#4. Lavender

271 35 7
                                    

Koibito o hitori ni shite oku koto no tanoshimi wa nanidesu ka?

Apa yang menyenangkan dari menyimpan sayang sendirian?

—unknown

Siang yang terik untuk Konoha, membuat sebagian orang mungkin lebih memilih untuk tidur siang ketimbang beraktivitas untuk merenungkan hal-hal yang tidak berguna seperti yang dilakukan gadis yang satu ini; berdiri dengan jejeran pakaian kimono kerajaan, tetapi yang ada di pikirannya hanya seorang laki-laki berparas tampan.

Sungguh tidak berguna, jika Sarada ada di posisi itu, dia memilih untuk tidur atau memakan cemilan.

"Hentikan tingkah konyolmu itu, bodoh!" teriak Sarada, membuat Chouchou menghembuskan napas jengkel.

"Kau yang hentikan tingkah konyolmu itu, Sarada. Bukan aku." Chouchou membalas, dengan sedikit angkatan kedua bahunya.

Sarada mengerutkan alis. "Apa maksudmu?"

"Kau menyukai Mitsuki, tapi kau juga memberi harapan palsu untuk Boruto. Tidakkah itu konyol dan menyakitkan baginya?" tanya Chouchou seraya tangannya mengambil satu kimono berwarna hijau muda.

"Harapan ... palsu?"

Chouchou mengangguk. "Selagi kau sakit, dia yang menemanimu, menggenggam tanganmu, mengelus puncak kepalamu, bahkan dia juga sering berkata padamu bahwa dia sangat mencintaimu."

"Boruto ... melakukan hal itu?"

"Ya, dan kau mematahkan harapannya. Tadi aku melihatnya bersama Sumire dan tersenyum ... seperti sepasang kekasih," jeda Chouchou, untuk berbalik badan, "sepertinya, cepat atau lambat kau akan mengerti rasanya menjadi Boruto, Sarada."

Ada debaran jantung yang terasa dongkol bagi Sarada, juga mendengar ucapan Chouchou membuat kelu lidahnya.

.
.
.
.
.
.
.
.

"Tim kita akan menjadi penjaga gerbang depan, mencatat biodata pendatang secara lengkap, agar tidak ada penyusup atau perampok yang berhasil masuk seperti tahun-tahun lalu."

Wasabi menarik kedua sudut bibirnya lantas berkata, "Jika kita menjaga gerbang, tidak mungkin memakai kimono itu kan?"

"Tetap pakai lah, baka. Kita harus terlihat cantik dan menarik. Jika kau membenci itu, bisa-bisa seorang Wasabi tidak akan menikah!" teriak Namida, dihadiahi lengosan tidak suka dari Wasabi.

"Ya, ya. Terserah kau, Namida Sang Ahli Cinta."

Kini bagian Namida yang melengos tidak suka. Itu hanya sebuah panggilan, tapi kenapa mencelos di hatinya? Di dunia ini hanya Tuhan, Wasabi juga Sumire yang mengetahui bahwa dia menyukai Iwabe diam-diam, tidak berani bilang seperti yang dilakukan Sumire. Namida belum pernah menjalin hubungan lebih dari teman dengan rekan laki-laki, pantaskah disebut Sang Ahli Cinta?

Wasabi benar-benar menyebalkan!

Hanabi tertawa, melihat tingkah laku muridnya. "Baiklah, hentikan perdebatan kalian, kemudian catat hal-hal yang perlu dilakukan. Aku akan memeriksa kimono yang akan kupakai nanti, jaa," ujar Hanabi, tersenyum kemudian melompat pergi.

Di saat Wasabi dengan Namida kembali berdebat, Sumire memilih duduk di salah satu batang pohon tumbang untuk menulis banyak keperluan, bukan hanya untuk festival yang akan diadakan, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Sumire yakin, akan ada banyak pertunjukan pada malam itu, juga pasti akan ada aktraksi musisi-musisi jalanan, atau para seniman yang memamerkan karyanya.

Dan dari hal itu semua, yang Sumire suka adalah ketika ada musisi yang jarang ada keberadaannya; musisi pemain kalimba. Alat musik yang dimainkan dengan cara ditekan, seperti menekan tuts piano. Alat musik itu berbentuk kecil, alasnya ada yang terbuat dari kaca juga kayu. Tuts yang mengeluarkan suara terbuat dari besi, ah, Sumire tidak tahu kalimba terbuat dari apa saja, yang pasti, kalimba adalah salah satu alat musik yang Sumire sukai.

Ada banyak lagu yang ingin dimainkannya untuk seseorang, bahkan, Sumire berharap suatu saat bisa memainkan alat musik tersebut untuknya, untuk Boruto tentunya.

Kimono yang akan kupakai tentunya, berwarna ungu.

Sumire mulai menulis, kemudian berhenti sejenak untuk berpikir.

Lalu aku akan membawa..

"Hei, Sumire-chan!" teriak Namida, namun tidak membuyarkan fokus Sumire pada kertas.

