Mentari sedang terik-teriknya menyiram dunia dengan cahayanya. Bayang samar yang berada di garis lurus badan hanya nampak sedikit. Awan yang berada di sekitar mentari enggan untuk menutup sebagian atau penuh bola api itu.
Saat orang-orang lebih memilih mencari tempat teduh untuk melindungi kulit mereka dari cahaya matahari, gadis berkulit putih pucat itu lebih memilih merebahkan diri di tengah lapangan, membiarkan bias cahaya menyengat kulitnya. Matanya terpejam, menghindari silau yang tiada tara, kedua tangannya direntangkan pada kanan kirinya.
Tak ada suara bising dari murid kelasnya, tak ada suara mencemooh untuk gadis tanpa suara, tak ada yang menganggu ketenangannya, hanya cahaya menyengat yang ia rasakan saat ini.
Jika ditanya, apakah ia ingin mengucapkan kata? Tentu saja ingin. Suara merupakan suatu cara agar kita, manusia mampu berkomunikasi pada manusia lain, mampu mengatakan apa yang kita inginkan dan tidak. Tapi kejadian masa itu membuatnya enggan untuk membuka mulut.
Dan, apakah ia ingin tertawa? Tentu saja sangat ingin. Tetapi ia tak mau lagi tertawa. Menurutnya tawa hanyalah suatu cara untuk menutupi masalah yang tengah dihadapi. Tawa hanya akan mengundang luka yang telah lama terpendam.
Begitulah menurutnya.
Mungkin kalian memiliki pendapat lain tentang tertawa juga berkata. Gadis bisu ini hanya mengungkapkan apa yang ada pada hati juga pikirannya. Jika kalian tidak setuju, tak mengapa. Ini pendapat. Pendapat orang berbeda-beda bukan?
Suara langkah kaki yang mendekat tak ia hiraukan.
"Mau sampai kapan kamu berdiam diri di sini?" Suara lembut menyapa indra pendengaran gadis itu.
Gadis itu tak bergeming sedikit pun. Dia hanya diam bagai patung di tengah lapangan.
"Lea. Saya tidak tahu apa yang sudah kamu lalui selama ini. Tapi saya mohon berubah, lah. Bukan untuk saya ataupun orang lain, tapi kamu. Buat kamu sendiri."
Baru, lah Lea mendudukkan diri, menatap datar guru Bahasa di depannya. Ya, hanya menatap tanpa suara. Haruskah ia berubah?
Entahlah.
"Sudah berulang kali, pihak sekolah memberimu surat teguran. Dan berulang kali pula kamu membuang surat itu tanpa memberikannya pada orang tua kamu. Mereka berhak tahu apa yang anak mereka lakukan."
Lea lagi lagi hanya menatap datar, tak bersuara seperti murid lain saat mendapat ceramah.
Lea berbeda. Anak ini lebih sulit dipahami ketimbang anak yang lain. Bahkan sejak pertama kali masuk pun Lea tak pernah bersuara maupun tertawa, yang dilakukan hanya berdiam diri dengan tatapan datar. Menurut Bu Dian, guru Bahasa Indonesia.
"Kalau kamu mau cerita, saya siap mendengarnya. Sekarang terserah kamu mau seperti apa. Tapi...." Bu Dian menatap lembut gadis manis di depannya, " Jangan terlalu larut dalam kehancuran. Masa depan kamu menunggu di depan sana." Wanita paruh baya itu tersenyum lantas meninggalkan Lea terdiam di tengah lapangan yang panas.
|||||||||||||||||||||||||
Semilir angin malam mengusik ketengan gadis yang tengah tertidur, cahaya remang rembulan masuk melalui celah jendela yang tak tertutup rapat, korden berkibar pelan mengikuti arah angin. Kertas-kertas yang tertata rapi di meja perlahan menghambur tertiup angin.
Gadis berwajah manis mengerjap pelan, mengumpulkan sisa-sisa nyawa yang masih tercecer pada buaian mimpi. Lalu beranjak, merapikan kertas yang berserakan meletakkannya pada laci. Kaki mungilnya melangkah, mendekati jendela. Lantas membuka jendela lebih lebar, membiarkan dinginnya malam menusuk kulit putih pucatnya. Binar mata seindah mentari menatap lekat bulan purnama di cakrawala.
Kehangatan.
Lea butuh itu. Kehangatan. Bukan sunyi yang selalu mengiringi langkahnya. Bukan luka yang selalu menghiasi hari-harinya.
Hanya harapan yang membuatnya bertahan hingga kini.
Jika harapan itu telah pupus, mungkin ia akan menyerah. Memilih pergi sejauh mungkin, tanpa ada yang bisa menggapainya lagi.
Hey!
Selamat malam,
Terimakasih telah menemani malam ku
Terimakasih telah hadir di sini
Kamu adalah satu-satunya teman yang ku punya saat ini
Jadi,
Ku mohon jangan menghilang,
Temani aku hingga saat yang ku nanti tibaKau tahu,
Cahaya mu mampu membuatku menghangat
Cahaya mu mampu membuatku lupa akan sakitnya dilupakanSekali lagi
TerimakasihLea menutup lembaran buku, meletakkan penanya pada tempat pensil bulat berwarna hitam. Kemudian duduk di pojok ruangan dengan memeluk lutut hingga fajar tiba.
Selamat malam teman ku
Semilir angin kembali berhembus, menerpa tubuh mungil itu seolah-olah memberi sebuah pelukan yang tak pernah lagi ia dapatkan.
Tok tok
Lea mendongak saat pintu kamarnya diketuk, lalu beberapa saat kemudian seorang wanita dengan usia sekitar empat puluhan masuk, membawa nampan berisi makanan juga susu coklat.
"Makan dulu. Mbok udah masakin makanan kesukaan, Adek." Wanita paruh baya itu tersenyum, meletakkan makanan pada meja kosong sebelah ranjang.
Ia menatap sendu putri majikannya itu, sudah lama sekali anak yang ia asuh sejak kecil itu mengeluarkan suara. Sebenarnya ia rindu sekali mendengar suara gadis kecilnya yang kini beranjak remaja. Ia juga rindu dengan senyum manis yang dulu selalu terpampang indah menghias wajahnya.
"Apa ada yang Lea butuhkan?" Mbok Ijem mengelus pelan punggung Lea.
Lea menggeleng. Dan kembali menyembunyikan wajahnya.
"Ya sudah. Mbok keluar dulu, jangan lupa dimakan."
Setelah itu, Mbok Ijem keluar kamar menyisakan Lea dengan ruangan sunyi dan dingin.
Lea menatap dinding atas ranjang, di sana berbagai kertas harapan telah tertempel menghias putihnya dinding. Tak lupa juga bagian paling atas tertulis namanya.
Azalea Skandinavia
Di kertas-kertas itulah segala harapan tercurahkan.
Apa kabar semua?
Aku harap kalian baik-baik aja.
Nggak tahu lagi mau ngomong apa, intinya jangan lupa bahagia
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelabu
Teen FictionDunia belum berakhir selama kamu masih mau berjuang. Dan duniamu akan benar-benar berakhir jika kamu memilih untuk menyerah. Daffian Bukan aku yang ingin menyerah tapi, keadaan yang membuatku me...