Megan baru saja menyematkan pita organdi yang telah dirangkai pada kado mungil berbungkus pink kala pintu kamarnya diketuk.
“Ada kiriman!” seru Grace.
“Oke.”
Megan membuka pintu dan bergegas ke depan, sedangkan Grace sudah duduk bersama Martha, menikmati acara televisi.
“Dengan Nyonya Megan?” tanya kurir bertubuh gempal itu.
“Benar.”
“Aku mengantar dua buket bunga pesanan Nyonya.”
Mata Megan berbinar saat menerima buket mawar merah dari kurir.
“Perlu bantuan?” tawar kurir ramah.
“Tidak.” Megan menggeleng cepat. “Terima kasih. Aku akan segera kembali, tolong menunggu sebentar.”
Buket yang dipeluknya cukup besar. Sedikit kesulitan membawanya ke kamar dan meletakkan di tepi tilam, lalu ia mengambil dua lembar ratusan ribu. Tak peduli tatapan aneh Martha dan Grace kala ia kembali ke depan.
“Untukmu.” Megan menjulurkan uang.
“Terima kasih. Semoga hari Nyonya terbekati.” Kurir tersebut tak dapat menyembunyikan senangnya mendapat tip yang lumayan.
Setelah mobil ekspedisi hilang dari pandangan, Megan mengunci gerbang dan bergegas masuk seraya memeluk buket mawar putih yang besarnya sama seperti buket pertama. Perempuan yang masih mengenakan seragam kerja itu tidak terkejut melihat Martha dan Grace telah menunggu di ruang tamu.
“Untuk apa suamimu membelikan bunga? Pemborosan!” Ucapan Martha yang tajam membuat langkah Megan terhenti.
“Ini uangku, Ma.”
“Ada acara apa?” Mata Grace memicing.
“Tidak ada. Maaf, aku belum mandi.” Megan melanjutkan langkah tanpa memedulikan kedua wanita itu saling bertukar pandang.
Megan memutuskan mandi dahulu sebelum mengeksekusi dua buket bunga tadi. Cukup lama ia memanjakan kulit putih susunya dengan busa-busa sabun dalam bathup. Lalu memilih lingerie putih gading berdada rendah untuk dikenakan malam ini. Setelah menyemprot parfum di tengkuk, ia mempreteli bunga pada dua buket tadi.
Ponselnya berbunyi pertanda ada pesan masuk tepat saat ia selesai menaburkan kelopak-kelopak mawar di kasur dan lantai sepanjang pintu menuju tempat tidur.
[Lima menit lagi aku sampai.]
[Oke.]
Megan menutup jendela berdaun kaca lebar. Di luar, senja baru saja merona, hari masih sangat terang. Namun, ia ingin memasang lilin-lilin kecil di seantero kamar. Angin dari ketapang kencana, flamboyan, kiara payung, dan pohon angsana di taman yang letaknya persis di depan kamar akan memadamkan lilin. Deru mobil terdengar di garasi. Megan merapikan lingerie dan menjepit rambutnya tinggi sebelum menyambut Tedd.
“Senyummu seperti merahasiakan sesuatu.” Mata Tedd menyipit saat menghampirinya yang menunggu di porch.
Alih-alih menyahut, Megan mendekap lengan suaminya saat mereka masuk. Melewati living room, ia mendapati Martha dan Grace yang memandangnya aneh. Mungkin karena sudah lama tak melihatnya menyambut dan bersikap mesra kepada suaminya. Entahlah. Megan tak mau peduli.
Seperti harapannya, Tedd terlihat takjub saat membuka pintu kamar mereka. Pria bertubuh tidak terlalu tinggi itu membungkuk, mengambil beberapa helai kelopak mawar di lantai dan mendekatkannya ke hidung.
“Wanginya masih segar, kau pasti baru membelinya. Pertanyaannya, untuk apa kau melakukannya?” Iris cokelat itu menatapnya penasaran ketika berdiri.
Senyum Megan kian lebar saat menuntun suaminya ke tempat tidur. Ia meraih kado dan menjulurkan ke Tedd.
“Untukmu.”
Alis Tedd terangkat membentuk busur sempurna. “Ayolah, sejak tadi senyummu membuatku curiga. Kau pasti tak lupa dengan ulang tahunku—well, walau tahun-tahun terakhir hubungan kita sedikit hambar, bukan?”
“Tentu saja aku tak lupa dengan ulang tahunmu karena berdekatan dengan Natal. Sekarang, kan, bukan Desember.” Megan mengulum senyum. “Tapi, bukan cuma ulang tahun saja yang dirayakan, bukan? Bukalah.”
Tedd menaruh tas kerja di lantai sebelum menyobek dengan tak sabar sampul kado itu. Mengamati isinya dengan mimik serius. Megan menikmati perubahan di wajah Tedd. Pupil pria tampan itu membesar dan otot wajah seperti tertarik oleh magnet-magnet kebahagiaan. Namun, tak sampai semenit ekspresi itu berubah datar, lalu menaruh isi kado ke kasur dengan kasar.
“Kau tidak ingin mengatakan sesuatu atas isi kado itu?” Megan memegang tangan Tedd yang sedang melepas ikat pinggang.
“Kau ingin aku mengatakan apa? Selamat, akhirnya kau bisa hamil bayinya Jhon, begitu?”
Ucapan Tedd membuat perut Megan mencelus. “Aku tak menyangka ucapan kotor seperti tadi akan keluar dari mulutmu!” umpatnya geram.
“Aku juga tak menyangka kau tega berselingkuh dengan kakakku.” Tedd melempar ikat pinggang dan kemeja yang baru dilepasnya ke lantai.
“Astaga! Jika kau tak percaya sumpah, kau ingin aku melakukan apa?” teriak Megan frustasi. Tedd tak menyahut dan menuju kamar mandi.
“Aku lelah membahas ini terus. Aku lelah, Tedd!” Megan melempar kaus Tedd ke arah lelaki itu sebelum bayangannya menghilang.
Lalu ia menyeret langkah ke jendela dan membuka daunnya lebar-lebar, membiarkan angin senja menerjang, bukan cuma menerbangkan anak-anak rambutnya, tetapi juga memadamkan lilin-lilin. Kristal bening yang tadi ditahan, menganak sungai. Menyadari segala usahanya untuk membuat kejutan romantis gagal total, memang menyakitkan. Namun, lebih menyakitkan menerima kata-kata yang dilontarkan Tedd. Ucapan paling keji yang ia terima dalam lima tahun pernikahan mereka.
Megan masih berdiri di ambang jendela saat didengarnya Tedd membuka lemari. Ia menahan ingin meluah saat indra pencium menghidu aroma sabun. Selain aroma parfum dan segala makanan, wangi sabun selalu sukses menguras isi perut dalam dua minggu terakhir. Pekerjaan yang padat membuat Megan mengabaikan gejala itu. Ia cuma berpikir sedang kelelahan dan butuh istirahat. Pagi tadi ia kembali diterjang mual yang dahsyat. Sebelum mobilnya mencapai tempat kerja, Megan mampir ke apotek untuk membeli alat uji kehamilan. Tedd sudah berangkat kerja satu jam sebelumnya.
Di toilet gedung pasar modern yang sedang digarapnya bersama Tedd, Megan menyobek bungkus alat uji kehamilan. Ia mengambil gelas plastik yang airnya telah dibuang dari dalam tas, lalu duduk di kloset. Setelah gelas tersebut terisi urine, ia mencelupkan alat itu. Dengan mata terpejam, Megan menarik alat tersebut setelah sepuluh detik dan menaruhnya di tas, lalu ia membersihkan diri. Sepuluh menit berlalu, ia mengintip alat tersebut.
Wajah Megan menegang dan kedua kakinya tiba-tiba lemas. Tubuhnya hampir meluruh. Ia menuju pintu dengan tangan merayap di dinding karena tak kuat berjalan. Di luar toilet, Megan duduk menekuk lutut. Butuh setengah jam untuk menetralisir napas sebelum melanjutkan langkah dengan normal. Dua garis merah membuat paginya paling indah dalam lima tahun terakhir, tetapi ia tak ingin mengabarkan kepada Tedd dahulu sebelum memastikan dengan USG. Megan bersyukur sepanjang siang mereka tak bertemu karena sibuk di tempat masing-masing, jadi bisa menyembunyikan wajah gembiranya.
Pada jam makan siang--tanpa pamit kepada Tedd, Megan membawa mobilnya ke dr. Rick. Dokter obgyn yang masih muda itu selalu menyemangatinya tiap ia putus asa karena tak kunjung hamil.
Terdengar suara pintu ditutup dari luar. Megan menghapus kejadian sepanjang hari. Ia menggigit bibir kuat-kuat menyadari Tedd tidak memedulikannya, alih-alih memeluknya dan meminta maaf.
~ bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Kiss
General FictionSeorang istri yang memiliki kista. Jika ingin hamil, mesti dioperasi kistanya. Pada tahun kelima pernikahan, Megan akhirnya hamil, tetapi kebahagiaannya cuma sekejap karena ketika bayinya berusia tiga bulan, dibunuh ibu mertua.