00

60 4 0
                                    

"Bandung, 10 Oktober 19XX

Kotak tua dalamku lantas tak bertemu  kunci yang terbawa bersamamu, rerintik hujan di netraku masih jadi caraku merindukanmu. Atmaku makin lara, puaskah kamu menjadikannya duka? Jika pergimu tanpa pulang lantas mengapa janjimu bertukar kabar? Tak satupun ejaan surat ini akan terbaca olehmu. Pergi yang tak pulang meninggalkan pria malang, sudahkah kamu puas sekarang? Langkah kaki mengarah mata angin yang tak lagi bersama doa-doamu.

Padamu semesta keparat, bukankah telah kuikhlaskan kau ambil nyawanya? Maka kembalikan pada pelukku raganya, bukankah egomu telah melewati batasnya? Bukankah Tuhan mencintai umatnya? Lalu palsukah setiap puji-pujian kekasihku? Mencintaimu yang memberi luka untuknya, hanya itukah caramu membalas cintanya?  Palsu"

Pria itu membanting mesin ketiknya, mulai menghancurkan sekelilingnya dengan brutal, berteriak, dan memaki ntah pada siapa. Keributan itu telah jadi hal lumrah di kediaman Wicaksono setelah badai besar menghantam keluarga terhormat itu, seolah seisi rumah telah bertelinga tembok atas raungan tuan muda mereka Aditya Narenda Wicaksono. Tak ada yang tak mengetahui nestapa pria secerah mentari yang berubah sendu itu.

Dalam kenyataannya perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. Aditya tetaplah Aditya, namun Adikara telah kehilangan tokohnya. Bianglala sehabis hujan adalah gonggongan anjing saat bara luka berkobar menggerogot daksa, namun harapan tak pantas luruh sepanjang desah nafas dari udara yang terhirup.

"Saya Aditya Narendra Wicaksono, pria biasa yang mencintaimu dengan sederhana, dengan caraku memandang dunia, berjanji membahagiakanmu sekuat jiwa. Aku menulis ini untuk mengenangmu, walau tak ada yang berubah."

ADIKARA
______________________________________

Semua watak, karakter, dan kegiatan dalam cerita
TIDAK BERHUBUNGAN dengan kehidupan nyata. Semuanya murni untuk hiburan semata

ADIKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang