O1 🍬

825 119 35
                                    

Matahari menempel di langit utara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari menempel di langit utara. Perlahan merangkak ke atas kepala. Kanvas putih kebiruan diraib oleh gurat-gurat kelabu. Katanya musim panas baru akan berakhir, ternyata hujan sudah tidak sabar melepas aspal dari kegerahan. Terdiam di pemberhentian bus, Yeonjun menelisik heran pada cuaca. Apakah air dan sinar sang rawi sedang bertengkar hari ini? Orang bilang ini hujan monyet? Why? There's no monkeys fall from sky. Aneh-aneh saja.

Dan yang jatuh malah seseorang di depan Yeonjun. Refleks ia meraih lengan gadis itu agar tubuhnya tidak mencium tanah. Bukannya mengeluh, si pemudi malah menampakkan geliginya kepada si penolong. Entah menertawakan kelalaian diri atau memang dia murah senyuman.

Urutan detik-detik membawa detak-detak tak beraturan dari organ bernama jantung milik si adam. Sebelum otak menyeretnya pada alam sadar yang sungguhan. Gadis itu belum sepenuhnya aman dari hujan. Yeonjun segera menariknya pelan hingga mereka di satu atap halte yang sama.

"Nggak pa-pa?" tanya Yeonjun kemudian. Perlahan genggamannya pada si hawa meluruh.

Yang ditolong mengusap beberapa bagian bajunya yang basah. Matanya sekilas melirik pada sepatu di kaki kanannya, mencari tahu apa yang membuatnya berpijak tidak sempurna di undakan trotoar. Nihil, sepertinya memang hanya karena tergesa saja usai menyeberang jalan.

"Iya, terima kasih," gadis itu membalas pertanyaan Yeonjun seraya kembali menampilkan senyumnya. Kali ini lebih tipis dari tadi.

Sama-sama memposisikan diri menghadap bulevar, tidak ada lagi dialog di antaranya. Toh, saling kenal pun tidak. Pertemuan perdana, maybe with some people behind them too. Jadi tidak aneh jika sama-sama diam.

Tidak tahu kenapa bus terlambat. 'Cause of rain or other something. Membuat orang-orang harus sabar menunggu. Pukul 9.25, Yeonjun memeriksa waktu di ponselnya. Masih ada sekitar 35 menit untuk jadwal kuliah hari ini. Diam-diam ia bersyukur sebab tak perlu lari atau mengeluarkan won lebih untuk taksi. Ada untungnya juga alarm bernyawa yang membangunkannya lebih pagi hari ini.

Menyimpan kembali benda pipih hitam di balik saku celana, Yeonjun tidak sengaja melirik eksistensi perempuan tadi. Tidak sengaja, underlined please. Cukup tinggi, berbalut sweater lilac dan jins putih. Helai surainya terurai begitu saja. Kadang anak-anak rambutnya beterbangan terbawa angin, punya Yeonjun pun demikian. Tapi tidak begitu mengganggu seperti milik si pemudi, yang sampai membuatnya berulang kali menyingkirkan benang menggelikan itu dari wajah.

Tas kulit kecil tersampir di pundaknya, sedang sebuah map plastik ada di pelukan. Untunglah terbuat dari plastik, lembaran kertas di dalamnya jadi tidak basah.

Drrt.

|Lupa jalan ke kampus?

Yeonjun menatap malas ke arah ponsel yang kembali ia keluarkan sebab bergetar hingga mengalihkan atensinya dari objek cantik tadi. Si alarm yang tadi pagi sudah berteriak-teriak memekakan telinga, kini mengirim pesan pada Yeonjun. Secepatnya cowok itu pun mengetik balasan.

Miracle √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang