebih memilih berjalan meninggalkan Daffian yang masih mengatur nafas.
"Lea, kamu...." Daffian menggantungkan ucapannya saat menyadari jika sang sahabat mau membalas perkataannya.
Lea tersenyum, " Kenapa?"
"Manis," kata cowok dengan kaos putih itu tanpa sadar setelah menyaksikan Lea tersenyum.
Kelabu
Cahaya terang dari dalam rumah membuat jatungnya berdebar, nafasnya tercekat saat melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir di halaman rumah. Pasalnya, jarang sekali rumahnya diterangi oleh cahaya lampu meski ia berada di rumah. Lea lebih suka cahaya remang dari sinar rembulan yang menelusup masuk dari celah jendela yang tak tertutup korden.
"Di rumah ada orang? Mbok Ijem udah balik lagi?" Daffian memandang sekeliling rumah sahabatnya.
"Enggak. Tadi sengaja nyalain lampu." Lea tersenyum manis meski perasaan takut, dan panik tengah melanda.
"Oke. Aku pulang dulu, makasih buat malam ini." Daffian berjalan menjauh, membiarkan gadis manis itu terdiam kaku di depan gerbang rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelabu
Teen FictionDunia belum berakhir selama kamu masih mau berjuang. Dan duniamu akan benar-benar berakhir jika kamu memilih untuk menyerah. Daffian Bukan aku yang ingin menyerah tapi, keadaan yang membuatku me...