01

43 3 2
                                    

Nabastala berpeluk mesra dengan bagaskara. Hangat menyentuh kulit, perlahan angin berdansa dengan kapas langit. Cerah, tampak cocok untuk berpiknik.

Seorang muda di taman luas kebanggaan keluarga, menyandarkan tubuhnya pada batang pohon berkayu kokoh. Membaca setumpukan syair cinta, sesekali salah tingkah. Cahaya matahari mengintip malu dari ranting-ranting pohon, mengecup lembut kulit putihnya.

Dialah Aditya Narendra Wicaksono. Si bungsu dari keluarga termakmur 'Wicaksono', setiap desah nafas pemuda 17 tahun yang tak luput dari kata 'disegani' dan 'dihormati'. Hidup penuh kelimpahan, tak ada yang tak tergapai untuknya selain Mama dan Cinta.

"Tuan?" suara halus dari seorang gadis mengejutkan Aditya yang sontak melemparkan buku tebalnya

"Astaga, kamu ini bikin kaget saja! Hampir saya kira suara penunggu pohon ini" Aditya mencibir kesal pada gadis itu

"Maaf tuan" gadis itu menunduk, dalam hati menahan gelak tawa

"Iya - iya, ada apa kamu kemari? Bukankah semua tugas saya sudah selesai?" Aditya menatap gadis itu dengan tanda tanya

"Anu, nona Isabella datang tuan" ucap gadis itu pelan

"Aduh Kara, bukannya sudah saya bilang? Jangan biarkan satu orangpun mengganggu saya jika dia bukan papa ataupun guru sekolah"

"Ta - Tapi tuan.. Nona Isabella datang bersama tuan besar" sontak Aditya membulatkan netranya, ntah apalagi yang direncakan sang papa. Bisu sejenak, kerutan dahinya tanda ia berpikir keras.

"Ah begini saja, kita teman kan? Bukankah begitu Kara?" Aditya tersenyum penuh arti, membuat gadis itu gelagapan dan berakhir dengan anggukan

"Seperti biasa ya, toko buku merindukan tuanmu" dengan langkah santai Aditya berjalan ke pintu belakang tak lupa menggenggam buku tebalnya. Tempat para babu dapat bebas masuk dan keluar, gadis bernama Kara hanya dapat mengekor di langkah kakinya.

Melewati gerbang itu, Aditya mengembangkan senyumnya. Melarikan diri seperti biasanya, saat sang papa mulai berusaha menjodohkannya. Ntah sudah berapa kali ia memanfaatkan Kara sebagai mata-mata demi mengawasi gerak-gerik penghuni rumahnya.

Kali ini bibir ranum itu akan beralasan mengawasi pengeluaran yang digunakan untuk belanja rumah tangga, dan tentunya dengan memanfaatkan posisi Kara yang merupakan anak dari salah seorang babu kepercayaan ayahnya.

Langkah tungkai dengan irama, menyenandungkan lagu - lagu lama. Berkeliling pasar, hingga sampai ke toko buku kebanggaan Paris Van Java.

Laki-laki itu menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya menghadap Kara "Ayo masuk" Aditya bersuara

Kara mengekori langkah tuannya, takjub melihat toko buku untuk kesekian kalinya. Kara paham betul, tanpa menanyakan hargapun ia tahu tak satu buku pun akan terbelinya.

Melihat pemilik toko yang ramah, sudah jelas menunjukkan kedekatannya dengan tuan muda itu. Tak perlu diherankan, karena demikianlah seharusnya.

"Ah Naren, ada apa jauh-jauh ke sini?" ucap pria matang kepala lima itu pada Aditya

"Seperti biasa paman. Papa lagi-lagi berusaha menjodohkan saya dengan nona-nona Belanda" jelasnya

"Oh hahaha ternyata Wicak tidak menyerah. Lantas mengapa kamu terus-menerus menghindari papamu? Bukankah calonmu selalu cantik selayaknya putri negeri dongeng?" goda pemilik toko buku

"Haruskah saya terang-terangan menolak permintaan papa? Lalu kemudian dengan murka ia akan mulai membanding-bandingkan saya dengan kakak. Lagipula saya tidak menyukai nona Belanda, kebanyakan dari mereka tinggi hati dan menyebalkan" jelas Aditya

Senyum tipis terlukis di bibir pria tua itu, ia menghela nafas, lalu mulai bertanya lagi "Jika demikian, nona seperti apa yang kau inginkan?"

Penuh harap pria itu menunggu jawaban dari pemuda dihadapannya, namun tidak terdengar suara apapun di telinga pria itu namun ia sudah tahu jawabannya, Aditya tidak pernah berubah. Tatapan mata penuh afeksi dari pemuda yang tak berdaya terhadap gadis yang terus mengekori langkahnya dan kini sedang terhipnotis jajaran rak tinggi di sekitarnya.

"Kau masih mencintainya Naren?" pria itu lagi-lagi memecahkan keheningan

"Masih dan sangat" pungkas pemuda itu

"Maka katakanlah, bukankah itu menjadi lebih baik untukmu?" saran pria itu

"Jika mampu sudah terlaksana sedari dulu. Namun pada akhirnya saya akan mendorongnya jatuh, dan sekiranya terbunuh saya selamanya tak akan utuh"

"Bukankah kau bisa melindunginya?"

"Lalu berakhir seperti mama? Dia tetaplah iblis, baik mama ataupun cinta tak akan bisa saya rengkuh" netra pemuda itu mendadak layu

"Tapi dia papamu"

"Di atas kertas" senyum getir terpatri di wajah tegas pemuda itu

Pria itu mencoba mengalihkan keadaan, dengan senyum tipis seakan tau kenyataan. Pria itu mengeluarkan buku baru dari rak edisi terbatas lalu memberikannya pada Aditya

"Ini yang kau tunggu, bukan? Kisah yang menyedihkan, ntah mengapa banyak orang mengincarnya hahaha" tawa yang dibuat untuk mencairkan suasana, sukses membuat Aditya tersenyum

"Terimakasih paman, tapi demikianlah pandangan anda jika tak tau indahnya nestapa demi cinta karena diri anda tak pernah melaluinya" cibir Aditya

"Karena aku dan istriku, direstu orang tua ku?" kata-kata itu sukses membuat pemuda itu kesal bukan kepalang

"Aish, kakek tua ini" pemuda itu menyodorkan setumpukan uang pada pria itu

"Wah terima kasih tuan muda" mengetahui pemuda itu kesal, semakin membuat pria itu menggelakkan tawa nya

"Paman, ingatlah ini toko buku dan anda pemiliknya. Bagaimana orang-orang bisa fokus jika anda terus berisik, oh iya sampaikan salam saya pada Arthur. Katakan padanya jangan terlambat ke sekolah" jelas Aditya

"Astaga anak itu terlambat lagi?" pria itu kaget, lagi-lagi putra semata wayangnya mulai berulah

"Bukankah selalu demikian? Ah silahkan lanjutkan kemurkaan paman, biarkan saya pamit dulu" setelah puas menikmati pemandangan kesal pemilik toko buku, Aditya berjalan mencari Kara. Ntah sudah sampai mana gadis itu menjelajah di toko buku itu

"Kara..." Aditya bersuara lembut, ia mencari di setiap pelosok di antara rak raksasa di toko buku itu.

"Hei, kita tidak sedang bermain petak umpet bukan? Saya sudah selesai" lagi-lagi tak ada sahutan

Langkah perlahan itu terus tertuntun hingga terpijak ke suatu sudut tepat di depan meja dan kursi tempat seseorang bertempat

Aditya menandaskan tubuhnya pada salah satu kursi kayu dihadapan orang itu

'Manis' batin pemuda itu berbisik

ADIKARA
______________________________________

Semua watak, karakter, dan kegiatan dalam cerita
TIDAK BERHUBUNGAN dengan kehidupan nyata. Semuanya murni untuk hiburan semata

ADIKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang