Bara (BAnyak RAsa)

9 0 0
                                    


"Aira! Tungguin!" teriak seseorang jauh di belakangku dengan suara cemprengnya, yang aku yakini dia Deby, teman sejak MOS yang sampai sekarang belum juga capek, sahabatan denganku.

"Kapan sih lo berangkat siangan dikit gitu, kan gue mau quality time go school sama lo Ra," kesal Deby, ketika sampai di sebelahku.

Aku terkekeh, "kalau mau, berangkatnya lebih pagi," balasku, sambil kembali melangkah, dan Deby mengikutiku.

"Yah, enak lo berangkat pagi bisa, siang oke. Lah gue? Mana si kincir angin mau?" cibirnya memanyunkan bibir charrnya, lucu.

"Astaghfirullah, segitunya sama adik sendiri," heranku.

"Lah emang gitu. Heran gue ya, punya adik kaya dia. Pengen gue getok kepalanya, hih," gemas Deby, mengepalkan tangannya, aku tertawa lirih, Deby selalu saja membuatku tersenyum.

"Mau nggetok, mau nyubit, mau apapun, yang ada cuma 'mimi kikik nikil, pili idik ditibik sikit mi,' beuh!" cibirnya menirukan gaya bicara adiknya.

Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, Deby selalu bisa membuatku selalu tertawa. Hanya Deby. Ah, andai saja aku laki-laki, sudah kuselipkan namanya di dalam doa. Parasnya jelita, sikapnya yang selalu ceria, dan sopan kepada siapa saja. Rasanya, aku sudah cukup bahagia walau hanya menjadi temannya.

"Ih, kok ketawa sih?" kesalnya padaku.

"Lucu Deb," balasku apa adanya.

"Sstt, diliatin tu!"

Mendengar tegurannya, aku langsung terdiam.

"Tuh," tambahnya lagi, dengan menunjukkan arah menggunakan dagunya.

Aku spontan menoleh. Netraku mendapati sosok empunya nama yang selama ini tak pernah membuatku lelah untuk berhenti merayu Allah. Aku selalu percaya Dia akan memberinya padaku, tapi belum sekarang, mungkin nanti.

Aku tersenyum kikuk. Rasanya pipiku memanas. Tanpa arahan, aku langsung berjalan cepat meninggalkan Deby yang masih berjalan di belakangku.

"Tungguin Ra!" panggil Deby, tapi aku menghiraukan.

"Ih hoby banget ya, jalan duluan," ocehnya, masih kuabaikan. Aku masih sibuk membenarkan letak jantungku.

"Sejak kapan Bara liatin kita?" tanyaku mencoba pura-pura biasa saja.

"No, no. Bukan kita, tapi kamu," ralat Deby yang sungguh tak bisa membantuku mengembalikan letak jantung.

Aku hanya menggidikan bahu, mencoba abai. Tiba-tiba Septi memanggil, seperti biasa dia mencontek tugas, tapi tak apa. Aku bersyukur dia bisa mengubah fokusku dari Bara.

Dari hari ini, aku merasa aneh dengan tingkah Bara. Aku yakin bahwa doaku mungkin baru berefek. Apalagi ketika upacara bendera, Bara berbaris di dekatku, padahal dia petugas PMR. Demi Allah, aku merasa tenggorokanku tercekat. Aku ingin berteriak, ya Allah!

"Ra, Ra! Bara liatin lo mulu," panggil Jihan dari belakangku dengan menarik-narik jilbab lebarku.

"Ah, enggak kok," elakku masih menghadap ke depan.

Sepertinya doaku benar-benar berefek sekarang. Rasanya, tak henti-hentinya aku bersyukur.

➤➤➤

Pagi ini cuaca cerah, tapi entah kenapa sore menjadi mendung, bahkan hujan begini. Aku memeluk kedua lenganku merasa kedinginan. Sedikit aku melirik ke jam tangan yang ternyata telah menunjukkan jarum panjangnya di angka empat.

"Allahumma sayyiban nafi'aan," desisku lagi, tetap berharap hujan segera reda, atau ada angkutan umum yang cepat membuatku pergi dari sini. Sudah cukup banyak motorku yang bocor, jangan sampai aku tak dapat kendaraan sama sekali untuk pulang.

Antalogi CERPEN hukuman Dari BKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang