A Gift

999 13 2
                                    


A Gift

Ketukan di pintu kamar dari salah satu pelayan di rumah Okta membuatku harus bersiap-siap turun ke meja makan. Gaun berwarna hijau yang dibelikan Okta kukenakan malam ini dan dipadu sebuah kalung berliontin berlian biru. Tampak pria berhidung mancung itu juga tengah bersiap-siap di dekat lemari pakaiannya. Jas berwarna hitam yang senada dengan bawahannya membuat Okta terlihat gagah.

"Malam ini agak formal, Sayang," celetuk Okta sambil mendekat ke arahku. "You look so beauty. As always," lanjutnya sambil melihat pantulan wajahku di dalam cermin.

Aku tersenyum kemudian bangkit dari kursi di hadapan meja rias. Melingkarkan lengan pada leher pria berusia dua puluh delapan tahun itu, lalu mengecup bibirnya pelan. "We'll be late jika kamu selalu memujiku seperti ini."

Okta tertawa, kemudian kami pun keluar dari kamar dan menuruni tangga bersama-sama.

Suasana di area makan malam telah ramai. Kedua orang tua Okta, paman, bibi, om, tante, dan para keponakannya juga sudah duduk manis di atas kursi masing-masing. Kami menyusul dan disambut dengan hangat. Beberapa candaan tentang status aku dan Okta yang masih pengantin baru pun masih kerap dilontarkan oleh mereka.

"Apa rasanya berbeda tidur sendiri dengan tidur berdua, Mas?" Juna, keponakan Okta, bertanya dalam sela acara berkumpulnya keluarga.

"Sure. Jadi, kapan kamu menikah?" balas Okta sambil menuangkan wine pada gelas di hadapannya.

"Nanti, Mas. Kata Mama, aku harus nunggu sukses dulu baru boleh membawa seorang wanita ke rumah kami. Bagaimana kalau aku baru sukses setelah usia delapan puluh tahun?"

Seluruh anggota keluarga di hadapan meja makan tertawa termasuk juga aku. Tak berselang lama setelah keluhan dari Juna berhasil membuat suasana makan malam terasa ramai, sosok Yudith beserta Elisa, istrinya, tampak baru menuruni tangga dan berjalan ke arah kami.

"Maaf telat semuanya," sapa Yudith sambil menyediakan kursi untuk Elisa. Terlihat kakak ipar perempuanku itu menunjukkan sisi glamour-nya malam ini. Perhiasan bertabur kilau berlian di kenakannya dengan lengkap.

"It's okay, Dith. Kita juga belum memulai ritual makan malam ini." Mama Trisna tampak bersahaja dengan senyum keibuannya.

Makan malam berlangsung dengan menyenangkan dan penuh kehangatan di keluarga besar Okta. Tak seperti yang kupikir sebelumnya, aku merasa sangat diterima oleh mereka. Meski sesekali kudapati Elisa tengah menatapku dengan sorot menyebalkan, tetapi perlakuan anggota keluarga yang lainnya seakan-akan menutupi tingkah ketidaksukaannya kepadaku.

Jelang acara berkumpul usai, Papa Guntar Wijaya, mertuaku, menyedot perhatian kami dengan mengeluarkan satu amplop berwarna putih dari saku jas yang dikenakannya. Semua anggota keluarga yang berada di ruang makan tampak mengguratkan raut penasaran, akan apa isi dari amplop yang ada dalam genggaman pria kharismatik itu.

"Papa merasa masih punya utang kado pernikahan pada Okta dan Anyelir," ungkapnya. Sontak membuatku sedikit kaget karena yang sebelumnya sebuah pesta pernikahan mewah telah dia gelar untuk kami.

Okta berdeham, lalu beralih menatap pria paruh baya yang duduk di kursi paling ujung malam ini. "Sebenarnya aku juga tidak ingin merepotkan, Pa. Aku dan Anye—"

"Okta, Papa belum selesai bicara," potong Papa Guntar sambil menyandarkan punggungnya ke belakang kursi. "Ini hanya kado kecil dan Papa sama sekali tidak merasa direpotkan. Hanya tiket dan bukti kelengkapan akomodasi lain untuk kamu dan Anyelir berbulan madu ke Istanbul esok hari." Pria yang rambutnya mulai memutih itu menyodorkan amplop yang digenggamnya kepada Okta.

Semua orang yang ada di dalam ruang makan tampak turut semringah karena kami mendapatkan amplop tersebut. Akan tetapi, tidak demikian dengan Elisa. Sama sekali tak kulihat raut suka di parasnya saat Okta menerima pemberian papanya itu.

Dia pun bangkit tak lama setelah Papa Guntar mengumumkan bahwa tiket bulan madu itu diberinya agar aku dan suami bisa segera memiliki seorang bayi. Bersama Yudith dan entah apa yang mengganjal di hatinya untuk aku, Elisa pamit meninggalkan ruang makan dan kembali ke lantai dua.

"Habiskan minumnya, Anye. Kita juga harus memasuki kamar karena besok kita akan berangkat pagi-pagi ke bandara," bisik Okta di antara keramaian obrolan seru keluarganya.

Sesampainya di kamar, Okta terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya. Setelan jas dan jam yang melingkar di tangannya dia tanggalkan sembarangan di sisi ranjang. Aku yang menyadari hal itu, perlahan-lahan mulai duduk di sisinya setelah berganti baju tidur. Menanyakan akan apa yang mengganggu dan membuatnya tampak resah usai ritual makan malam.

"Kalau kamu merasa keberatan dengan pemberian Papa, kenapa tak kamu tolak saja tadi?" tanyaku setelah Okta mengungkapkan keresahannya.

"Papa bukan orang yang suka akan penolakan, Anye. Dia tak pernah mau dibantah dan sedikit keras kepala."

"Kalau begitu, terima saja pemberian darinya itu. Lagi pula, apa salahnya menerima papamu? Dia bermaksud baik pada kita."

"Ya, tapi awalnya aku ingin membicarakan dulu rencana bulan madu bersamamu dan ingin mendapatkan seluruh akomodasi dari hasil kerja kerasku sendiri. Bukan Papa yang menentukan. Lagi pula, aku tak tahu kamu benar-benar ingin pergi ke negara itu atau tidak?"

"Sure, I Love Turkish, Honey."

Okta mengerutkan dahi sambil menoleh ke arahku. "Seriously?"

Aku mengangguk dengan jujur.

"Kalau begitu, moga esok akan menjadi perjalanan jauh pertama kita yang menyenangkan." Okta merangkul bahuku lantas menyandarkan kepalaku di pangkuannya.

***

Pagi hari, seluruh keluarga besar Okta yang bermalam di rumahnya mengantarkan kami hingga ke teras. Namun, sejak waktu sarapan di rumah ini, cuma Elisa dan Yudithlah yang tak terlihat batang hidungnya. Pasalnya, pagi-pagi sekali keduanya telah meninggalkan rumah untuk pulang ke kediaman mereka pribadi. Aku tersenyum mendengar hal itu meski masih merasakan aneh pada sikap kedua kakak iparku tersebut.

"Take care, Okta. Jaga menantu Mama baik-baik di sana." Mama Trisna membingkai wajah anaknya dengan kedua telapak tangan, lalu mencium kening putranya itu.

Setelah sesi berpamitan yang cukup khidmat, Mercedes Benz berwarna hitam membawa aku dan Okta menuju Bandara Internasianal Soekarno Hatta. Seperti biasa, perjalanan kami ke bandara pun dibarengi kemacetan yang sudah mendarah daging pada image ibu kota.

Pukul 08.00, kami sudah sampai di terminal keberangkatan ke luar negeri. Setelah menyelesaikan kewajiban dengan petugas transmigrasi dan pemeriksaan barang bawaan, aku dan Okta masih harus menunggu jam keberangkatan di boarding room. Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya pengumuman agar kami segera menumpangi Turkish Airlines pun terdengar. Okta menggenggam tanganku erat dan menuntunku untuk segera menaiki pesawat. Sementara aku, masih menetralkan debar jantung sebelum kami benar-benar meninggalkan tanah air untuk momen bulan madu.

Bersambung ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang