The Wedding

2.8K 26 20
                                    

#DRC2021
#DomesticRomanceCompetition2021

Judul: 21+
Penulis: Salwa Sabila

The Wedding

Dua puluh satu, merupakan usia yang kupilih untuk mengakhiri masa lajang. Kamis, 20 Juli 2021, aku berdiri di tempat ini. Di salah satu pelataran masjid besar yang terdapat di area Jakarta Timur. Kebaya berwarna gading dan kain batik sebagai bawahannya kukenakan pada momen yang menurut sebagian banyak orang sakral ini.

Setelah embusan napas yang cukup dalam, Mama menggamit lenganku agar segera memasuki area masjid. Sebagian orang yang sudah kukenal sudah tampak menunggu, sedang sebagian orang lainnya tampak asing di mataku.

"Duduk yang manis, Anye," bisik Mama tepat setelah aku berada di pusat kerumunan. Di hadapan meja bertaplak putih yang di atasnya terdapat sebuah mahar.

Aku menelan ludah berusaha menahan gugup. Sementara pria berbadan tinggi yang sudah lebih dulu berada di dalam masjid, tak mau kalah mengguratkan raut ketegangan di sisiku. Dua orang pria di hadapanku tampak tengah bersiap-siap. Paman Angga—adik kandung almarhum Papa—menjadi wali nikahku pagi ini, setelah seminggu lalu dikabari oleh Mama via telepon.

"Jangan sampai salah mengucap ijabnya, ya." Pria yang duduk di sisi Paman Angga berbicara pada Okta, calon suamiku.

Okta hanya membalas ucapan pria berkopiah hitam itu dengan satu kali anggukan. Entah apa yang saat ini berkacamuk dalam batinnya?

Momen ijab kabul usai, para tamu dan keluarga yang hadir mengucap syukur dibarengi untaian doa. Wajah-wajah bahagia kudapati pada sosok di sekelilingku. Pun pada parasnya. Paras pria yang akhirnya telah resmi menyandang status seorang suami. Suamiku ....
***
Tamu-tamu yang hadir pada acara resepsi pernikahan aku dan Okta tak kunjung habis. Berkali-kali, aku menyembunyikan ringisan karena tak tahan berdiri lama di pelaminan. Mayoritas dari mereka berasal dari keluarga besar dan kolega orang tua Okta. Ya, aku dan Mama memang tak banyak mengundang tamu karena kami awalnya berpikir pesta akan diselenggarakan secara sederhana. Namun, resepsi yang digelar dari ide papa mertuaku ini, rupanya lebih layak jika disebut sebuah perhelatan besar.

Ratusan menu makanan dan minuman yang disuguhkan di atas meja berbentuk panjang, panggung yang diisi pengiring musik dan beberapa artis ibu kota, dekorasi ballroom dan pelaminan yang mewah, serta kado pernikahan bernilai mahal dari para tamu jadi bukti bahwa Papa Mertua tak main-main menyelenggarakan pesta pernikahanan untuk aku dan putranya.

"Duduk saja, biar aku yang menyapa tamunya," pinta Okta sambil menatapku dengan iba.

Tentu aku tak mengkikuti kemauannya. Apa kata para tamu, kalau melihat sang pengantin wanita hanya duduk dan tak mau menyalami mereka?

"Anye, ingat pesan Paman. Belajarlah jadi istri yang baik dan selalu kendalikan emosimu. Kamu menikah di usia yang masih sangat muda. Paman harap ... kamu tidak gegabah dalam menghadapi semua yang akan hadir dalam kehidupan rumah tanggamu ke depan." Paman Angga berucap sebelum pria itu kembali bertolak ke Malang bersama istri dan kedua anaknya.

Ada haru yang menjalar kala mendapati sosok wali nikahku itu berlalu pada pesta pernikahanku. Hubungannya yang tak baik dengan Mama, mungkin jadi salah satu alasan Paman Angga pulang cepat ke kotanya. Sejak Papa pergi, Mama selalu menyalahkan adiknya itu sebagai penyebab kematian suaminya. Utang Paman Angga yang menggunung, menjadikan usaha Papa bangkrut karena keuntungan bahkan modal usaha Papa digunakan untuk membantu melunasi utang adiknya itu.

Dari yang aku tahu, sejak usaha Papa bangkrut beliau jadi sakit-sakitan. Dengan uang seadanya dari peninggalan yang ada, Mama membiayai pengobatan Papa hingga beliau meninggal. Pun membiayai kehidupan kami sehari-hari setelahnya.

"Oktaaa, aku mau pingsan saja rasanya," keluhku. Saat acara resepsi usai dan pria bertuksedo hitam itu menggendongku menuju salah satu kamar di dalam hotel.

Suasana sudah berangsur sepi dan seluruh keluarga inti pun sudah menuju kamar masing-masing. Kulihat Okta malah terkekeh-kekeh menanggapi sifat manjaku. Entah karena apa alasannya pria perlente berkumis tipis itu bersedia meminangku?

"Siapa yang mandi duluan?" Dia bertanya setelah mengempaskan tubuhku secara hati-hati ke kasur.

"Aku tak mau mandi tengah malam begini, Sayang."

"Are you serious?"

"Ya."

"Kalau begitu, biar aku yang membuatmu ingin mandi pada tengah malam ini." Manik pria di depanku membesar, lalu dia pun menanggalkan tuksedo dan dasi kupu-kupunya dari jarak yang sangat dekat.

Buru-buru aku bangkit ke kamar mandi sebelum Okta kian menjadi brutal. Akan tetapi, gerak tangannya yang gesit seolah-olah tahu kapan pria itu harus bisa meraihku. "Kita sudah sangat lelah hari ini, Anye. Jangan buat aku tambah lelah dengan mengajakku mengikuti permainan kecilmu malam ini." Pria itu menaruh bibirnya begitu dekat dengan telingaku.

"Aku tak mengajakmu bermain, Okta. Lepas, aku mau mandi." Sedikit paksaan kulakukan hingga akhirnya aku berhasil melerai dekapannya sementara waktu.

Pukul 01.00, aku dan Okta sudah berada di ranjang yang sama dengan pakaian tidur masing-masing. Ada canggung yang mendera, mengingat pria yang berbaring di sisiku pasti akan meminta sesuatu malam ini. Cerita tentang malam pertama pengantin baru tentu bukan hal yang tabu bagi kami. Ya, kami sama-sama tahu dan aku pun memilih diam menunggu Okta yang memulai. Meski jantung kian jadi tak keruan.

"Sayang ...." Okta menggantung ucapannya dengan satu helaan napas. "Jadi, dari mana aku harus memulainya?" Pria berkulit putih itu mengelus pipiku pelan. Matanya memandangku lekat, seakan-akan tengah meminta sebuah persetujuan. Persetujuan untuk memulai ritual malam pertama kami.

Dalam temaram dan dekapan ranjang bertabur kelopak mawar, aku mengangguk pelan kepada Okta. Pria itu mulai memajukan posisi tidurnya ke arahku, dibarengi embusan napas yang kian memanas di telinga. Dengan begitu hati-hati, bibir Okta mendarat pelan bibirku, lalu menyentuh seluruh lekuk yang tak pernah dia jangkau sebelumnya.

Bersambung ....

TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang