Bagian Satu

4.2K 478 72
                                    

"Harry, kamu ngapain duduk di lantai begitu?"

Harry mengangkat wajahnya. Ron menatapnya dengan pandangan bingung dari seberang lorong, dengan setumpuk buku di tangannya.

Mencoba setengah mati untuk tidak terlihat terkejut, Harry mengedikkan bahunya santai pada Ron dan mengangkat buku pertama yang dia lihat. "Maaf, aku agak... hilang konsentrasi."

Ron mengintip sampul buku yang dipegang Harry lalu menggaruk kepalanya sendiri. "Serius? Padahal kamu bisa tanya Ibuku, loh. Di kebun kami biasanya banyak." Setelah bilang begitu, Ron mengangkat buku-bukunya lalu membawanya ke bagian depan toko. "Aku mau cari Hermione dulu. Nanti ketemu di depan, ya?"

"Tentu saja," Harry menyetujui, sambil melambaikan tangannya tak peduli.

Segera setelah Ron pergi, dia baru berkesempatan untuk melihat buku yang ada di tangannya untuk mencari tahu apa maksud Ron. Harry meringis begitu membaca judulnya "Siput Kebun: Keajaiban ataukah Ancaman bagi alam?". Setelah mengembalikan buku itu di rak, dia merangkak untuk mengambil kembali sebuah buku yang tadi sempat dia cermati (dan langsung dia jatuhkan) sebelum Ron mengajaknya bicara.

Buku yang dimaksud berukuran kecil, sebuah buku jurnal bersampul kulit dengan benang ikat di sekelilingnya. Sebuah kertas perkamen warna kuning mencuat dari dalam, terlipat jadi dua untuk membatasi dua halaman. Tidak ada apapun di sampulnya: tidak ada tanda-tanda, simbol, ataupun tulisan. Kulitnya bahkan tidak kesat; namun tampak kasar dan seperti terpotong-potong dengan bentuk yang tak beraturan. Bukunya benar-benar terlihat seperti buku yang dibuat oleh anak berumur lima tahun.

Biasanya Harry tidak akan tertarik dengan buku jurnal, kalau bukunya terlihat normal. Namun penampilannya yang sangat berbeda membuat Harry penasaran untuk membukanya dan menatap bingung karena isinya hanya sedikit, dan saat itulah sesuatu yang familiar terjadi.

Tinta mulai memenuhi lembarnya.

—kembali. Aku harap aku mati di perang itu. Mungkin semuanya akan lebih bahagia.

Begitu Harry bisa membaca kalimat-kalimatnya dan menyadari maksudnya, Harry langsung menghela napasnya terkejut.

Harry terdiam sebentar sambil menimbang situasinya, instingnya mengingatkannya soal buku harian Tom Riddle di tahun kedua dulu. Buku ini pasti bukanlah buku normal; sama sekali tidak aman. Tentu saja, ada kemungkinan bahwa bukunya cuma mainan sihir yang tidak berbahaya, namun kejadian tak berbahaya jarang sekali terjadi di kehidupan Harry. Lagipula, peringatan Arthur Weasley agar tidak mempercayai sesuatu yang terlihat hidup dan dapat berpikir tanpa kita tahu dimana otaknya sebenarnya masih terpatri jelas di ingatan Harry. Bukannya tidak mungkin ini adalah sebuah artefak berbahaya; jadi mending jaga-jaga daripada Harry menyesal di kemudian hari.

Namun yang justru Harry pikirkan bukanlah itu, melainkan kalimat-kalimat sedih yang Harry baca dan membuat dada Harry begitu sakit. Jadi tanpa memikirkan soal Riddle, dia mengambil pulpen dari sakunya (karena walaupun dia suka memakai pena bulu, dia cukup rindu praktisnya menggunakan pulpen dan pensil) lalu menulis kembali pada siapapun itu.

Jangan pernah berpikir begitu. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah adalah dengan melaluinya.

Tidak ada yang terjadi selama beberapa detik, namun setelahnya, tulisan memenuhi halaman bawah tepat dimana Harry menuliskan kalimatnya. Tulisan yang terlihat sangat marah.

Siapa ini? Dimana kamu? Kenapa kamu menulis padaku? Bagaimana caramu menemukan perkamen ini? Kalau ini jebakan, aku tidak akan terjebak! Siapa yang menyuruhmu? Aku tidak punya apa-apa untuk diceritakan!

Terkejut begitu membacanya, Harry kemudian mulai menulis lagi. Beberapa saat, kalimat-kalimat mereka seperti tertumpuk-tumpuk, namun siapapun di seberang sana akhirnya berhenti sejenak untuk membiarkan Harry menyelesaikan tulisannya.

✓ Dear Diary (INA Trans)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang