3. Pergi

9 6 3
                                    

Sebenarnya, aku tidak tau luka itu masih membekas atau tidak.

Nada Arsyila

🌟🌟🌟🌟
__________

  "Huhft.." desahku berat, menatap perkampungan dari teras atas, sedikit berat untuk meninggalkan. Namun, aku tidak boleh tetap bergantung pada mereka, aku setidaknya harus tau cara  berbalas budi.

  Mengingat kembali bagaimana aku bisa ada disini sembilan tahun lalu. Ah kenapa aku terus mengingatnya? Tidak bisakah aku melupakan itu? Bukan berarti aku tidak bersyukur lahir dan memiliki orangtua seperti mama dan papah, tapi mengingatnya selalu membuatku iri.

  Kenapa Allah tidak menjadikan papah dan mamah seperti bu Aini dan pak Rahman? Allah!! Sadar Nada, kamu terlalu kufur terhadap nikmat yang Allah beri. Harusnya aku bersyukur mempunyai empat orangtua, kamu lebih mudah mendapat ridho Allah lewat mereka.

  Aku harus segera menjernihkan pikiran. Lelah! Kenapa aku seperti mempunyai wujud lain dalam diriku?

  Nada si pendiam, Nada aneh, Nada egois

"Ahhhhhhhh.. tidak a-aku tidak aneh, aku tidak egois a-aaku.." jeritku sembari menutup kedua telinga. Kenapa kata kata itu selalu muncul,

"Nada, kamu kenapa?" ucap ibu yang sudah memelukku, entah sejak kapan beliau ada disini.

"N-nada ngga aneh kan bu? Nada..naada." ucapku gemetar

"Tenang sayang, tenang! Nada baik-baik aja ko. Lihat ibu!"

Aku melihat sepasang mata yang selalu memberikan ketenangan.

"Nada harus tenang, jangan terlalu banyak pikiran. Kalau capek Nada istirahat jangan keseringan melamun yah, nurut sama ibu." dia kembali memelukku

"Bu, apa benar Nada baik-baik saja?" tanyaku yang mulai tenang

Haruskah aku mengatakannya sekarang? Sembilan tahun sudah berlalu tapi kamu masih belum sembuh juga. Apa sedalam itu kamu terluka nak? Apa aku dan bapakmu belum bisa menyembuhkannya?_ batin Aini

"Memang kamu merasa tidak sehat? Yasudah kalu kamu sakit nanti sore tidak usah pergi ke kota untuk kerja." aku berfikir mendengar jawaban ibu

"Nada merasa baik-baik saja, tapi kenapa aku sering kalap dengan diriku sendiri bu? Nada seperti memiliki dua jiwa, namun dalam satu raga."

"Kan ibu sudah bilang, makanya jangan kebanyakan melamun, ngga baik! Apalagi anak gadis kaya kamu gini. Nanti kesambet jin naksir lagi." guraunya

"Ihh ibu, jangan ngomong gitu, Nada kan pengennya di sukain sama orang bukan jin."  ucapku merajuk seperti anak kecil

"Ahhahahah... kamu ini ibu bercanda, oh iya kemarin ada yang nanyain kamu loh, cowok Nad! Maklum lah anak gadis ibu ini sudah 19 tahun, sudah layak dipinang!"

"Ihhh ibu Nada kan mau kerja dulu, ngga mau sekarang-sekarang. Emang siapa yang nanyain aku? Perasaan aku ngga ada temen dekat cowo bu,"

"Pak lurah, katanya dia udah bosen sendiri. Harus ada bu lurah yang ngedampingin." ucap ibu sembari menahan tawa

"Nada ngga mau! Lagian pak lurah kok nyari yang kaya Nada sh, Nada kan masih muda pak lurah udah tua. Yaa walaupun belum menikah sih,"

"Shutt, ngga boleh ngomong gitu. Dosa!"
ujar ibu mengingatkanku

"Astagfirullah.. Nada khilaf." ibu yang mendengar ucapanku hanya geleng-geleng kepala.

______

"Ibu, bapak Nada berangkat dulu yaa, nanti Nada kabarin kalau sudah sampai." ucapku berpamitan, sebelum berangkat ke kota.

"Hati-hati nak, kabarin kita kalau ada apa-apa. Ngga usah kerja lagi kalu mereka di sana ngejahatin kamu." aku hanya mengangguk mendengar ucapan bapak.

"Jaga sholat kamu, jangan telat makan, satu bulan sekali harus pulang yaa." kini ibu menyahut

"Inshaallah bu, Nada usahakan. Nada pamit dulu Assalamualaikum." ucapku tersenyum ke arah mereka.

Perlahan mobil yang di tumpangi Nada menjauh dari pandangan mereka,

"Kita harus belajar ikhlas bu, entah Nada pergi sementara atau nanti ketika dia memilih kembali dengan orang tua kandungnya." ucap pak rahman merangkul istrinya

"Pak... andai Anisa masih hidup."

"Husstt ngga baik berandai andai, syukuri apa yang kita punya saat ini."

____________

Assalamualaikum :)
Hallo readers, terima kasih sudah membaca😊

Aku BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang