Chapter 2

27 9 16
                                    

Alifa mempercepat langkahnya memasuki pintu gerbang sekolah, SMA Negeri 1 Sekincau. Tak terasa sudah satu semester ia mengikuti KBM di sekolah barunya. Dan hari itu adalah hari terakhir pelaksanaan UAS semester ganjil. Dengan mengucap basmallah, Alifa mulai mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh pengawas ulangan. Dan bersama teman sekelasnya ia mengikuti UAS dengan tertib.

Terik matahari mulai terasa, tanda hari mulai beranjak siang. Setelah mengerjakan soal-soal UAS yang cukup menguras otak, Alifa pun menghela nafas panjang lalu meninggalkan ruang kelasnya. Seperti biasa, Alifa duduk seorang diri di sebuah bangku di belakang sekolah. Entah mengapa? Sejak pertama kali menjadi siswa baru, ia senang berada di belakang sekolah. Kebetulan, tempat itu sepi dan jarang ada yang mau menempati selain dia. Mungkin, seorang introvert seperti Alifa memang menyukai tempat sepi untuk menenangkan pikirannya.

Dalam lamunannya, Alifa membayang pada peristiwa pilu pekan lalu di rumah Alamsyah. Kedua bola matanya berkaca-kaca, fokus menatap sebuah foto keluarga di ponselnya. Tak terasa air matanya pun menitik, namun segera disekanya ketika ia mendengar suara derap langkah kaki menjurus kearahnya.

"Hey! Boleh aku duduk di sampingmu ...?"

Alifa bergeming. Tak menoleh sedikitpun pada siapa yang datang, namun ia dapat mendengar dengan jelas suara seorang siswa laki-laki tengah mengajaknya bicara. Alifa merunduk sambil memeluk kedua lututnya. Membenamkan wajahnya pada kedua lututnya yang diselimuti rok abu-abu tua.

"Kenapa nangis? Lagi putus cinta, ya?"

Alifa tak menjawab. Ia menangis kecil, suaranya terdengar seperti orang yang sedang salesma (flu).

"Namaku Muhammad Alfan, kelas 11 IPA 1. Panggil aja Alfan." Alfan memperkenalkan namanya.

Alifa tetap tidak menoleh lawan bicaranya. Tetap menangis meratapi kesedihannya. Tangisannya semakin lama semakin terdengar jelas.

"Namamu siapa?" tanya Alfan yang ketiga kalinya.

Melihat Alifa tidak berhenti menangis, membuat Alfan merasa kebingungan. Ia menggaruk-garuk kepalanya. Setelah berpikir sejenak, ia pun bangkit lalu merogoh sesuatu yang mengganjal di dalam saku celananya, memberikan benda itu pada Alifa.

"Untukmu ..." ucap Alfan.

Karena menyadari kehadirannya tak digubris, Alfan pun berlalu tanpa pamit. Alifa menghentikan derai tangisnya ketika bel berbunyi empat kali, tanda instruksi pengumuman. Alifa bangkit dan menatap ke sekeliling, suasana hening. Ke mana cowok itu? Apa tadi hanya halusinasi? Gumamnya. Ia menemukan saputangan warna merah jambu tergeletak di atas bangku kayu tempatnya duduk.

Tatapan-tatapan mata jalang itu tidak berkedip saat Alifa memasuki sebuah ruangan, tempat di mana seluruh siswa SMA N 1 Sekincau berkumpul untuk mendengarkan sebuah pengumuman. Adapun tatapan-tatapan sarkastik terlihat dari beberapa siswa yang tidak menyukai kehadiran Alifa. Namun, Alifa tidak menggubris seruan dari para siswa laki-laki yang berusaha menggodanya. Begitupun kalimat-kalimat cibiran yang menyebutnya "Sok cantik!" Ia tahu, menjadi seorang siswa baru pasti banyak ujiannya. Baginya, memang tidak mudah menemukan teman yang sefrekuensi dengannya. Lebih banyak teman yang sifatnya toxic. Penuh kepura-puraan, memanfaatkannya dalam diam, bahkan menjatuhkannya.

Para siswa perempuan menatap kagum pada sosok pria yang baru saja memasuki ruangan bersama ketiga temannya. Dua siswa laki-laki; dua siswa perempuan. Keempat siswa itu berjajak di muka kelas.

"Kak Alfan ...? Ih, ganteng banget!" seru para siswa perempuan sambil melambaikan tangan ke arah Alfan. Namun, Alfan tak menggubris.

Hah! Alfan? Nama itu ... Alifa mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa menit yang lalu di belakang sekolah. Ia ingat pada sebuah suara yang menyebutkan nama Alfan. Jangan-jangan cowok itu? Alifa memandang saputangan yang sejak tadi digenggamnya. Ah, tapi yang mana ya yang bernama Alfan? Itu ada dua cowok. Alifa celingak-celinguk kebingungan.

Lika-liku di Balik Lampu HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang