3. It's time to leave from Soekarno-Hatta Airport

1K 145 26
                                    

Berada di bandara, saat semua orang bertahan di rumah saja, ternyata memberikan sensasi sedikit nakal. Ara merasa dirinya seperti murid yang sengaja membolos, padahal sedang ada ulangan di kelas. Setelah bersusah payah meyakinkan Dev, akhirnya Dev setuju juga dengan rencana berlibur ke Bali, dan di sinilah mereka!

Bandara Soekarno-Hatta tampak lengang di hari Sabtu ini. Tentu saja, tidak semua orang berani dan mau berpergian saat virus masih merajalela. Samar-samar, aroma citrus bercampur rempah dengan sentuhan bunga mampir di penciuman Ara yang tertutup masker. Aroma segar tapi juga manis. Aroma yang ternyata menimbulkan nostalgia. Entah pewangi ruangan apa yang digunakan di bandara ini. Mencium aroma ini juga membuat Ara sadar bahwa bandara memiliki wangi khas.

Ara berusaha menikmati aroma yang hanya sekejap mampir di hidungnya dan mendesah kecewa saat indera penciumannya sudah menyesuaikan diri dengan aroma itu. Mau bagaimana lagi? Masker yang erat menutup hidung dan mulutnya memang efektif untuk melindungi dirinya dari bahaya COVID-19. Hanya saja, masker itu juga membuatnya tidak bisa menghirup dalam-dalam wangi bandara yang ternyata dirindukannya.

"Ara! Itu Kay diawasin!" teguran Dev membuat Ara terlonjak kaget. Dengan agak gelagapan, Ara menoleh ke samping dan ternyata Kay sudah tidak ada di sana. Kay malah sibuk bermain geret koper di belakang Ara.

Astaga, baru saja Ara meleng sedikit, ternyata Kay sudah lepas dari pengawasannya. Ara pun bergegas menyusul Ara dan setengah memaksanya untuk kembali ke tempat Dev berdiri menunggu. Dev menatapnya tajam dengan kening berkerut. Jika saja saat itu Dev tidak menggunakan masker, Ara yakin bahwa bibir tipis Dev sudah semakin tipis, menunjukkan ketidaksukaannya.

"Kamu ini, kayak gak tau kalau Ara gak bisa diem. Eh, malah gak diawasin. Udah tahu lagi musim begini." Dev mulai mengomel. "Kamu harus tetap waspada. Kita gak pernah tahu kapan dan gimana virus bisa nempel ke tubuh kita."

"Iya, maaf." Ara yang merasa bersalah, hanya bisa menjawab singkat. "Aku cuma takjub ada di bandara lagi setelah sekian lama. Kapan terakhir ke Bandara? Setahun lalu? Setahun setengah? Lupa!"

Alis Dev terangkat naik. "Gak ada yang berubah, kan? Apanya yang bikin takjub? Bandara ya masih begitu-begitu saja." Dev mengumpulkan koper bawaan mereka, termasuk koper yang tadi dijadikan mainan oleh Kay, lalu menunjuk ke sebuah meja di dekat konter check-in. "Aku ke sana dulu, mau validasi surat perjalanan lalu taro bagasi. Kamu duduk aja dulu, gih."

Sebenarnya, Ara ingin menjawab perkataan Dev tadi. Ya, mungkin bandara Soekarno-Hatta masih seperti dulu. Namun, kini bandara memiliki nuansa pandemi yang membuatnya terasa berbeda. Sejauh mata memandang, semua mengenakan masker, yang tentu saja adalah sudah merupakan aksesoris terpenting saat ini. Kursi-kursi yang tersebar di berbagai penjuru bandara juga cenderung kosong, tidak penuh dengan calon penumpang dan juga pengantar atau penjemput. Tanda X berwarna merah juga tersemat di mana-mana, menandakan bahwa kursi tersebut tidak boleh ditempati untuk menjaga jarak antara orang yang duduk di kursi satu dan kursi lainnya.

Mata Ara menangkap beberapa petugas kebersihan yang sibuk membersihkan dan mendisinfeksi kursi, meja, dan permukaan lain yang sering disentuh pengunjung. Prosedur untuk check-in keberangkatan pun lebih rumit dari biasanya. Bahkan, hanya satu orang per keluarga yang menjadi perwakilan antrian check-in. Ada juga beberapa prosedur tambahan yang harus dilalui, di luar pemeriksaan standar.

Selain wajib mengenakan masker dan membersihkan tangan dengan hand sanitizer begitu memasuki terminal keberangkatan, petugas bandara juga melakukan screening suhu tubuh, lalu dilanjutkan dengan validasi surat keterangan bebas COVID-19 yang bisa berupa surat hasil rapid antigen atau PCR, serta kode QR hasil pengisian Kartu Kewaspadaan Kesehatan Elektronik (e-HAC). Ara mengernyit saat teringat pengalaman pertamanya melakukan test antigen kemarin. Astaga, berpergian zaman now, harus rela dicolok-colok hidungnya!

Physical distancing atau jaga jarak juga membuat adanya pembatasan antrian di mesin check-in mandiri, konter check-in, baggage drop, lalu entah apa lagi nanti di dalam boarding lounge. Banyak juga petugas keamanan bandara yang bersiaga untuk memastikan proses pengecekan di bandara berlangsung lancar bebas hambatan.

"Mama, Kay capek. Boleh duduk?" Rengekan dari Kay, yang kini tidak ada kegiatan lain setelah kopernya dibawa oleh Dev, membuat Ara menghentikan observasinya. Matanya sibuk mencari tempat di mana mereka bisa duduk dengan aman dan jauh dari orang lain. Bandara memang relatif sepi, tapi seperti perkataan Dev tadi, bandara adalah tempat umum dan banyak orang di sana yang kita tidak tahu kondisi kesehatannya.

Akhirnya, Ara melihat kursi di salah satu sudut tidak jauh dari counter check-in dan tidak ada orang lain duduk di sekitar kursi itu. Ara pun menggiring Kay ke arah sana. Setelah menyemprot kursi tersebut dengan cairan disinfektan, barulah Ara berani duduk. Adanya jarak dua kursi bertanda X, membuat Ara memilih untuk memangku Kay daripada membiarkan Kay duduk terlalu jauh.

"Kita beneran ke Bali? Kita beneran mau lihat pantai?" Pertanyaan Kay membuat Ara tertawa. Sepertinya, Kay masih ingat dengan kejadian batal melihat pantai beberapa minggu lalu dan masih khawatir rencana bermain pasirnya gagal lagi.

"Iya, kita beneran ke Bali." Ara berusaha meyakinkan Kay.

"Di Bali udah gak ada Corona? Kalau ada Corona, nanti kita gak jadi lagi kayak kemarin."

"Masih, dong." Ara menjawab dengan sabar. Kay yang sangat aktif ini memang sedang dalam tahapan senang bertanya. "Makanya, kita harus tetap hati-hati di sini dan juga di Bali nanti. Kita harus tetap 3M selama di pesawat dan juga di Bali, supaya tidak tertular Corona. Hayo, Kay ingat apa 3M itu?"

Kay mengangguk dan mengangkat tangannya. "Memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Iya, kan, Mama?"

"Wah, Kay anak pintar!" Ara kembali memuji Kay yang membuat mata bulat Kay semakin berbinar-binar senang. "Sekarang, sebenarnya sudah jadi 6M. Nanti Mama ajarin, ya?"

"Yuk, kita masuk ke ruang tunggu." Suara berat Dev yang tiba-tiba muncul di samping kursi Ara kontan membuat Kay langsung melompat turun dari pangkuan Ara dan dengan semangat menggandeng tangan Dev.

"Kita mau naik pesawat, Papa?" tanya Kay dengan sangat bersemangat.

Dev menganggukkan kepala dan mulai berjalan menuju ke arah security check point. "Iya, sebentar lagi kita naik pesawat. Kay gak boleh nakal dan ribut di pesawat, ya?"

"Sekarang jam berapa?" Ara mengambil ponsel dari dalam tas tangan miliknya dan mengecek jam. "Oh, mau jam setengah satu. Pesawat kita boarding jam berapa?"

Ara memang menyerahkan segala urusan tiket pada Dev yang lebih bawel dan juga perhitungan dalam urusan itu. Ara hanya terima beres, duduk manis dan pasrah dengan semua pilihan Dev. Bahkan, Ara juga tidak tahu Dev memesan hotel apa di Bali. Ara hanya memberikan beberapa rekomendasi hotel yang menurutnya cocok untuk liburan keluarga.

"Jam setengah tiga sore." Dev menjawab ringan dan sukses membuat mata Ara melotot kaget. Ya ampun, pesawat jam setengah tiga sore padahal dari jam sebelas siang tadi mereka sudah tiba di bandara. Lalu, mau ngapain dua jam di bandara? Tahu begitu, lebih baik tadi berangkat jam dua belas saja!

[COMPLETE] Work From BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang