❝Mencintaimu itu mudah, yang susah itu mencintai orang lain.❞
"Ya Allah Na! Ngapain lo ke sini jam segini? Buta lo huh?" tanya gadis dengan piyama ungu dan masker kuning, membuka pintu rumahnya heran, karena telah jam setengah sepuluh malam dia kedatangan tamu tak diundang.
"Hiks buta Sil. Gue emang buta Sila! Lo tau ngga? Si Dafa ngajak gue main pas Vero ngajak ngedate! Giliran gue free time, gabut-gabutan di rumah gada yang namanya peka dikit gitu. Sekarang gue diteror dua orang itu, maksa gue seakan gue kucing mereka, anjir!" cerocos Sapna nyaring, di ambang pintu Sila.
"Kalo ngomong ga usah nelen toa dulu bisa ngga sih?" ketus Sila.
"Lah gue ga makan toa, ga masuk ha ha," balas Sapna membuka mulutnya seakan memasukkan benda dengan nama toa itu.
"Ck, tuh dijemput!"
"Arkh Dafa!" pekik Sapna.
"Holla Pren! Kalian abis pada ngewe ya pake daster sama piyama doang?" sapa lelaki yang disebut Dafa itu.
"Kalo ngomong difilter Ig dulu ya Bang, biar cakep kaya orangnya," ketus Sila mencoba keramah-tamahan tapi tetap saja terdengar ketus.
"Widihh ngambek! Emangnya lo abis ngewe sama saha Sil?" tanya Daffa, memperjelas bahwa dirinya tengah menggodanya.
"Pulang ga lo! Pulang!" usir Sila, mengacung-acungkan sandal Gucci nya yang spontan ia lepas.
"Ampun mbak jago! Ampun mbak jago!"
"Kabur Na!"
Dafa menarik lengan Sapna yang memasang wajahnya sok serius, "ga ah. Mau ngewe sama Sila gue."
Sedetik kemudian Daffa tertawa keras. Sila benar-benar melepas kedua sandalnya dan melemparkannya ke Daffa dan Sapna.
"Aduh! Sakit babeng!" pekik Sapna.
"Ampun mbak jago! Ampun mbak jago! Tet tet!" Dafa kembali bergurau.
"Pulang! Pulang sana! Heranpunya temen kecil kaya lo semua! Untung ga gila, untung," usirnya kemudian meratapi nasib.
"Kak Ros bisa gitu ya ternyata," timpal Dafa.
"Yah, kok disuruh pulang? Kan belum ngewe?"
"Sama gue aja Na, kit pelaminan!" Daffa mengungkapkan isi hatinya dari yang paling dalam. Sila menggeleng, menyadari salah sahabat satu-satunya mencintai sahabatnya sendiri.
"Gak lah. Lembek lo, main aja sama gue ma Sila," cibir Sapna tak menyadari bahwa yang Daffa ungkapan itu benar adanya.
Daffa melirik Sila yang memasang wajah layaknya berkata, miris, miris.
"Pulang yuk lah Na. Ngapain juga mau lesbian sama Sila. Kan gue juga ada," balas Daffa mengode.
"Martabak Kang Eja kayanya enak Daf," kata Sapna mengode.
"Gasin!" balas Daffa peka, ya memang begitu susahnya suka sama sahabat sendiri. Bilangnya serius, dikiranya candaan, miris.
Daffa merangkul bahu Sapna, mendekatkannya ke tubuhnya, kemudian melepas jaket yang ia pakai sambil berjalan menuju motornya
"Tumben peka?" tanya Sapna berhenti dari langkahnya.
Daffa dalam hari mengumpat, kapan gue ngga peka anjir!
"Dari pada lo ngadu ke gorila abis kegigit nyamuk, kan mending engga."
"Gorila? Vero?" tanya Sapna, kemudian tertawa bebas.
"Gue subal pake sepatu nih, mulut lo kalau ga diem!" ancam Daffa, memutar kontaknya, menghidupkan kuda besinya.
"Ucul banget lu Daf, ngancem cewe pake gituan," komen Sapna di sela-sela tawanya yang semakin reda, Daffa melajukan motornya.
Daffa bersabar, sampai kapanpun dia bersabar, "diem! Kalau ga mau gue cium!"
Sapna berhenti terbahak. Kemudian kembali melakukannya, bahkan lebih keras, yang anehnya membuat Daffa lebih nyaman begitu, walau perasaannya secara langsung hanya bertepuk sebelah tangan.
"Hahaha Daffa, Daffa. Emang lo benari? Sumpah ngakak gue! Ahaha!"
Kalau begini, tanpa disuruhpun Daffa tetap sabar pada Sapna yang benar kata Sila, lola banget.
"Beuh! Mana berani gue nge-kiss lo! Yang ada Pangeran Daffa muntah mau nyium Sapna yang bau kalajengking!" balas Daffa random.
"Nyinetron mulu lo. Idup aja kaya air di daun tales, nyinetron kerjaannya. Sono masuk Indosiar!"
"Ga akan ada yang mau nerima gue. Lo tau sendiri kan, kadar ganteng gue di atas normal? Makanya gue sembunyiin biar ga ketauan, biar istri gue yang liat aja," balas Daffa, kembali mengode.
"Bangga gue punya sahabat kaya lo Daf, bangga," kata Sapna dramatis.
"Bangga lagi yang jadi istri gue," timpal Daffa menepuk dadanya, melepas tangannya dari setang kiri motornya.
"Ck apanya yang dibanggain dari manusia kaya gini?" gemas Sapna mengacak rambut Daffa setengah menjambaknya.
"Eh, sakit bege! Emang lo istri gue? Kalau mau no problem sih," timpal Daffa, tak bosan mengode.
Sapna semakin keras menjambak rambut Daffa dari belakang, "kebelet kawin banget sih lo. Ajak noh Nadia!"
"Woy sakit Na. Ntar mati Lo gue tabrakin ke mobil! Udah woy! Rambut gue copot semua. Ga ganteng lagi gue!" pekik Daffa melebih-lebihkan.
"Ck makanya!"
Sapna melepaskan tangannya kasar dari rambut Daffa, yang kemudian dielus-elus oleh sang empunya, dramatis.
"Bilang aja cemburu lo."
"Apa? Siapa yang cemburu ish!" ketus Sapna.
"Lo lah masa gue!" balas Daffa.
"Hm," gimana Sapna kesal, benar-benar kesal.
"Lo marah?" tanya Daffa.
"Ga."
"Yaudah pulang aja oke?"
"Hm."
Sumpah, Daffa merasa aneh jika Sapna begini padanya. Daffa lebih baik memeriksa telinganya seminggu sekali jika di dekat Sapna dari pada melihat Sapna diam begini.
"Oke. Pulang. Gue ga akan biarin lo make pakean mak-mak beli martabak. Yang ada lo dikira istri gue yang abis nganuan, terus ngidam. Bagus juga sih, konsepnya. Oke martabak aja deh," oceh Daffa sekaligus mengode.
"Daffa!" teriak Sapna, menembus helm full facenya, Sapna kembali.
"Egh, ya udah iya iya."
"Ngapain ke sini?" tanya Sapna karena tiba-tiba Daffa memutar setangnya ke arah toko pakaian yang hampir tutup.
"Makan! Ya beli baju lah, bege!"
"Ya gue tau lo mau beli baju. Ngapain sama gue bego!"
"Buat lo, biar ga keliatan norak! Puas?"
"Makasih! I love you ahaha!"
Daffa mematung, berusaha menyetabilkan tangan dan tubuhnya agar tak setara dengan burung-burung walet di atas sana.
"Yaudah cepet sana!" usir Sapna mendorong-dorong tubuh Daffa dari belakang.
"Ck. Iya iya."
"Lo ngapain?" tanya Sapna ketika melihat Daffa melepas kancing kemejanya satu-persatu.
"Nih pake, ga usah kemana-mana. Gue ga lama kok," kata Daffa melepas kemejanya dan memasangkannya di paha Sapna yang masih memakai daster dengan bahan selaput salak.
"Berasa punya pacar gue," ujar Sapna dramatis.
"Kalo mau ya no problem! Daripada best tie gue disakitin orang mulu, mending sama sesama best tie, kalo sakit nyembuhinnya gampang," timpal Daffa ascep.
"Gila lo ya! Udah sana! Awas kalo lama gue tinggal!" ancam Sapna, mengingatkan Daffa yang terakhir kali membawa Sapna ke toko baju, tapi saking lamanya Daffa memilih baju, Sapna meninggalkannya memakai motornya, hingga dia pulang sama mas-mas ojol.
Mengenangnya, Daffa langsung berlari masuk dan mengambil baju asal, kemudian bergegas ke kasir dan langsung membuka pintu.
"Ha? Cepet kali?" komen Sapna, yang baru saja mengambil handphone dari sakunya.
"Cepet salah. Lama, ditinggal. Salah mulu ya, jadi cowok," balas Daffa dramatis.
"Ya udah, mana? Gece ni."
"Salah lagi," tambah Daffa sambil menyerahkan pakaian yang ia beli.
Tanpa tedeng aling-aling, Sapna memakai begitu saja pakaian barunya, menyelimuti tubuhnya yang terekspos jelas.
"Udah."
"Yaudah ayo naik."
Begitulah fase persahabatan mereka, main, main, belanja. Tak diragukan lagi slogan mereka, 'siapapun yang bawa uang, dialah dia yang bayar'.
"Daf," panggil Sapna kemudian bersandar di bahu Daffa.
"Apa?" jawab Daffa berusaha menstabilkan detak jantungnya, ketika merasa wajahnya dan hidung Sapna minim jarak.
"Kalo gue jadian sama Vero, Sila setuju ngga ya?" tanya Sapna.
Daffa diam, mencoba mengendalikan diri agar tidak menabrakkan diri pada tiang manapun di depan sana.
"Tanyalah Sila," jawab Daffa telah memilih kata-kata yang kiranya tepat.
"Menurut lo?"
"Ngga tau lah logikanya!"
"Katanya boleh deh," jawab Sapna sendiri.
"Ga nanya gue?" tanya Daffa dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia mencintai wanita yang tengah bersandar di bahunya ini, sampai kapanpun.
"Kalau gue nanya lo, jelas banget jawabannya 'terserah' bales gue denger lo jawab gitu. Lagipula, lo udah sering gue disini sama sampah-sampah gue lainnya. Jadi sans aja kalau lo," jelas Sapna panjang.
Jawaban itu sama sekali tidak mengobati hari Daffa. Yang dia inginkan itu jawaban, 'gue ngga ingin lo sakit hati' tapi salah besar Daffa menginginkannya. Salah. Konsepnya saja cinta sahabat sendiri sudah salah, kaprah.
"Ya..," kata Daffa memanjangkan vokal a.
"Gimana gimana? Vero baik ke aku, lo tau kan? Boleh ya boleh ya?"
Daffa terdiam dari kata terakhirnya, mengumoat-ngumpat sejadi-jadinya di dalam hati, "anjir! Ngapain ngalem, bego! Jadian aja jadian! Ngapain izin!
"Ya ... terserah," jawab Daffa akhirnya. Selalu saja menyesal mengatakannya demikian.
"Horree! Daffa baik! I love you!"
Perasaan Daffa campur aduk, "tenang Daffa, gausah baper."
Walau begitu, Daffa tau yang Sapna katakan itu cinta sebagai sahabat. Ya mampuslah Daffa.
➤➤➤
Pagi-pagi sekali Sapna datang ke sekolah, hanya untuk sang calon pacarnya. Setelah mendapat izin dari kedua sahabatnya, sesuai janji hari ini Vero, tetangga sekolahnya akan resmi menjadi pacarnya. Sapna janji, dia akan setia. Sampai kapanpun.
Dengan perasaan gugup, dia menekan tombol telfon pada handphonenya, "hallo Ver. Kamu dimana?"
"Aku di jalan. Nanti ke situ, sans."
Sapna terkikik, begitu saja sudah membuatnya merasa senang. Dia memutuskan menunggu di gerbang sekolah.
Sapna rasanya tak sabar menunggu kedatangan sang calon pacar. Dia duduk di halte depan sekolah, menyaksikan teman-teman yang baru saja datang, dengan menyapanya, 'tumben'. Tapi dia bermasabodo.
Jam berlalu begitu cepat, tanpa Sapna sadari, 5 menit lagi bel masuk berbunyi. Namun, rasa bahagia Sapna tak kunjung terkurangi. Masih dengan arah pandang yang sama, Sapna melamun. Membayangkan betapa romantisnya Vero sang kutub Utara menjadi kekasihnya.
"Sapna! Masuk! Lo mau berjemur di depan tiang basket? Ha?"
Sapna menoleh, mendapati Daffa yang mengayun-ayinkan telapak tangan padanya. Mengganggu saja.
Tanpa membalas, Sapna kembali ke lamunannya.
"Gue cuma punya waktu 5 menit buat lo. Kalau lo ikut gue, bakal gue kasih semua waktu buat lo. Tapi kalo lo milih sebaliknya ... terserah, mau gimana cara lo menormalkan keadaan."
"Lo ngomong apa sih Daf! Lagi ga butuh candaan, butuh seriusan nih," timpal Sapna merasa aneh dengan kalimat Daffa. Baginya Daffa random, tapi tak serandom ini. Mendengarnya saja membuat bulu romanya menegak.
"Oke gue serius. Gue sayang lo Sapna Indriyani! Gue cinta lo, Sapna Ind..-"
"Nggak! Gue ngga mau kehilangan sahabat gara-gara cinta! Lo boleh cinta, lo boleh sayang gue. Asal kita sahabatan. Gue ngga mau kita pisah cuma gara-gara putus gue ngga mau!" elak Sapna menarik kedua lututnya dan memeluknya erat.
Memang bukan pertama kali dia menolak pria yang mendaftarkan diri menjadi kekasihnya, tapi baru kali ini Sapna merasa sakit yang begitu dalam.
"Gue tau gue egos, cinta sama sahabat gue sendiri. Tapi selama ini gue pendem perasaan ini. Berkali-kali gue coba lupain lo Na, tapi ngga bisa. Dan berkali-kali juga gue jatuh ke lembah yang sama. Sampai, gue rela singgle karatan cuma karena lo," jelas Daffa nada rendah, mendekatkan dirinya pada Sapna yang telah meringkuk di ujung bangku.
Sapna menyembunyikan air matanya dengan menelungkupkan wajah di pahanya. Dia tak bisa kehilangan sahabat seperti Daffa, hanya karena cinta.
"Gue ga bisa mencintai lo Daf. Di hati gue, nama lo udah tertulis jadi sahabat gue. Lo tau kan, mencintai orang yang tidak kita cintai itu susah?" tolak Sapna mengangkat wajahnya, mandang paras rupawan sahabatnya sendiri.
Mendengarnya, hati Daffa menjadi rapuh. Telah berkali-kali ia dipatahkan karena cintanya mencintai orang lain. Tapi kali ini, cukup Sapna saja yang melihat matanya berkeringat.
"Na. Mencintai itu mudah, yang susah itu mencintai orang lain."
Sapna kembali menangis, Daffa menghela nafasnya mencoba menerima kenyataan, sakitnya cinta pertama.
"Na, gue cinta lo. Gue bener-bener ga bisa mencintai orang lain selain lo. Tau kan, 8 tahun itu lama?" tanya Daffa sambil memegang bahu Sapna yangasih terisak.
Daffa merasa prihatin melihat kondisi wajah sahabatnya, yang kini pudar cahaya cantiknya, karena ulahnya sendiri. Daffa memeluknya, Sapna terisak lebih keras.
Dari arah berlawanan, Daffa melihat Vero dan Sindy yang berboncengan dengan bahagianya. Ini yang Sapna tidak tau dari Vero. Daffa tau, bahkan telah biasa melihat Vero pulang-balik club bawa cewe semodel Sindy itu. Hanya saja, untuk menjaga perasaan Sapna, dia melihat merahasiakannya. Daffa mengangkat tubuh Sapna agar menghindari pemandangan itu.
"Vero!" teriak Sapna.
Daffa terkejut mendengar teriakan Sapna. Dai melepas pelukannya, kemudian melihat arah yang sama dengan Sapna.
Sapna melihat dengan mata kepalanya sendiri, Vero turun dari motornya kemudian berjalan ke arahnya dengan wanita yang Sapna sama sekali tak mengenalnya.
Vero yang menggenggam jemari wanita di sebelahnya membuat Sapna panas. Apalagi tatapan Vero kepadanya yang sama sekali tak dapat diandalkan.
"Maaf gue ga bisa jadian sama lo. Gue udah punya Sindy," jelas Vero singkat tapi sakit di hari Sapna lebih rumit.
Sapna menatap Vero dengan tatapan isyarat bertanya, serius?
"Ga percaya?" tanya Sindy memajukan wajahnya ke Sapna.
Dengan polosnya Sapna menggeleng, membuat Sindy tersenyum licik, "sayang," panggilnya ke Vero menunjuk pipi kirinya.
Sapna menggelengkan kepalanya melihat Vero, sang calon pacarnya yang mencium pipi Sindy di depannya. Tanpa Sapna sadari, matanya tak dapat membendung cairan putih yang ia tahan sedari tadi.
"Kasihan," ejek Sindy kemudian berbalik dan menggandeng lengan Vero, menyebrangi jalan.
"Vero awas!" teriak Sapna berlari mendorong tubuh Vero, dan meninggalkan dirinya di tengah jalan yang tengah dilintasi truk.
"Sapna!" teriak Daffa berlari mendorong Sapna hingga jatuh di tubuh Vero. Namun naasnya, kala dia melangkahkan kaki, truk itu lebih dulu menghambur ke tubuhnya.
"Kamu ngapapa Ver?" tanya Sapna pada Vero yang berada di bawahnya, sedang Sindy menatap geram Sapna.
"Sapna?" lirih Daffa, melihat wanita yang ia cintai lebih memilih orang lain daripada dirinya. Lantas, perasaan kecewa telah menolongnya seketika terbesit. Rasa sakit yang dialaminya mendadak mati rasa, ketika Sapna menoleh singkat ke arahnya. Hingga pandangannya tiba-tiba gelap.
"Daffa! Aku mohon bertahan! Aku mohon kamu bisa! Daffa! Pak tolong! Tolong! Daffa sebentar! Daffa!"
Suara panik milih Sapna itu sama sekali tak dapat mengembalikan hatinya yang telah lebur berkeping-keping. Daffa terlanjur kecewa.
"Kamu, LOLA!"