Promise (2)

1.2K 13 3
                                    

#DRC2021
#DomesticRomanceCompetition2021

Judul: 21+
Penulis: Salwa Sabila

Pelayanan hangat bell boy menghantarkan kami hingga ke lobi hotel. Lexus putih yang dibawa seorang sopir menepi tepat di depan kami. Okta membukakan salah satu pintu dan mempersilakan aku memasuki kendaraan mewah itu. Setelah koper yang kami bawa dimasukkan ke bagasi oleh sopir, mobil pun akhirnya melaju membelah jalan ibu kota.

Jalanan Jakarta dan kemacetan memang seolah-olah sudah tidak bisa dipisahkan. Pedagang asongan, pengamen, dan peminta-minta kian memadati jalan yang dipatok lampu merah. Letak rumah Okta dari hotel sebenarnya tidak begitu jauh karena masih berada dalam satu area Jakarta Timur. Akan tetapi, padatnya jalan yang terlanjur jadi ciri kota ini membuat perjalanan malah memakan waktu lama.

"Hey," gumam Okta sambil menyentuh daguku lembut.
Aku menengok kepadanya dan memberikan isyarat sebuah pertanyaan.

"Lihat anak yang sedang digendong seorang ibu di trotoar sana, lucu sekali, kan?" Telunjuk pria berkulit putih itu mengarah kepada seorang bayi bertopi hijau di pinggir jalan.

Aku turut memperhatikan hingga tak terasa seulas senyum juga terukir di bibirku.

"Nanti kita seperti itu. Menggendong seorang anak kecil yang baru lahir dari rahimmu. Anak kita." Tangan Okta terulur memeluk pinggangku seraya masih terfokus pada anak kecil di trotoar sana.

Aku berbalik menoleh pada Okta, lalu perlahan-lahan menyandarkan kepala di dada bidang pria berkumis tipis itu.

Empat puluh menit berlalu, akhirnya hunian mewah yang baru kusambangi satu kali sejak mengenal Okta kembali kudapati. Rumah dengan taman dan bagasi luas di depannya itu terasa masih membuatku ragu untuk berpijak. Ya, keluarga Okta yang berada dan dipandang banyak orang, menjadi salah satu alasanku takut tidak diterima di dalamnya. Meski sejauh ini perlakuan kedua orang tuanya sangat hangat, tetapi perasaan ragu itu tetap mengganjal. Terlebih saat aku juga harus dihadapkan dengan anggota keluarga besar Okta yang lainnya.

"With me, Honey." Okta kembali menggandeng lenganku untuk memasuki rumah setelah kami menuruni mobil.

Sekitar lima belas orang keluarga Okta menungguku di ruang tamu. Selain kedua orang tuanya, tampak juga Yudith—kakak kandung Okta—menyambutku dengan istrinya. Sebenarnya orang tua Okta hanya memiliki dua putra dan sama sekali belum dikaruniai seorang cucu. Sementara yang lainnya, merupakan sosok bibi, paman, om dan tantenya suamiku yang kebetulan masih tinggal di area Jakarta Timur.

"Wellcome home, Anyelir." Mama Trisna, ibu mertuaku, merentangkan kedua tangannya dan bersiap memelukku.

Aku menghampiri wanita berusia lima puluh tahun lebih itu. Sosoknya yang selalu hangat, cukup membuatku merasa nyaman kendati kami baru bertemu beberapa kali.
"Bagaimana malam di Best Western Premier The Hive?" canda ayah mertuaku diiringi tawa seluruh anggota keluarga lain.

Aku sedikit salah tingkah meski tahu pertanyaan itu tidak hanya dilayangkan beliau kepadaku. Akan tetapi, Okta segera menghampiriku dan menautkan lengannya pada pinggang seakan-akan berharap aku untuk bersikap biasa saja. "Pa—"

"Sudah, Ta. Papamu cuma bergurau. Bawa Anyelir ke kamar kalian dan kita berkumpul kembali saat makan malam, ya," potong Mama Trisna pada putra keduanya.

Aku dan Okta mengiakan usul wanita itu. Setelah berbasa-basi sejenak dengan anggota keluarga lain, Okta langsung menuntunku memasuki salah satu kamar yang berada di lantai dua hunian mewah milik orang tuanya.

Ruang bercat putih dengan satu ranjang king size, jadi pemandangan utama saat aku memasuki kamar Okta. Satu rak besar berisi ratusan buku dan meja kayu di dekat jendela kamar tampak kontras dengan gaya suamiku. Dibanding serius, Okta lebih tampak sosok maskulin di mataku. Buku-buku dan meja yang bertengger di dekat jendela kamar itu, setidaknya telah menyadarkan kalau ternyata aku ini belum terlalu mengenal sosok pria berbadan tinggi itu.

"Apa kamu suka membaca, Honey?" tanyaku sambil mengamati satu per satu judul yang tersusun di dasar rak.

"Ya."

"Membaca apa saja?"

"Apa saja, kecuali cerita percintaan." Okta terkekeh-kekeh.

Aku mendelik ke arahnya kemudian menggeleng dibarengi seulas senyum.

Okta duduk di tepi ranjang yang dibalut seprai cokelat, sedang aku masih sibuk melihat-lihat keunikan di setiap sudut tempat tidurnya. Hanya ada dua foto yang dia pajang dalam kamar yang ukurannya cukup luas menurutku. Satu foto dia bersama keluarganya dan satu lagi foto kami berdua saat masih berpacaran.

"Foto-foto pernikahan kita akan kupajang di rumah kita saja."

"Good idea."

"Dan akan disusul foto keluarga kecil kita nanti." Kini, Okta tampak bangkit dan berjalan mendekatiku. Sementara aku masih asyik memandangi area taman belakang rumah dari jendela kamar ini.

"Anyelir."

"Ya."

"Can you promise will be there for me till us being old?" Okta memelukku erat dari arah belakang tubuh. Dagunya yang lancip mendarat di bahuku dengan hangat.

"Ya, of course. I love you," balasku. Sementara jemari Okta tengah sibuk bermain-main di sekitar lekuk leherku.

Bersambung ....

TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang