1

99 4 0
                                    

          Dingin.

          Kenapa begitu dingin? rasa-rasanya aku ingin mengenakan pakaian hangat berlapis-lapis seperti saat pertengahan musim dingin tiba. Tapi bukankah musim panas belum berakhir?

          "Louise!"

          Oh, aku masih ingat ketika ibu meneriaki diriku kecil yang terjatuh dari ayunan. Ibu sangat berisik ketika berteriak, walau pada akhirnya dia memelukku lembut dan menenangkan tangisku. Ayunan kayu itu dibuat khusus oleh ayah untukku agar aku tak rewel lagi, sayang sekali diriku kecil tak pandai menjaga keseimbangan. Kemana perginya ayunan itu sekarang, ya? pasti sudah rapuh di gerogoti rayap.

          "Louise, kau sudah terlambat!"

          Aku juga tak melupakan saat itu ketika ayah hampir saja melewatkan keretanya. Penyebabnya tak lain tak bukan adalah karena diriku kecil yang begitu manja dan tak mau ditinggalkan. Kalau saja saat itu aku terlambat melepaskan pelukanku dari kaki besar ayah, pasti ayah takkan bekerja di perusahan kecil Whyne yang selalu ia bangga-banggakan, dan kami akan hidup sengsara.

          "Aku peringatkan sekali lagi,"

          Ibu selalu bilang kalau ayah begitu keras kepala. Sebelum menikah, ibu berkali-kali memperingati ayah kalau mereka takkan berjalan baik, tapi ayah tak mendengarkan perkataan ibu. Ayah bilang semuanya akan baik-baik saja. Dia berbohong. Lihatlah bagaimana akhirnya sekarang.

          "Louise Maeve Dalton,"

          Aku takkan melupakan saat ibu memanggil namaku untuk terakhir kalinya. Suaranya begitu lembut, berbeda sekali dengan ketika dia berteriak. Aku merindukan saat-saat hangat bersama mereka. Walau begitu, aku membenci ayah karena menyakiti ibu dan aku berharap ibu tak pernah bertemu ayah selama hidupnya. Biarlah aku tak perlu terlahir, asalkan ibu tetap hidup dan bahagia bersama pria yang lebih pantas untuknya.

          "Bangunlah!"

          "Ibu!" teriak Louise yang akhirnya terbangun dari tidurnya. Dia menarik nafas dalam, menatap sekeliling kamarnya yang gelap dan menyadari kalau semua yang terjadi di pikirannya hanyalah masa lalu.

          "Ah," dia bergumam pelan. "Tentu saja itu semua mimpi."

          Louise menatap jam yang menggantung di dinding kamarnya, jarum pendek mengarah pada angka 10. Dia memang bangun terlambat tapi tak biasanya bibi Anne membangunkannya berkali-kali seperti tadi. Lalu ketika Louise teringat yang bibinya katakan mengenai terlambat, dia membelalak, menyadari sesuatu. "Oh, sial." gerutunya lalu dengan segera ia beranjak dari ranjang dan berjalan keluar dengan tergesa-gesa.

          Louise telah melupakan satu hal yang begitu penting. Dia akan kembali ke Hogwarts hari ini dan keretanya seperti biasa berangkat pukul 11, tak pernah terlambat. Sembari menyisir rambutnya asal-asalan, Louise merutuki dirinya dalam hati karena tidur terlalu larut kemarin malam. Dia telah beranjak dewasa dan berjanji pada dirinya sendiri untuk sebisa mungkin tak merepotkan bibi Anne, mengingat Louise—yang kasarnya—menumpang hidup di rumah sederhana dari adik mendiang ibunya itu.

          "Sudah kubilang jangan tidur terlalu larut," omel bibi Anne sembari mengoleskan selai pada roti di tangannya. "Tak baik untuk kesehatanmu."

          "Maaf, Bibi, itu takkan terjadi lagi." balas Louise yang masih berkutat dengan barang-barang bawaannya.

          "Bekalmu," kata bibi Anne menunjuk pada bungkusan berwarna coklat diatas meja. "Makanlah di perjalanan."

          "Terima kasih." Louise memasukkan barang bawaan terakhirnya lalu menutup koper dan membawa bungkusan itu di tangannya yang lain.

          "Oh, dan, Louise," panggil bibi Anne ketika Louise baru saja selesai mengenakan sepatunya. Gadis itu menoleh dan menunggu bibinya melanjutkan. "Aku mendengarmu berteriak," katanya pelan, lalu terhenti sesaat. "Aku juga merindukannya."

𝑰𝑵𝑬𝑭𝑭𝑨𝑩𝑳𝑬 | S BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang