day 0, entah berapa bulan menuju day 1.
Tepat tiga bulan lalu, aku hanya gadis labil yang bingung untuk bereaksi.
Memantau layar laptop dengan perasaan kalut yang bikin perut minta diisi.
Aneh, padahal sebelumnya tidak begini.
Padahal sudah berniat melapangkan hati.Aku sendiri tidak mengerti.
Bagaimana bisa perbedaan warna merah dan biru bisa membuat seseorang menjadi ketar ketir begini?
Tapi ya bagaimana lagi, memang fasenya seperti ini.
Jadi sudah sepatutnya menerima apapun warna yang muncul nanti.Beruntungnya, warna yang terlihat saat itu adalah biru!
Egois bila ku bilang ini hasil usahaku.
Nyatanya, kekuatan terbesar ada pada doa yang lebih samar dari oksigen, dan lebih kuat dari logam tungsten sekalipun.
Dan percaya tidak percaya, si biru yang menjadi gerbang pembuka jurnal ini.Pembuka sebuah kisah kehidupan yang aku bawa dari desa kecil bernama Jatinangor untuk ku bawa pulang —ke Bandung.
Ahh, maaf. Sepertinya aku terlalu lama berbasa-basi.
Intinya, cerita ini akan berisi jurnal yang akan kutulis tiap hari.
Berisi kisah klasik yang sayang bila ku simpan sendiri.
Tidak apa, biar cerita ini menjadi saksi dari semua peristiwa yang akan dilalui nanti.
Alurnya tentu saja masih menjadi misteri.
Kita tunggu saja apa yang akan terjadi nanti.Pidi Baiq dalam lagunya bilang, "Sudah jangan ke Jatinangor. Dia sudah ada yang punya."
Tapi Yah, maaf. Sepertinya aku terlanjur cinta dengan kota kecil ini.
Tak apa jika dia sudah ada yang punya, toh tak selamanya perasaan harus dibalas dengan perasaan serupa.
Okey, maaf. Sepertinya ini sudah keluar dari konteks.So, segitu saja yang bisa kutulis sekarang.
Jalan ceritanya masih panjang,
Sudah siap 'kan untuk sama-sama belajar jadi 'manusia?'•••
22 Juni 2021
—na.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung-Jatinangor
PoetryPerjalanan Bandung-Jatinangor atau sebaliknya, selamanya akan jadi perjalanan yang amat membosankan dan bikin pegal badan. Tapi tidak setelah aku membawa sesuatu yang bisa kubawa pulang. Ya, sebuah kisah peliknya kehidupan mahasiswa yang sedang be...