"Hm?"

"Apa yang menyenangkan dari menyimpan sayang sendirian?"

Gerakan tangan Sumire berhenti, dia berhenti menulis saat mendengar pertanyaan yang Namida lontarkan. "Kau bertanya padaku?" tanya Sumire seraya menolehkan kepala agar menatap Namida. Mendapat anggukan dari wajah Namida, Sumire berpikir sebentar sebelum tersenyum tipis. "Bisa melihatnya kau akan merasa senang. Kau akan merasa menjadi manusia paling beruntung sedunia. Saat orang-orang sibuk meminta, aku sudah bisa bahagia hanya karena melihatnya. Apa yang lebih menyenangkan dari mendapat bahagia yang sederhana?"

Sibuk mencerna, Namida melirik Wasabi yang ikut tersenyum. "Kalau dengan diam tanpa suara sudah membuat senang, kalau dengan diam melihatnya sudah bahagia, untuk apa kau bergerak membantunya mendekati Sarada?" tanya Wasabi, mendekat dan duduk tepat di sebelah Sumire. "Aku tahu kau Sumire, kau bukan orang bodoh untuk bergerak menyakiti diri sendiri."

Sumire menggigit bibirnya sebentar, sebelum kemudian menjawab, "Selalu ada rahasia di balik sesosok manusia yang terlihat tegar, selalu ada kekurangan dan kelebihan untuk suatu hal. Termasuk mengagumi dalam diam, aku tidak mau terlihat munafik. Menurutmu, apa yang harus aku rasakan saat menyukainya tapi tidak berani mengungkapkan? Apa yang harus aku rasakan ketika menyayanginya tetapi hanya bisa diam? Rasanya seperti, kau ingin teriak tetapi di dalam air. Kau hanya bisa merasa miris, kisahmu tragis. Dan menurutmu, apa yang kurasakan saat senyum itu surut dari bibirnya? Sakit. Sesak. Setidaknya dengan membantunya mencari suatu kebahagiaan dan melihatnya kembali tersenyum, itu sudah lebih dari cukup."

"Meskipun kau sadar ... terluka?"

Sumire mengangguk. "Berani menyukai dan mencintai seseorang harus bisa mengambil setiap konsekuensi yang akan didapat. Entah itu suatu penolakan, entah itu suatu penerimaan."

Keduanya tercenung, berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan Sumire pada mereka. Satu hal yang sama-sama terpikir oleh mereka, bahwa mereka tidak tahu kalau Sumire bisa berpikiran bijak seperti ini. Namida berpikir bahwa Sumire akan menjadi gadis seperti kebanyakan orang; patah hati, galau, menangis, dan gila.

Merasa lapar, Sumire memutuskan untuk pergi ke Konomarket, meninggalkan Wasabi dan Namida yang masih tercenung mencari jawaban.

.
.
.
.
.
.
.
.

Apa yang menyenangkan dari menyimpan sayang sendirian?

Suasana hati yang buruk, membawa Sumire pergi ke ladang bunga, ke suatu terowongan dengan atap dipenuhi lavender. Dari sana ada rasa tenang didapat, ada rasa aman masuk dalam benak. Terlepas dari perbincangan tadi, Sumire jadi sedikit membandingkan diri.

Dia dan Sarada jelas jauh berbeda. Apa yang bisa dibanggakan seorang Sumire untuk memikat hati Boruto?

Sumire tumbuh di panti asuhan, Sumire tidak punya orang tua, Sumire bukan dari keluarga kalangan atas. Bahkan Sumire menghidupi dirinya dari uang misi. Sedang Sarada? Sarada lahir dari keluarga terhormat, dari marga Uchiha yang terkenal akan kebengisan juga kebencian, tetapi juga salah satu klan terkuat di muka bumi ini. Sarada memiliki orang tua, Sarada terkenal dan banyak yang menyukainya.

Sarada pantas untuk Boruto. Apakah ini saatnya Sumire untuk menjauh?

"Jika saja Ibu masih ada, apa yang akan kau katakan, Bu? Tidak ada yang berpihak padaku, walau aku tahu mereka khawatir aku akan terluka. Tapi bagaimana jika luka tersebut adalah salah satu sumber bahagiaku?" tanya Sumire, bermonolog.

Tidak ada yang menjawab, selain angin sore yang menerbangkan helai-helai anak rambut ungunya.

Kau bunga lavender milik Ibu, kau kesayangan Ibu, Nak. Lakukan hal yang kau sukai, tinggalkan hal yang kau benci. Ibu yakin, kau gadis yang kuat, Sayang.

Memejamkan mata erat, merasakan dada yang kian sesak, tidak mampu berbicara lebih banyak karena suara yang tercekat, karena otaknya kalah telak, air mata menjadi jawaban atas semua yang dipertanyakan.

Sumire manusia. Meski dia bilang dengan terluka akan bahagia, yang namanya luka, tetaplah menyakitkan baginya. []

BoruSumi | SukidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang