Oh, What A Glorious Thing We Have

1.1K 104 6
                                    

"Kau benar." Aku melemparkan tas dan dompet, lalu mulai mengosongkan kantong jaketku yang penuh dengan pulpen, gunting dan selotip. Sasuke masih mengenakan scrub-nya, dia pulang sedikit lebih awal dariku, dan sekarang dia menatapku kebingungan.

"Benar tentang apa?"

"Pelakunya Hinata. Hinata yang mengambil obatnya." Aku melepaskan stetoskop dari leherku dan menaruhnya ke dalam tas, kemudian duduk di sofa, di samping Sasuke. Harga diriku sedikit hancur sekarang, tapi aku tidak terlalu mengkhawatirkannya. Inilah yang akan dirasakan Sasuke kalau tuduhanku benar.

Tapi, aku salah. Sedikit pun tidak benar.

Apa aku benar-benar menuduh dr. Hanako hanya karena cemburu? Kedengarannya masuk akal sekarang.

Tapi, yang membuatku lega adalah Sasuke tidak mengatakan "aku bilang juga apa," atau membuatku merasa bersalah. Sebaliknya, kekagetan yang dia rasakan seperti menyalakan api di wajahnya, dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Kau serius? Apa yang terjadi?" tanyanya. "Apa dia mengaku?"

"Aku memeriksa ponselnya," ucapku tanpa rasa bersalah dan mengabaikan kerutan alis Sasuke. "Dia mengirimkan pesan pada pacarnya. Mereka membicarakan obat itu. Dan kemudian dia memergokiku sedang membaca pesannya dan aku berhadapan dengannya."

"Kenapa kau memeriksa ponselnya? Aku tidak pernah berpikir kau akan mencurigainya."

"Aku memang tidak mencurigainya." Aku menceritakan semua detail pada Sasuke, mulai dari awal ketika ponsel Hinata berbunyi sampai pengakuannya pada Shizune nee-san lewat ponselku. Shizune nee-san langsung berbalik arah, dan sampai ke rumah sakit lima belas menit kemudian dan langsung menyuruh Hinata masuk ke ruangannya. Hinata pulang lebih awal, dia menangis terisak-isak. Naruto, Nenek Chiyo dan aku harus membagi dan merawat pasiennya hingga akhir shift.

"Selesai," ucapku akhirnya dan mencondongkan tubuhku untuk mencuri ciuman dari Sasuke sebelum berdiri dari sofa, "Aku mau mandi. Naruto mengajakku minum di rumahnya lagi, dan aku rasa sebaiknya kita ke sana." Hanya Tuhan yang tahu, aku setidaknya butuh lima botol alkohol sekarang.

"Baiklah, tapi besok aku harus bekerja," ucap Sasuke, dia kemudian berdiri dan mengikutiku ke kamar mandi. Dia melepas pakaiannya selagi aku juga melepaskan pakaianku, dan aku diam-diam memerhatikannya lewat cermin. Dia memergokiku dan tersenyum miring, dan aku berusaha menyembunyikan pipiku yang memerah.

"Itu berarti kau ditunjuk sebagai sopir pribadiku." Aku berhasil mengerlingkan tatapanku dari tubuh telanjangnya saat bicara, dan memfokuskan perhatianku pada suhu air.

"Ditunjuk sebagai sopir, hah?" ucapnya saat aku berjalan ke bawah shower. "Apa hanya itu keahlianku?"

"Sebenarnya masih banyak," jawabku menggodanya.

Aku berdiri di bawah shower menunggu Sasuke dan membiarkan air hangat menimpa bahu dan rambutku, aku mendesah lega karena perlahan semua kekhawatiranku mulai menghilang. Sasuke mendekatiku dari belakang, dan tubuh kami nyaris bersentuhan saat dia mencium lembut leherku.

Aku mengerang pelan dan bersandar ke dadanya.

"Aku ikut senang, Sayang," gumamnya pelan di telingaku. Aku berbalik dan memeluk lehernya, menekan dadaku di dadanya. Dia tersenyum padaku, kemudian menempatkan ciuman hangat di bibirku.

"Aku juga," ucapku di sela-sela ciuman kami. Aku tahu dia akan terus bersamaku walau apapun yang akan terjadi.

Kami sampai di rumah Naruto pukul sembilan lebih seperempat malam. Lingkungan tempat tinggalnya sangat tenang, lampu jalan bersinar dengan terang, dan lampu yang bercahaya kekuningan keluar melalui jendela rumah Naruto. Dari luar, orang lain akan mengira rumah ini adalah milik pasangan tua. Tidak akan ada orang yang menyangka ini adalah rumah Naruto, seorang perawat laki-laki bermulut besar, bersikap urakan dan memiliki semangat seperti tentara yang siap untuk berperang.

Doctor's OrdersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang