Bulan ini adalah bulan wisuda. Di mana-mana SD, SMP, maupun SMA mengadakan wisuda kelulusan. Jamanku dulu kita menyebutnya acara perpisahan. Wisuda tuh khusus buat yang lulus kuliah aja. Sekarang anak PAUD aja juga dah wisuda. Kata wisuda jadi terdegredasi.
Teringat ketika lulus SMA, langsung bersiap melanjutkan pendidikan ke luar pulau. Mendaftar bimbingan belajar dengan harapan bisa lulus UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Dan pilihanku adalah Universitas Indonesia, yang berarti aku harus siap tinggal sendiri di kota besar, ibukota Negara. Walaupun fakultas yang kupilih saat itu berlokasi di Depok, bukan di Jakarta, tetapi tetap saja kehidupan di kota besar sangat terasa sekali. Dari gaya hidup, cara berbicara, pergaulan hingga attitude. Semua serba cepat dan individual. Beda sekali dengan apa yang selama ini kujalani di kota kecil (saat itu). Semua santai dan saling menyapa. Sedikit culture shock juga. Tapi Alhamdulillah kemudian aku dipertemukan dengan orang-orang baik disini.
Memang benar, jika kita selalu berpikiran positif dan berbuat baik kepada orang lain, maka Allah akan mempertemukan kita juga dengan orang-orang yang baik walaupun berada di ibukota yang katanya sekejam ibu tiri (padahal ibu tiri juga belum tentu kejam, entah siapa yang membuat istilah ini).
Singkat cerita akhirnya diterimalah aku di Fakultas Sastra UI, jurusan Sastra Jerman. Dengan harapan bisa melanjutkan kuliah di Jerman karena pendidikan disana saat itu terkenal dengan gratisnya dan mutunya yang bagus. Kala itu setiap jurusan Sastra di UI hanya menerima mahasiswa kisaran 30-40 orang saja. Jadi cukup sedikit dan cukup intens juga. Jadi gak ada tuh kalau lagi kuliah mata pelajaran jurusan kita bisa nitip absen karena mahasiswa yang banyak sehingga dosen gak notice. There is no kind of such things like that.
Masih mengalami masa perploncoan walaupun masih tergolong beradab dan tidak ada kekerasan. Hanya teriakan senior yang memekakkan telinga dan tugas yang uaneh-uaneh. Masa' kita, masing-masing orang, diamanahi sebuah telur mentah dan harus dibawa kemana-mana selama 3 hari. Saat itu kami diinapkan di sebuah villa di Puncak. Diberi pelatihan 'kedisiplinan' layaknya pasukan Hitler saja kami ini.
Nah, yang lucunya itu dan emang lucu, aku adalah orang yang gak tahan menahan tawa serta geli-an. Jika melihat sesuatu yang mungkin menurut orang lain gak lucu, menurutku lucu, jadi bisa aja aku ketawa atau minimal senyum-senyum sendiri.
Saat disuruh berbaris jalan pagi, sambil memegang telur mentah di tangan, senior sudah teriak-teriak ,"Ayooo cepaaat, jangan lelet, jalannya yang semangat !!!
"Kamu !" sambil menunjuk ke arahku, "Iya Kamu!" teriak seniorku lagi, setelah melihat aku celingak celinguk memandang yang lain.
"Iya Kak ..." jawabku lirih, sambil menahan senyum.
"Kenapa kamu senyum-senyum ? Gak sopan ya, ngetawain senior ! Apa yang lucu ? Jawab !" teriak seniorku dekat telinga.
"Enggak Kak, gak ada....," jawabku sambil menunduk.
"Jangan bohong kamu ! Jawab sekarang juga !" desak seniorku yang lain.
"Keluar dari barisan kamu ! Berdiri disana !" teriak seniorku sambil menunjuk tempat dimana aku harus berdiri.
"Baik Kak...," jawabku menuruti perintahnya, sambil ngedumel dalam hati, 'hadeuh ribet banget sih ini ya..', dan tak lama meluncurlah telur amanah yang kugenggam di tangan dan , "Plukkk....".
"Aaaa....maaf kak, gak sengaja, telurnya terlepas dan jatuh..." kataku gugup coba menjelaskan.Yah, sudah bisa ditebak lah ya kelanjutannya, betapa bertambah marahnya senior-seniorku itu dan semua jadi berkerumun mengelilingi aku dan mulai berteriakan.
Begitulah kesan selama masa perploncoan. Dengan kejadian itu mereka selalu teringat dengan nama ploncoku, Mozart si tukang senyum. Setiap mahasiswa baru saat itu diberi nama tokoh Jerman yang terkenal. Jadi dipanggil sama senior berdasarkan nama itu.
YOU ARE READING
Deutschabteilung
HumorSaya sedang mengikuti tantangan 30 konsisten menulis. Kisah ini tentang masa perkuliahan.